Penyesalan Yang Dalam

1073 Kata
“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.” Jillian tidak bertanya lebih jauh tentang maksud dari pernyataan dokter Agung barusan. Langsung memutus sambungan telepon dan pergi ke rumah sakit kepercayaan daddy di mana dokter Agung berpraktik di sana. Mengabaikan pertanyaan Rangga apa yang terjadi ketika ia bergegas memakai kembali pakaiannya dengan linangan air mata. Jillian harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan daddy. “Jill, aku antar.” Rangga menarik tangan Jillian ketika Jillian dengan tampang linglung beranjak dari ruang televisi. Jillian hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. “Jill, tunggu!” Rangga yang tengah memakai kaosnya berseru sambil menyusul Jillian. “Ada apa sebenarnya? Telepon dari siapa tadi?” Rangga mengulang pertanyaannya dengan napas tersengal karena berlari menyusul Jillian. Keduanya sudah berada di dalam lift menuju bassement di mana mobil Rangga terparkir. “Daddy ….” Suara Jillian tercekat. “Yang telepon tadi, dokternya daddy dari rumah sakit.” Jillian melanjutkan, nada suaranya bergetar dampak dari benaknya yang memutar skenario terburuk yang tengah terjadi dengan sang daddy. “Jadi, kita ke rumah sakit?” Rangga memastikan sebelum menginjak pedal gasnya. Jillian yang sudah duduk di samping Rangga lantas mengangguk. “Ngebut ya, Ga.” Sorot mata Jillian tampak memohon meski suaranya terdengar lemah. Rangga menganggukan kepala dan mulai fokus pada kemudi. Kejadian ini juga sudah sering Rangga alami selama menjadi kekasih Jillian, apalagi setiap kali Jillian baru saja membuat onar. Rangga akan mengantar Jillian ke rumah sakit lalu pergi setelah ia tidak dibutuhkan lagi karena orang-orang yang berada di sekitar Jillian tidak menyukainya termasuk Adolf Guzman. “Dokter Agung bilang, daddy … enggak selamat.” Jillian bergumam tapi masih bisa Rangga dengar, ia pun menoleh. Menarik tangan Jillian, Rangga membawanya untuk ia kecup dibagian telapak. Awalnya Rangga kesal karena hasrat yang sudah berada di ubun-ubun tidak bisa ia tuntaskan, tapi mendengar pengakuan Jillian dan keadaan mental gadis itu yang terlihat kacau—Rangga justru menjadi iba. Bertanya-tanya apakah benar Adolf Guzman semudah itu meninggal dunia? “Tenang sayang, ada aku.” Kalimat itu mampu membuat hati Jillian menghangat sekaligus tenang. Ya, ia tahu Rangga akan selalu ada di sampingnya bahkan ketika sibuk pemotretan pria itu akan selalu menyempatkan untuk bertemu dan mencumbunya. Rangga jarang absen menghubungi Jillian untuk memberi tahu apa kegiatan hari itu selain memperlakukan Jillian layaknya seorang putri. Rangga adalah dunia Jillian selama satu tahun terakhir, meski tidak tinggal bersama tapi Jillian merasa Rangga akan selalu ada di setiap hembusan napasnya. Perhatian Rangga yang begitu besar dan intens tidak ia dapatkan dari daddy yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Rangga tidak segan memuji jika Jillian terlihat cantik ketika bertemu dengannya atau ketika Jillian mendapat nilai bagus dalam ujian. Rangga juga tidak pernah mengkritik sikap atau tingkah laku Jillian yang buruk, selalu memaklumi membuat Jillian merasa memiliki seseorang yang berpihak padanya di dunia ini. “Kamu turun duluan, aku cari parkir.” Suara Rangga membawa Jillian kembali dari lamunannya tentang arti Rangga dalam hidupnya. Bukan tentang Adolf Guzman-sang daddy yang keadaannya saat ini tidak Jillian ketahui dengan pasti. Sejujurnya Jillian hanya menolak percaya jika dua kata ‘tidak selamat’ yang diucapkan dokter berarti daddynya telah tiada. Ia sedang membohongi hati dan benaknya dengan mengalihkan fokus pada Rangga. Sol sepatu Jillian menggema di sepanjang lorong rumah sakit, dalam sambungan teleponnya tadi dokter Agung meminta Jillian datang ke ruang ICU maka sekarang langkah kaki Jillian tertuju ke sana. Kata-kata Jillian yang dengan sangat kasar terlontar dari bibirnya untuk Adolf Guzman tiba-tiba saja berkelebat di benak Jillian menghasilkan rasa sesak di d**a dan matanya kembali meluncurkan banyak buliran kristal. “No, Dad …Jillian enggak sungguh-sungguh berkata seperti itu … Jillian lagi marah, Jillian enggak ingin Daddy pergi.” Jillian bergumam seiring langkah kakinya yang kian mendekat ruang ICU. Di ruang tunggu, ia melihat Amira tengah menangis duduk di kursi. Ada pak Ujang dan bu Salamah-yang mengurus rumah dan membantu merawat Jillian semenjak kepergian mommy— juga sedang menangis. Yuda-pengacara keluarga Guzman yang Jillian panggil Om itu juga ada di sana sedang berbincang dengan dokter Agung bersama seorang pria entah siapa. Jillian tidak mengenali pria yang bersama dokter Agung dan Yuda karena pria yang berperawakan tinggi dan pundaknya yang lebar juga memiliki punggung tegap itu sedang membelakanginya. Jillian memelankan langkah melihat suasana ruang tunggu ICU yang mencekam oleh suara tangis kehilangan. Hingga akhirnya langkah itu benar-benar berhenti karena semua orang menoleh pada Jillian termasuk pria jangkung yang memunggungi Jillian tadi. Kenzo, pria itu menatap Jillian dengan tatapan tak terbaca tapi dari netra cokelatnya yang indah—Jillian seolah tahu jika hal buruk tengah terjadi. “Jill.” Panggilan itu keluar dari bibir Yuda dan dokter Agung. “Daddy mana?” Jillian bertanya tanpa berniat meneruskan langkahnya. “Non Jiiil.” Bu Salamah histeris sambil berderai air mata. Beliau hendak bangkit namun kakinya terasa lemas tidak mampu menopang tubuhnya yang gemuk sehingga kembali terduduk. “Jill, begini … tadi daddy kamu dilarikan ke rumah sakit ….” Yuda menjeda setelah langkahnya tiba di depan Jillian, menarik tangan gadis itu untuk mendekat ke depan pintu ruangan ICU di mana dokter Agung dan Kenzo masih berdiri di sana. Jillian sekarang menatap dokter Agung, menuntut penjelasan. Dokter Agung menelan saliva sebelum akhirnya bicara. “Kondisi daddy kamu memburuk akhir-akhir ini dan tadi sore dia dibawa supirnya ke sini … kami sudah melakukan banyak penanganan tap—“ “Mana daddy? Aku mau ketemu daddy.” Jillian mendorong tubuh Kenzo dan dokter Agung yang menghalangi pintu ICU, bermaksud masuk ke dalam sana mencari Adolf Guzman. “Jill!” seru dokter Agung menahan tubuh Jillian “Daddy kamu enggak berhasil kami selamatkan, dia telah meninggal dunia pukul sembilan lewat tiga belas menit.” Raut wajah dokter Agung tampak menyesal sekaligus iba untuk Jillian karena tahu sekarang Jillian sebatang kara. Jillian menggelengkan kepalanya. “Enggak mungkin, Dok ….” Bibir Jillian dengan mata menatap nyalang dokter Agung, Jillian tidak percaya. “Tadi Tante hubungin kamu waktu daddy kamu kritis tapi enggak kamu angkat, kenapa?” Amira sudah beranjak dari kursi dan melangkah mendekati Jillian. “Dia memanggil nama kamu Jill, Tante ada di sampingnya waktu beliau menghembuskan napas terakhir.” Air mata Jillian jatuh lebih banyak lagi, jantungnya sakit seolah ada tangan besar tak kasat mata meremat kuat. “Daddy ….” Jillian melirih, kembali membalikkan badan untuk masuk ke dalam ruang ICU. Namun, satu tangan kekar melingkari pinggang di bagian depan menahan tubuh Jillian. “Lepas, Jill mau ketemu daddy!” Jillian berseru berusaha melepaskan tangan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN