Arda POV
Aku sedang menikmati kopi di pagi hari dengan sepotong roti isi mentega. Duduk di teras rumah bersama papa. Seperti kebiasaan kami setiap pagi setelah jogging bersama.
“Mamamu bilang dia mau mengenalkanmu dengan anak temannya.”
Kuhentikan kunyahanku. Kutatap papaku. perlahan kulanjutkan mengunyah roti yang sudah cukup halus, lalu kutelan. “Pa, tolong kasih tahu mama. Tidak ada gunanya—”
“Memangnya kamu tidak mau sembuh? Demi Allah, Arda. Mama tidak rela kamu terus seperti ini. Mama mau kamu sembuh. Normal seperti pria-pria lain. Menikah dan punya anak.”
Kutarik napas dalam lalu kuhentakkan dari sela bibir. Kuputar kepala. Kuikuti pergerakan mama dangan sepasang mataku. Mama berhenti di depan meja yang terletak di antara tempatku duduk dan papa. Mama meletakkan satu piring berisi potongan buah-buahan.
“Jangan begini, Arda. Kamu harus berusaha sembuh,” kata Mama sambil menegakkan punggung. Sepasang matanya menatapku.
“Kamu lupa gimana Siti Markoneng itu menghinamu? Dia membandingkanmu dengan waria-waria di lampu merah. Mereka menghinamu habis-habisan, Arda. Kamu harus buktikan pada mereka kalau kamu bisa sembuh. Biar mereka malu tujuh turunan.”
“Mama sudah sumpahi anak perempuannya nggak akan laku. Nggak akan ada laki-laki yang mau nikah sama dia.” Mama bicara panjang lebar dengan penuh emosi.
“Sahabat Mama setahuku namanya Siti Komariyah, bukan Siti Markoneng,” kataku. Dulu mereka bukan hanya sahabat, bahkan sudah seperti saudara kembar dampit. Tapi setelah kejadian waktu itu--hubungan mereka berubah 180 derajat. Mereka sekarang seperti kucing dan tikus. Tidak bisa akur.
“Jangan membelanya.”
Astaga. Padahal aku hanya mengingatkan nama ibunya Tifa yang benar. Kutahan ringisan melihat mata mama melotot.
“Mama mau lihat dia masih bisa sombong kayak apa, kalau anak perempuannya itu nggak laku.”
Aku mengernyit melihat mama tertawa setelah menyelesaikan satu kalimat itu.
“Kamu juga. Lihat tubuhmu. Tubuh se atletis ini kok—” Mama tidak melanjutkan kalimatnya. “Ya Allah, Arda … kamu harus sembuh, Nak.” Lalu mama menatapku dengan jenis tatapan yang hanya bisa membuatku mendesah dalam hati.
Segera kupalingkan tatapan dari mama. Melihatnya begitu sedih, aku tidak tega.
“Arda, kamu harus sembuh ya, Nak.”
Kuhembus napasku. “Iya, Ma. Aku juga lagi usaha sembuh. Mama bantu doa saja.”
“Nggak akan cukup hanya dengan doa, Arda, kamu harus usaha. Nanti malam kamu temui Sisil. Mama sudah atur kamar hotel untuk kalian.”
Kepalaku memutar dengan cepat tanpa kuminta. Kutatap mama. “Apa? Hotel? Untuk apa ke hotel?”
Mama tidak langsung menjawab. Mama justru menarik kursi lalu mendudukinya. Kutunggu jawaban Mama. Untuk apa coba bertemu di hotel? Oh, bukan hanya di hotel, tapi tadi mama menyebut kamar hotel kalau aku tidak salah mendengar. Ah, semoga saja aku salah dengar.
“Dengarkan Mama baik-baik, Arda.”
Kurasa kini keningku sudah tidak rata. Kutatap mama dengan sepasang mata memicing.
“Sisil berbaik hati mau membantumu. Itu … loh, Arda.”
“Itu apa, Ma?”
“Aduh. Masa iya Mama harus jelasin sampai gamblang.”
Aku meringis saat mama tiba-tiba menampar keras pahaku. Kuusap pahaku yang terasa panas. “Ngomong saja, Ma,” kataku. Dari pada berbelit-belit.
“Dia bersedia membuat itu mu berdiri.”
Mataku langsung melotot melihat kemana arah tatapan mata mama. “Mama kasih tahu dia kalau aku—” Kuhentikan kalimatku. Aku kecewa pada mama. Selama ini aku berusaha setengah mati menyembunyikan penyakitku itu.
“Ma … itu sudah berlebihan. Tidak seharusnya Mama menceritakan aib anak Mama sendiri.”
“Aku tidak menceritakan secara detail, Pa. Aku cuma bilang Arda pernah trauma ditinggal perempuan sampai dia nggak mau dekat dengan perempuan. Sama tubuhnya nggak merespon perempuan.”
“Tetap saja itu berlebihan. Perempuan itu pasti bisa menebak penyakit Arda. Lagipula Mama tidak perlu menyodorkan Arda pada perempuan itu.”
“Menyodorkan bagaimana, Pa? Sisil sendiri yang menawarkan bantuannya. Setidaknya dia akan berusaha membuat Arga b*******h. Biar pedangnya bisa berdiri, Pa. Aku benci setiap kali ingat hinaan Siti Markoneng.”
“Tapi itu namanya zina, Ma. Mama mau ngajari anak Mama Zina?”
“Kan baru usaha, Pa. Belum tahu juga nanti Arda bisa terangsang atau nggak. Mama bisa migren kalau terus-terusan mikirin Arda, Pa. Anak Papa ini padahal body nya atletis. Wajahnya jelas ganteng. Cewek mana yang nggak suka sama Arda, coba? Anaknya Markoneng saja sampai terkintil-kintil sama Arda. Tapi kok ya dia malah begitu.”
Kuhentak napas keras hingga mama berhenti bicara dan perhatian kedua orang tuaku terarah padaku. “Ma, aku minta maaf sudah membuat Mama dan Papa kecewa. Aku juga nggak mau kayak gini. Aku mau normal. Tapi gimana? Tuhan kasih Mama dan Papa anak seperti aku.”
“Apa nggak bisa Mama dan Papa nerima keadaanku seperti ini? Yang penting aku nggak nyakitin siapapun.”
“Kamu menentang takdir, Arda. Takdir kamu laki-laki. Laki-laki pasangannya perempuan. Apa kamu lupa kisah kaum nabi Luth? Mereka yang menyukai sesama jenis dilaknat oleh Allah, Arda.”
Kutekan keras katupan rahangku mendengar kalimat panjang papa. Aku tidak lupa kisah itu. Sedari kecil aku sudah mendengar cerita nabi-nabi. Termasuk cerita nabi Luth. Napasku mulai memburu. Kucoba untuk mengendalikannya. Kuatur sepelan mungkin tarikan dan hembusan napasku.
“Kamu harus sembuh. Papa tidak mau kelak di akhirat melihatmu masuk neraka.” Papa lalu beranjak kemudian berjalan melewatiku. Masuk ke dalam rumah. Kutekan sekuat mungkin emosi yang sudah meluap-luap di dalam d**a.
“Arda.” Mama memanggilku. Kugulir bola mata ke arah wanita yang sudah melahirkanku itu.
“Dengarkan Mama. Mama melakukannya demi kebaikanmu. Sama seperti papa. Mama juga nggak mau melihatmu masuk neraka karena kamu mengingkari kodratmu.”
“Aku tidak mengingkari kodratku, Ma. Aku tahu aku laki-laki. Mama lihat, aku sama sekali nggak berubah. Aku tetap laki-laki, hanya saja—” Kuhembus keras karbondioksida keluar dari mulut yang kubulatkan.
“Kalau begitu cobalah. Nanti malam kamu harus ketemu Sisil. Berusahalah, Nak. Demi masa depanmu sendiri.”
“Aku nggak mau perempuan lain yang membantuku.”
Mama terlihat terkejut.
“Apa? Apa kamu sudah punya pilihan sendiri? Katakan saja, Arda. Siapapun,” kata mama dengan ekspresi wajah yang sudah berubah. Terlihat bersemangat.
“Mama harus janji dulu. Mama harus menyetujuinya.”
“Siapa? Katakan saja?” desak mama terlihat begitu tidak sabar.
“Tifa. Aku cuma mau Tifa. Aku akan menikahinya lagi.”
“Siapa??? Tifa anaknya Siti Markoneng?!” Bola mata mamaku langsung membesar. Wajahnya berubah horor.
Kuanggukkan kepala. “Iya. Dia. Oriza Satifa Junaidi nama lengkapnya, kalau Mama lupa. Mantu idaman Mama dari dulu.”