Kehilangan Lagi

1624 Kata
“Wajah kamu kenapa?” Rangga bertanya lantas melabuhkan kecupan di setiap memar dan luka Jillian di wajahnya. “Berantem sama b***h,” jawab Jillian kesal. “Aku obati dulu ya.” Rangga tidak terkejut karena terlalu paham dengan karakter kekasihnya. Ketika sedang bersamanya pun—Jillian kerap kali terlibat pertengkaran. Seperti yang terjadi bulan lalu ketika mereka berada di nightclub dan seseorang menyerobot meja mereka begitu saja, Jillian tidak terima dan langsung melayangkan bogemnya pada salah satu perempuan yang merebut meja mereka. Rangga kembali membawa kotak berisi obat-obatan dan pertolongan pertama pada luka, dengan tekun pria itu mengobati Jillian yang netranya memaku wajah tampan sang kekasih. “Laper enggak?” Rangga pun bertanya setelah selesai mengobati Jillian. “Bangeeet.” Jillian menjawab dengan nada manja. “Makan malem dulu, yuk!” Rangga sambil beranjak membawa Jillian ikut serta ketika mengatakannya membuat dadanya dan d**a Jillian yang besar beradu, memancing hasrat pria itu. “Aku beli makanan kesukaan kamu.” Dengan bangga Rangga berujar. Sushi? Dari restoran Sushi yang terkenal enak dan harganya yang mahal? Jillian begitu bahagia, merasa dicintai Rangga karena dibelikan sushi dari restoran favoritenya. Sungguh receh bahagianya Jillian jika bersama Rangga. “Kamu baru dapet bonus ya?” sambung Jillian menebak. Rangga tertawa pelan menanggapi pertanyaan Jillian. “Iya, Job di Bandung kemarin.” Rangga menyahut. Tapi kalimat itu berhasil menghilangkan nafsu makan Jillian, bibirnya berubah cemberut. “Lho … kenapa? Sayang!” Rangga menahan tangan Jillian yang hendak pergi menjauh. “Lepas!” Jillian berseru menghela tangan Rangga. “Hey, kamu kenapa?” Rangga menarik kedua tangan Jillian membuat tubuh mereka saling berhadapan. Ia lingkarkan kedua tangan Jillian di pinggangnya sementara kedua tangannya kini melingkar di pundak Jillian, mengungkung sang gadis agar tidak pergi. “Salah satu model dalam pemotretan itu ada yang bernama Natasha?” tanya Jillian ketus. Rangga tampak berpikir. “Kenapa memang?” alih-alih menjawab—Rangga malah balas bertanya. “Jawab dulu!” Jillian menghentakan kakinya gemas. “Aku enggak tahu, sayang … ada lima belas model dalam pemotretan kemarin dan aku enggak perhatiin nama setiap model itu.” “Bohong! Kata Natasha kalian malah bertukar nomor ponsel.” Mata Jillian memicing curiga. Dan Rangga baru ingat memang ada salah satu model yang bertukar ponsel dengannya tapi ia lupa nama. “Natasha? Dia ngadu sama kamu?” Rangga menebak. “Enggak, aku dengar dia ngomong gitu ke teman-temannya terus katanya kamu megang p******a dia waktu benerin kerah banjunya pas lagi Photo shoot.” “Enggak mungkin lah sayang, dia pasti udah teriak dan nampar aku.” Meski nada Jillian ketus menginterogasi Rangga, tapi kedua tangannya masih melingkar posesif di pinggang pria itu. “Masalahnya dia itu b***h!” Jillian mengumpat. “Aku enggak ngerasa kalau aku menggoda para model, buat apa? Aku punya pacar yang lebih cantik dan montok di banding mereka yang tubuhnya tipis-tipis kaya papan penggilesan … tapi kalau mereka yang suka sama aku, aku bisa apa? Yang penting aku enggak ngelayanin mereka ‘kan, sayang?” Jillian mengurai rantai tangan di pinggang Rangga, melengos pergi karena kesal Rangga begitu percaya diri. “Mungkin si Natasha itu bohong untuk membuat teman-temannya terkesan saja, sayang.” Rangga menyusul Jillian ke ruang televisi sambil membawa sushi makan malam mereka. Dan ajaibnya, Jillian percaya dengan ucapan Rangga. Jillian percaya jika Rangga setia, Jillian percaya Rangga tidak pernah menggoda para model dan Jillian percaya jika apa yang dikatakan Natasha di toilet tadi hanya halusinasinya gadis itu belaka. “Jadi, Natasha itu teman sekolah kamu dan kamu abis berantem sama dia?” tebak Rangga tepat sasaran terbukti dari anggukan kepala Jillian. “Siapa yang menang?” tanya Rangga menggoda. “Aku lah.” Jillian menjawab bangga. “Hebat, itu baru Ayangnya aku … makan yuk, sayang … berkelahi menguras tenaga.” Rangga mendekatkan satu potong sushi ke depan mulut Jillian menggunakan sumpit. Jillian membuka mulutnya tapi masih memberi tatapan tajam yang sesungguhnya hanya pura-pura belaka. Setelah suapan ketiga, Jillian sudah melunakkan nada suaranya dan melembutkan garis senyum. Rangga dengan sabar menyuapi Jillian hingga semua sushi habis berpindah ke perut mereka. Pria itu juga mengambil air mineral botol dari dalam kulkas dan beberapa minuman kaleng kesukaan Jillian. Rangga benar-benar memperlakukan Jillian seperti seorang ratu. “Mau ke mana, sayang?” Rangga bertanya ketika Jillian hendak berdiri. “Mandi, aku belum mandi sore ….” “Enggak usah, sini duduk lagi.” Rangga menarik tangan Jillian hingga duduk di atas pangkuan dan tubuh mereka saling berhadapan dengan kedua lutut Jillian berada di samping paha Rangga. Erangan kecil meluncur dari bibir Rangga setiap kali Jillian menggerakan bokongnya mencari kenyamanan duduk di atas pangkuan sang kekasih. Rangga menarik tengkuk Jillian dan menempelkan kening mereka. “Jangan dulu mandi, nanti juga kotor lagi.” Suara serak Rangga menghasilkan senyum tipis di bibir Jillian. Kepala Rangga mendongak mempertemukan bibir mereka, melumat lalu mengulum bibir bagian atas Jillian sementara Jillian melakukan hal yang sama pada bibir bawah Rangga. Rasa perih sempat menyerang karena luka di sudut bibir Jillian tapi lama-lama kebas karma lumatan Rangga. Kedua tangan Rangga tidak tinggal diam, menyentuh dengan gerakan sensual dari mulai lutut hingga b****g Jillian membawa rok pendek seragam sekolah Jillian ikut serta. Sekarang, jarak bagian inti Jillian dengan milik Rangga yang telah menegang hanya berjarak kain berenda tipis dan celana pria itu saja. Masih dengan pagutan penuh damba, Rangga mampu membuat Jillian melayang dan tidak peduli jika butir kancing kemejanya telah terbuka semua karena ulah dari jemari Rangga. Rangga menarik turun kemeja Jillian yang kemudian jatuh di pertengahan lengan. Bibir Rangga meninggalkan bibir Jillian, menggantinya dengan kecupan di sepanjang rahang lalu terus ke leher dan memberikan gigitan kecil di sana. “Ah … Rangga.” Jillian hilang kendali saat titik sensitifnya dikuasai Rangga. Kecupan demi kecupan kini menyerang d**a Jillian. Rangga melepas kemeja Jillian lalu tangannya masuk ke dalam thank top hitam, melepas kaitan bra di dalam sana. Pria itu lantas mengangkat tubuhnya lalu membawa Jillian berbaring di sofa. Sesaat Rangga berlutut untuk melepas kaos hitam yang ia kenakan, melempar sembarang lalu menarik tank top dan melepaskan bra Jillian membebaskan dua gundukan besar yang begitu ia rindukan. Tanpa bersedia menunggu detik berlalu, Rangga langsung mengarahkan bibirnya pada pundak di d**a Jillian yang telah mengeras. Jillian menyukainya, terbukti dari desahan dan dadanya yang membusung seakan mempersilahkan Rangga untuk menikmatinya. Lagu Cool for The summer milik Demi Lovato mengalun memecah konsentrasi Jillian dan Rangga. Got My mind on your body and your body on My mind. Got a taste for The Cherry, I just need To ta ke a bit. Rangga menjauhkan bibirnya dari p****g Jillian, demi menatap wajah sang kekasih. “Abaikan aja, terusin …,” pinta Jillian, matanya telah berkabut hasrat. Rangga adalah tersangka utama yang berhasil membawa Jillian melewati batasan selama satu tahun ini. Setelah panggilan entah dari siapa itu berhenti berdering dan akhirnya Jillian juga Rangga bisa melanjutkan aktivitas panasnya—panggilan berikutnya masuk. Jillian yang terganggu—meraih ponselnya dari atas meja. Nama Amira-sekertaris daddynya yang muncul di layar. Jillian mematikan ponselnya lalu melempar alat komunikasi canggih itu ke atas meja. Kembali larut oleh cumbuan Rangga yang telah selesai menanggalkan setiap kain di tubuh Jillian. Rangga berlutut di depan Jillian yang menekukan kakinya dengan posisi masih berbaring di atas sofa. Dibelainya bagian inti Jillian dengan ibu jari, pria itu lantas merendahkan tubuh. Detik berikutnya Jillian merasakan kehangatan memanjakan di bawah sana. Belaian lidah Rangga begitu lihai mengobrak-ngabrik Jillian. “Rang … ga, aaah.” Jillian memanggil nama Rangga hanya agar Rangga lebih memperdalam lagi menusukkan lidah ke bagian dalam intinya. “Lebih enak kalau aku masukin, sayang.” Mata Jillian yang terpejam pun akhirnya terbuka, deru napasnya membuat d**a Jillian kembang kempis menggerakkan dua gundukan besar indah itu. Jillian menggigit bibir bagian bawahnya, pernyataan Rangga tadi layaknya sebuah bujuk rayu yang sulit Jillian tolak. Ia telah terbelenggu hasrat dan merasa basah di bawah sana. Siap untuk Rangga masuki. Anggukan samar diberikan Jillian sebagai ijin kepada Rangga. Rangga tersenyum penuh kemenangan, mengecup bibir Jillian sekilas kemudian membebaskan miliknya dari celana jeans dan boxer. “Lemesin, sayang … jangan ditahan biar kamu enggak sakit.” Sepertinya Rangga adalah spesialis memerawani gadis sampai hapal bagaimana Jillian harus mengkondisikan tubuhnya menerima pria itu. Jillian mengangguk, persetan dengan rasa sakit karena yang ia inginkan sekarang adalah Rangga berada di dalam dirinya. “Aku masuk ya.” Rangga meminta ijin, masih dengan posisi tubuhnya yang menegak. Jillian mengangguk, memejamkan mata ketika merasakan milik Rangga menyentuh permukaan celah sempitnya di bagian bawah. Tell me if it’s wrong, if it’s right. I don’t care. I can keep a secret, can you? Lagu Demi Lovato kembali terdengar dari ponsel Jillian. Jillian spontan menegakan tubuh, menatap horor ke arah ponsel yang ia yakin telah ia matikan. Lantas menoleh ke depan menatap Rangga yang terlihat kecewa menahan sakit menekan hasrat. “Sebentar,” kata Jillian lalu meraih ponsel dari atas meja. Dokter Agung. Jillian tidak bisa untuk tidak mengabaikan panggilan telepon dari nama itu. “Hallo Dok,” jawab Jillian cepat. “Jill, kamu di mana? Ke rumah sakit sekarang!” Ada nada marah penuh penekanan di sana. “Daddy kenapa?” tanya Jillian penuh kekhawatiran. Ia langsung tahu jika sedang terjadi sesuatu dengan daddynya jika sudah menyangkut dokter Agung. Bayangan bertahun-tahun lalu terlintas begitu saja bagaikan kaset kosong ketika daddy dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan di tengah-tengah rapat di kantornya. Saat itu mommy masih ada memeluk Jillian yang menangis melihat daddy dimasukkan ke ruang operasi. Awal dari divonisnya Adolf Guzman mengidap penyakit jantung itu nyaris meruntuhkan dunia Jillian kecil. Dan beberapa kali daddynya harus dilarikan ke rumah sakit setiap kali ia membuat onar bertengkar di nightclub hingga berurusan dengan kepolisian. “Sorry Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.” Suara dokter Agung tenggelam bersama ribuan rasa bersalah dan penyesalan yang mulai menghantam Jillian begitu dahsyat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN