Bab 6.

1211 Kata
Tifa POV. Aku penyuka lagu-lagu lawas. Di toko bunga milikku, seringkali kuputar lagu-lagu zaman saat aku bahkan masih belum lahir. Meskipun begitu, lagu-lagu lawas itu familiar di telingaku karena emakku yang sering memutarnya di rumah. “Satu dua dan tiga … a … kumulai membaca.” “Surat cintaku yang pertama. Membikin hatiku berlomba.” “Seperti melodi yang indah … ah.” “Kata-kata cintanya.” Aku sedang ikut menyanyikan lagu tahun 80 an, yang dipopulerkan oleh si burung camar, tante Vina Panduwinata. Penyanyi favorit emak, ketika seseorang datang lalu mengetuk meja di depanku. Kuangkat kepala. Gerak tanganku merangkai bunga berhenti. “Ada apa?” tanyaku pada Ratna. Salah satu pekerja di toko ku. “Mbak Tifa kalau sudah nyanyi jadi nggak merhatiin ada tamu datang.” “Yaelah, Ratna. Gue gaji lo juga buat ngelayanin pelanggan. Bukan cuma buat mejeng jepret sana, jepret sini, pasang status,” sahutku. Aku tahu kebiasaan pekerjaku yang satu ini. Benar kan? Ratna langsung menyengir. “Dasar.” “Eh, tapi ini tamunya bukan pelanggan toko, Mbak.” Kutatap Ratna dengan kening mengernyit. “Bukan?” Ratna menggelengkan kepala. “Trus?” tanyaku lagi. “Pelanggannya Mbak Tifa,” jawab Ratna sambil tersenyum aneh. Aku berdecak. “Lah kenapa dia nggak langsung masuk seperti biasa, sih?” tanyaku. Dalam pikiranku tentu saja orang yang dimaksud Ratna itu Arda. Biasanya Arda akan langsung masuk tanpa permisi. Yes. Arda sudah lama menjadi pelanggan toko bungaku. Tepatnya sejak aku buka toko bunga ini satu tahun lalu. “Suruh aja dia masuk,” kataku sambil melanjutkan pekerjaan. “Surat cintaku yang pertama.” Kulanjutkan bernyanyi sambil menggunting batang bunga. Memilah daun yang bagus, lalu menambahkan ke rangkaian bunga yang baru setengah jadi. Tubuhku dengan sendirinya bergoyang mengikuti irama musik yang terdengar memenuhi toko. Membuat semangat bekerja ku terbakar. “Satu dua dan tiga … a ….” Mulutku bertahan menganga ketika kulihat tubuh seseorang di seberang meja, lalu kuangkat kepala dan kulihat sosok asing berdiri di depan meja kerjaku. Mengerjap, kurapatkan kedua belah bibirku setelah sadar sudah menganga terlalu lama. Aku berdehem. “Um, maaf … mau cari apa ya? Hand bouquet, table flower, bunga papan, standing flower atau apa?” tanyaku menawarkan daganganku. “Kalau mau lihat contoh rangkaian bunga yang lebih lengkap ada di album. Tunggu saya ambilkan—” “Tidak perlu. Saya datang bukan buat beli bunga.” “Hah? Bukan? Lalu?” tanyaku sedikit kesal. Buat apa datang kalau bukan buat beli bunga? Buang-buang waktuku saja. “Oriza Satifa, kan?” Keningku langsung mengernyit. “Iya benar.” “Saya Topan—” Mataku langsung melotot bahkan sebelum ia selesai memperkenalkan namanya. Aku juga tidak mendengar kepanjangan nama pria yang dibicarakan oleh emakku tadi pagi. Astaga. Aku melupakannya. Si angin topan itu tertawa. Membuatku semakin kesal. Kutarik napas lalu kuhentak kuat. “Maaf … maaf. Kamu lucu sekali.” “Lo pikir gue badut? Lucu?” Tidak perlu lagi bicara formal dan manis pada si angin topan. Toh dia datang bukan untuk membeli daganganku. Kuletakkan beberapa bunga yang belum sempat kutambahkan ke rangkaian bunga. Aku berjalan keluar dari balik meja. Tanpa bicara, kuayun kaki ke sofa panjang di satu sisi ruangan. Tempat aku biasa menerima tamu yang hendak memesan bunga untuk acara tertentu sehingga kami perlu waktu berdiskusi. “Ratna, tolong ambilkan minum untuk om ini. Kalau tidak, nanti rambut yang lo udah sisir rapi itu balakan jegrak,” ujarku pada Ratna yang langsung bergegas untuk mengambil minuman. “Kata mamaku, dulu aku lahir saat ada angin topan. Makanya aku diberi mana topan.” Kuputar bola mata mendengar penjelasan pria yang berjalan mengikutiku. Ternyata dia paham juga sindiranku, batinku. Aku duduk di ujung kiri sofa. Di sini hanya ada satu sofa panjang saja. Tokoku tidak terlalu besar. Kalau aku menaruh satu set sofa, akan memakan banyak ruang. Kutunjuk ujung sofa sebelah kanan supaya Topan duduk di sana. Aku bersyukur dia mengikutiku. Sehingga ada jarak dua tempat duduk di antara kami. Ratna datang dengan membawa dua botol air mineral dingin lalu meletakkan ke depanku dan Topan. “Silahkan,” ujar Ratna sebelum berbalik lalu berjalan cepat menjauh. “Jadi?” tanyaku langsung. “Jadi? Ya ... kita disuruh kenalan, kan?” Jawaban macam apa coba itu. Kuhembus napas pelan. “Harusnya lo langsung bilang nggak mau. Gue aja langsung bilang gitu ke emak gue tadi pagi. Nggak perlu maksain diri.” “Tapi aku mau. Aku mau kenal sama kamu, Tifa. Benar kan, panggilanmu Tifa?” “Di luar sana masih banyak perempuan yang single dan belum pernah nikah. Gue ini janda. Mungkin emak gue lupa kasih tahu elo soal itu.” “Enggak kok. Mama kamu udah kasih tahu. Janda 2 hari 15 jam, kan?” Aku tidak yakin seperti apa ekspresi wajahku saat ini. Mulutku menganga lebar. Bisa-bisanya emak ingat jumlah jamnya. Astaga, kirain cuma aku saja yang menghitungnya waktu itu. “Trus kenapa lo masih mau? Memangnya lo nggak laku sama yang belum pernah nikah?” tanyaku langsung. Aku malas berbasa-basi. Kuangkat alis ketika melihat si angin topan terdiam. Nah kan bingung? Sepertinya memang dia tidak laku. Atau jangan-jangan … “Atau lo juga udah pernah nikah dan gagal sama kayak gue?” “Belum.” Si angin Topan menggeleng keras. Pria itu kemudian mengambil botol minuman di depannya. Ternyata dia haus. Kubiarkan sampai dia puas meneguk air mineral itu. Kuedarkan pandangan ke bagian lain toko ku. Ada dua orang yang sedang bertransaksi. Alhamdulillah. “Aku suka sama kamu, Tif.” “Hah? Apa?” tanyaku kaget. Kutatap pria itu. Baru juga ketemu lima menit sudah bilang suka. Ckckck … sudah pasti ini modus. Mungkin dia mikirnya aku janda jadi bisa dimainin. Ah, mungkin mau diajak ngamar. Dia mau yang gratisan. Hanya karena aku sudah pernah nikah, lalu dia mikir aku bisa diajak ngamar gretongan? Tanpa sadar, kepalaku bergerak menggeleng. Aku berdecak. “Sayangnya gue enggak. Maaf ya. Lebih baik lo cari yang lain saja. Gue yakin kok—” Kuhentikan kalimatku. Kuperhatikan sesaat penampilan si angin topan. Kukerutkan bibir. “Not bad. Gue yakin lo bisa kok dapetin cewek yang belum pernah nikah.” “Tapi gue sudah terlanjur suka sama lo, Tifa.” Wah … mulutku langsung menganga. Sekarang dia sudah ngomong lo gue. “Kita kenal pelan-pelan aja. Lo bisa tanya apa aja ke gue. Dari masalah pribadi, kerjaan, hobi. Apapun.” Topan bicara panjang lebar. “Tunggu … tunggu. Gue belum setuju. Gue ini udah pernah nikah, loh. Ngerti kan maksud gue?” “Maksud lo ... soal lo sudah nggak perawan?” Si angin ngomong dengan santai. Lalu dia justru tersenyum. “Gue tahu, kok, Tif.” “Lo nggak keberatan?" tanyaku. "Padahal kata orang, perawan itu nikmatnya tak terkatakan. Entar lo nyesel loh, kalo sama gue. Mending lo sama Ratna aja tuh. Itu yang tadi ngasih lo air minum. Dia baru lulus SMA tahun lalu. Masih perawan tuh dia,” ujarku panjang lebar membujuk is Topan supaya berhenti berharap sama aku. Sumpah, aku sedang malas berurusan dengan laki-laki. Kutatap Topan dengan kening mengernyit saat pria itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Maksud gue, gue tahu kalo lo tuh masih perawan." Topan menghentikan kalimatnya sejenak. Lagi-lagi pria itu tersenyum. "Gue tahu lo belum sempat belah duren sama mantan suami dua hari 15 jam lo itu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN