Kabur Lagi

1028 Kata
“Pak … ada telepon dari kepala sekolahnya Jill.” Amira memberitau melalui sambungan interkom disambut embusan napas panjang Adolf Guzman. “Sambungkan, Mir.” Suara lemah itu memerintah. “Baik Pak.” Setelah nada tunggu maka tersambung lah Adolf Guzman dengan kepala sekolah Jillian yang memintanya datang ke sekolah sekarang juga. Memaksakan diri, dengan tubuhnya yang lemah—Adolf Guzman pergi ke sekolah Jillian. Turun dari mobil, Adolf Guzman melangkah gontai menuju ruang kepala sekolah. Ancaman kepala sekolah yang mengatakan jika Jillian tidak bisa lulus tahun ini karena pertengkaran dengan teman sekolahnya menjadi beban tersendiri bagi Adolf Guzman. Bukan beban tentang rasa malu karena anaknya tinggal kelas tapi justru khawatir akan merusak mental Jillian. Putrinya akan bersedih dan rendah diri juga mungkin harus menanggung malu karena teman-temannya yang lain melanjutkan ke jenjang perkuliahan sementara Jillian harus tetap mengulang di kelas dua belas. “Jill,” panggil Adolf Guzman dengan raut cemas menatap putrinya yang terdapat lebam di pelipis dan luka sobek di bibir. Jillian mendongak dengan sorot mata defensif, ia menduga jika daddy akan memarahinya. “Kamu enggak apa-apa, sayang?” Ternyata tidak, Adolf Guzman malah mengkhawatirkannya tapi Jillian gengsi untuk terlihat lemah apalagi memohon kepada daddy agar membereskan masalah ini. Kedua tangan daddy membingkai wajah Jillian yang kemudian di tepis Jillian dengan menelengkan kepala. “Ke UKS ya, biar daddy yang urus masalah ini sama pihak sekolah …,” ucapnya lemah. Jillian bergeming, memalingkan wajah sambil melipat tangan di d**a. “Pak Adolf, mari ke ruangan saya … ada yang perlu saya bicarakan,” ajak Kepala Sekolah dari ambang pintu. Adolf Guzman meninggalkan putrinya di depan ruangan Kepala Sekolah, di dalam sana sudah ada ibu dari Natasha yang menatap Adolf dengan sorot mata tajam menghunus siap menguliti Adolf hidup-hidup. Pria tua itu pasrah, kenyang dengan makian. Adolf Guzman akan meminta maaf dan mengganti kerugian apapun yang diderita oleh korban dari putrinya. Dua jam lamanya Adolf Guzman berdiskusi dengan Kepala Sekolah, Guru BK dan ibunda dari Natasha. Lengkingan suara ibu dari musuhnya Jillian itu terdengar hingga radius seratus meter. Wanita sosialita yang selalu berpakaian nyentrik, tidak terima putrinya babak belur dihajar Jillian. Tidak sekalipun Jillian merasa bersalah bahkan hatinya merasa puas telah menghajar Natasha dan membuat daddynya harus menyelesaikan masalah ini. Jillian tau daddy pasti bisa membuat Kepala Sekolah mengijinkannya ikut ujian kelulusan. Merupakan sebuah aib bagi sekolah bergengsi ini jika ada muridnya yang tinggal kelas, bukan? Jillian menyunggingkan sebuah seringai, menengadahkan kepala lalu memejamkan mata merasakan hembusan angin menerpa wajah hingga menerbangkan surainya. Suara pintu yang dibuka dari dalam membuat Jillian menghentikan aktivitasnya. Mata Jillian menangkap sosok daddy keluar dari ruang Kepala Sekolah dengan ekspresi datar. “Puas kamu, Jill? Sekarang apa lagi? Mau bagaimana lagi kamu merendahkan daddy di depan semua orang?” Berbanding terbalik dengan ekspresi Adolf Guzman ketika datang tadi, sekarang daddynya tampak berang. Jillian tidak tahu apa saja yang mereka diskusikan di dalam sana. Jillian tidak menjawab, ia beranjak dari kursi lalu menyampirkan tasnya di pundak. Sedang malas berdebat karena bibirnya pun sobek sehingga membuatnya sulit membuka mulut. “Jilll!” Adolf Guzman berseru memanggil putrinya yang mulai menarik langkah menjauh. “Jill, dengar Daddy dulu, kalau anak Daddy sendiri enggak menghargai Daddy bagaimana Daddy mau dihargai oleh karyawan Daddy di kantor … Jilll!!!” Langkah Adolf Guzman terseok menyusul Jillian. “Daddy mau Jill hormati? Tapi Daddy enggak pernah peduli sama Jill, Daddy selalu memaksakan kehendak contohnya tentang perjodohan … Jill yang sudah merasa kehilangan sosok Daddy sekarang merasa sesak karena permintaan Daddy itu, Jill benci Daddy! Kenapa sih Daddy enggak nyusul mommy aja biar Jill bisa hidup tenang!” Jillian membentak Adolf Guzman di tengah-tengah pelataran parkir. Saat itu suasana lengang karena para siswa masih berada di kelas melakukan sesi pembelajaran. Sementara Jillian dan Natasha mendapat skor selama satu minggu untuk merenungi perbuatan mereka. Adolf Guzman tertohok dengan ucapan sang putri, raut sendu membayangi wajahnya dengan pendar nanar menatap Jillian. Bibir Adolf bergetar dampak dari menahan buliran kristal yang telah membendung di pelupuk mata. “Jillian benci Daddy!!” Jillian berteriak kemudian membalikan badan berlari melewati gerbang depan. Jillian menghentikan taksi yang kebetulan melintas, masuk ke dalamnya dengan tergesa sebelum driver daddy berhasil mengejar. *** Pertengkarannya dengan sang daddy di sekolah membuat Jillian memiliki alasan untuk kabur dari rumah dan menginap di apartemen Rangga. Kebetulan ia juga di skors selama satu minggu sehingga bisa memiliki banyak waktu bersama kekasihnya. Taxi yang ditumpangi Jillian berhenti tepat di depan loby apartemen Rangga. Dengan perasaan sedih bercampur senang—Jillian melangkah melintasi loby untuk tiba di depan pintu lift. Jillian tentu memiliki akses ke apartemen Rangga, ia juga tau passkey pintu apartemen kekasihnya. Ketika membuka pintu, kegelapan yang menyambut Jillian di apartemen tersebut. Jillian menyalakan lampu dan mendapati apartemen itu kosong. “Gimana sih, katanya suruh nginep tapi orangnya enggak ada,” gerutu Jillian. Menghempaskan tubuhnya di sofa, Jillian merogoh tas mencari ponsel. Baru ia sadari ada satu pesan masuk dari Rangga. Rangga : Sayang, aku ada meeting mendadak, kamu tunggu di apartemen sebentar nanti aku pulang bawa makan malam untuk kamu. Love You. Jillian mengembuskan napas, bersandar nyaman pada sofa empuk di depan televisi lalu memejamkan mata. Tanpa terasa Jillian tertidur pulas di sofa selama beberapa jam. Matahari telah terbenam berganti sang rembulan ketika Rangga tiba di apartemen. Pria dengan tatto di lengan itu tersenyum melihat sang kekasih tertidur di sofa. Meletakan paperbag berisi makan malam di meja bar dapur—Rangga lalu menghampiri Jillian yang masih terlelap di sofa. Rangga duduk menghadap Jillian dengan melipat satu kakinya di atas sofa. Matanya meneliti wajah Jillian yang terdapat memar dan sudut bibir yang terluka. Kening Rangga mengkerut dalam karena rasa ingin tahu. Tubuhnya ia condongkan untuk dapat mengecup bibir Jillian bermaksud membangunkannya. Sekali, dua kali Jillian tidak bereaksi sampai ketika Rangga menggigit bibir bawah Jillian sedikit kencang barulah sang kekasih mengerjap terkejut “Ranggaaaa,” rengeknya setelah benar-benar bangun dari mimpinya. Rangga merentang kedua tangan, wajahnya tampannya semakin tampan saja ketika tersenyum lebar. Jillian mencondongkan tubuhnya masuk ke dalam pelukan Rangga. “Kangen, kamu.” Jillian mengusel di d**a Rangga. “Aku juga kangen kamu, sayang.” Rangga mengecup kepala Jillian sebanyak tiga kali lalu menjauhkan tubuhnya demi menatap wajah cantik sang kekasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN