Bukan Siapa-Siapa

1429 Kata
“Lepas, Jill mau ketemu daddy!” Jillian berseru berusaha melepaskan tangan itu. Tapi Kenzo malah menarik tubuh Jillian hingga punggung sang gadis membentur dadanya yang bidang. “Tunggu di sini, nanti almarhum akan keluar … biarkan perawat menyelesaikan tugasnya dulu,” bisik Kenzo di sisi wajah Jillian. Mendengar kata almarhum keluar dari mulut Kenzo membuat isak tangis Jillian berubah menjadi raungan pilu. “Aku mau ketemu daddy.” Jillian meronta sampai Kenzo harus mengungkung Jillian dengan satu tangannya lagi agar Jillian tidak masuk ke dalam ruang ICU. Detik berikutnya pintu ruang ICU terbuka lebar, sebuah ranjang beroda di dorong oleh dua perawat pria dari dalam. Jillian berhenti meronta, tubuh gadis itu menegang melihat sesuatu di depannya. Di atas ranjang beroda terdapat sosok yang ditutupi kain di sekujur tubuhnya. “Almarhum pak Adolf Guzman akan kami mandikan sebelum dipulangkan ke rumah duka,” seorang perawat berujar. Dari sana Jillian tahu jika yang berada di atas ranjang beroda itu adalah daddynya. Daddy yang sering mendapat keketusan dan bentakan darinya. Daddy yang selalu tersenyum dan membawanya bercanda meski Jillian menunjukkan tampang masam tidak bersahabat. Daddy yang selalu mengikuti semua keinginannya meski jarang ada sosoknya. Daddy yang selalu mampu menyelesaikan masalahnya. Dan Daddy yang baru tadi sore ia usir dari kehidupannya untuk bertemu mommy di surga. “Daddyyyyyy!” Tangis Jillian kembali pecah, Jillian membuka kasar kain penutup di wajah daddy lalu memeluk beliau. Menumpahkan tangis di d**a daddy lalu mengecup setiap jengkal wajahnya. “Dad, jangan tinggalin Jill … Jill janji akan jadi anak baik, bangun Dad ... Jill enggak punya siapa-siapa lagi selain Daddy, please Dad … bangun … Jill akan jadi anak baik, Jill janji … jangan tinggalin Jill, Dad … Heu … Heu ….” Tangis pilu mengudara menarik atensi dan merenggut perasaan semua orang yang ada di sana untuk larut bersama Jillian. “Daaaad, bangun … Jillian mohon bangun, maafin Jill.” Sebanyak apapun permohonan maaf Jillian tidak akan mendapat jawaban Adolf Guzman. Wajah daddynya tampak tenang seolah tertidur pulas dengan bibir sedikit tersenyum. Adolf Guzman pergi untuk memenuhi keinginan Jillian agar beliau menyusul sang istri tercinta di surga. Beliau tidak ingin membuat putrinya susah seperti apa yang dikatakan Jillian saat di pelataran parkir sekolah Jillian—tempat terakhir kalinya mereka bertemu. Dan Jillian telah menyadari itu semenjak mendengar pernyataan dokter Agung ketika masih berada di apartemen Rangga. Segudang sesal dan rasa bersalah yang menghantamnya membuat Jillian hancur berkeping-keping. Kaki Jillian sudah tidak bisa lagi dipaksakan menopang tubuh. Kesadarannya tertarik oleh rasa sedih yang mendalam hingga tubuh Jillian melorot ke bawah. Sebelum akhirnya semua gelap, Jillian masih mendengar suara Rangga yang panik memanggil namanya. Jillian akhirnya pingsan dalam pelukan sang kekasih. *** Rangga mengecek terus arloji hadiah ulang tahun dari Jillian yang melingkar di lengannya. Sudah hampir lewat dini hari dan ia masih di kamar Jillian menemani gadisnya yang belum siuman setelah pingsan di rumah sakit tadi. Rangga ada pemotretan catching sunrise pagi ini dan ia harus berada di TKP beberapa jam sebelum matahari terbit. Di luar, semua orang sibuk membenahi rumah untuk tamu yang akan melayat sekaligus mempersiapkan pemakaman Adolf Guzman. Rangga bisa melihat dari jendela kamar Jillian, banyak mobil terparkir dan beberapa pekerja memasang tenda. Tidak heran, Adolf Guzman adalah pengusaha sukses Negri ini dengan kerajaan bisnisnya yang tersebar di seluruh Negri. Pasti memiliki banyak kenalan, rekanan dan kerabat yang akan mengantar kepergiannya. Ceklek. Suara pintu yang terbuka membuat Rangga menoleh, seorang wanita paruh baya masuk dengan tampang tidak ramah. Rangga sudah imun, semua orang di sekitar Jillian memang tidak menyukainya kecuali tiga sahabat Jillian; Izora, Callista dan Kirana. Bu Salamah berjalan mendekati ranjang Jillian tanpa menghiraukan keberadaan Rangga. Di tangannya terdapat nampan berisi satu gelas air yang masih mengepul. Beliau menyimpannya di atas nakas samping tempat tidur, mengusap kepala Jillian penuh sayang, terlihat di matanya yang bengkak. Setelah itu Bu Salamah pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Rangga mendengkus sebal, dirinya yang berstatus hanya orang biasa dengan pekerjaan tidak keren selalu dianggap rendah juga remeh oleh banyak orang. Keberadaannya di samping Jillian kerap kali disangsikan, dianggap hanya menginginkan materi dari Jillian. Mereka salah, Rangga menginginkan tubuh Jillian selain memang menyayangi gadis itu. Untuk urusan materi, Jillian yang bersedia memberikan—Rangga tidak pernah memaksa. Detik jam terus berputar, ia tidak bisa tinggal di sini terus karena terikat kontrak oleh salah satu brand kosmetik ternama. “Sayang,” panggil Rangga seraya duduk di sisi tempat tidur. “Aku pergi sebentar … nanti setelah pemotretan aku balik lagi …..” Tidak ada jawaban dari Jillian yang masih belum bergerak dari posisinya dengan mata terpejam erat. Rangga beranjak, ia merogoh ponselnya dari saku celana. Mengirim pesan kepada Jillian agar ketika bangun nanti dan Jillian mencari—gadis itu tau alasannya pergi. Rangga yakin Jillian akan mengerti dan ia berjanji mengganti waktu pagi ini dengan seharian bersama Jillian setelah pemakaman Adolf Guzman. Setelah memastikan pesannya sampai di ponsel Jillian, Rangga keluar dari kamar Jillian. Ia tidak perlu berbasa-basi dengan siapapun toh tidak ada yang menyukai dan mengenalnya. “Kamu mau pergi?” Suara bariton seorang pria menghentikan langkah Rangga. Menoleh dan mendapati sosok pria yang tadi ia temui di rumah sakit sedang berdiri di antara ruang makan dan ruang televisi. Rangga terkejut, ia baru melihat pria itu dan sepertinya tidak mengetahui jika ia dibenci orang-orang terdekat Jillian sehingga dengan santai mau menyapanya. “Iya, ada pemotretan pagi ini tapi setelah setelah selesai balik lagi.” Semestinya Rangga pergi tapi malah berdiri menunggu tanggapan pria jangkung dengan wajah tampan—Rangga berpikir pria itu semestinya menjadi model karena pasti akan bagus tertangkap oleh lensa kamera. “Kamu pacarnya?” Kenzo bertanya dengan raut dan nada yang sama datarnya. Pria itu melangkah mendekati Rangga. “Iya.” Rangga menjawab cepat, ia tidak punya waktu untuk berpikir. “Kamu enggak usah ke sini lagi, tinggalkan Jillian!” Nada rendah yang terlontar itu sarat akan penekanan dan ancaman. Rangga pikir pria ini berbeda, tapi nyatanya sama dan Rangga tidak gentar sedikitpun. “Kenapa saya harus mengikuti permintaan Anda?” Rangga menghadapkan tubuhnya pada Kenzo lalu mengangkat dagu menantang pria itu. “Pria macam apa yang meninggalkan kekasihnya di saat terburuk?” Dingin dan tersirat ledekan dalam kalimat tersebut. “Saya terikat kontrak, saya harus kerja … untuk menjadi sukses banyak yang harus saya korbankan, Jillian pasti mengerti.” Kenzo menganggukan kepalanya setuju, kembali melangkah mendekat dengan satu tangan yang ia sembunyikan di saku celana. “Demi kebaikan Jillian, tinggalkan dia.” Sekali lagi Kenzo meminta, ia telah menyanggupi permintaan Adolf Guzman untuk menjaga Jillian dan membimbingnya menjadi gadis yang baik. Rangga menyeringai. “Tidak akan, Anda bisa apa memangnya?” Rangga mengatakannya sambil menyeringai, menatap pria yang ia tidak tahu siapa namanya atau statusnya dalam keluarga Guzman lalu pergi menuju pintu keluar melewati para karyawan Adolf Guzman yang datang untuk melayat atau sekedar membantu menyiapkan pemakaman. Sebagai laki-laki, tentu Kenzo tahu bagaimana perasaan Rangga kepada Jillian dengan hanya berbincang beberapa detik dengan pria itu. Menurutnya Rangga tidak tulus dan seperti kata mendiang Adolf Guzman—Rangga hanya memanfaatkan Jillian saja. Kenzo memutar tubuhnya menapaki anak tangga satu persatu hingga tiba di lantai dua. Ia tidak butuh bertanya untuk mengetahui yang mana kamar Jillian karena terdapat nama gadis itu di salah satu pintu. Kenzo masuk, tanpa segan apalagi permisi. Langkah dari kakinya yang panjang berhenti tepat di sisi ranjang Jillian. Menatap gadis itu beberapa saat dengan berbagai pikiran dalam benaknya. Kenzo lalu membungkuk untuk menarik selimut hingga pundak Jillian menyamarkan bentuk dua bagian besar di d**a gadis itu. Tapi pergerakannya justru membuat Jillian terjaga, mengerjap lalu refleks menegakan tubuh. “Ngapain Om di sini?” tanya Jillian waspada. Kenzo mengerjap, kehilangan kata-kata untuk menjawab. “Rangga mana?” Jillian bertanya sambil mengedarkan pandangannya ke seisi kamar. Ia mendengar suara Rangga yang panik sebelum pingsan jadi semestinya Rangga ada di sampingnya sekarang. “Barusan pergi, katanya ada job.” Kenzo meraih gelas dari atas nakas yang kemudian ia sodorkan ke hadapan Jillian. “Minum dulu.” Jillian menatap sinis Kenzo lalu menerima gelas itu. “Jangan sembarangan masuk kamar aku lagi, Om bukan siapa-siapa.” Setelah mengeluarkan kalimat bernada ketus, Jillian meneguk semua isi air dari dalam gelas. Jillian kehausan. “Oke,” sahut Kenzo kemudian pergi dengan langkah tegap namun santai. Pria itu masih sempat menatap Jillian yang ternyata juga sedang menatapnya sebelum akhirnya menutup pintu kamar. Malam ini Kenzo tidak tidur dan sudah dipastikan ia juga tidak bisa datang ke kantor karena harus mengurus pemakaman Adolf Guzman. Entah sejak kapan ia menjadi kerabat Adolf Guzman tapi yang pasti, hanya ada dirinya, Amira dan Yuda yang mengurus semua tentang kepergian mendiang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN