Bab 2. Kapan Kita Nikah Lagi?

1059 Kata
“Kita nikah lagi aja, yuk!” ‘BYURRRR!’ Minuman yang memenuhi mulutku lepas begitu saja. Menyembur ke seberang meja. “Tifa … jorok.” Arda melotot. Wajahnya basah terkena semburanku. Aku meringis. Jangan salahkan aku. Itu tadi refleks, batinku bicara pada Arga melalui tatapan mata. “Kamu gila, ya?” tanya Arda dengan wajah masam. Arda langsung menarik berlembar-lembar tisu untuk digunakan mengusap cairan yang membasahi wajahnya. Aku berdehem. Kuambil selembar tisu lalu kutepuk-tepuk ke sekitaran mulutku dengan anggun. Banyak mata yang saat ini terarah ke meja yang kami tempati. Siapa tahu kan ada spek CEO yang sedang memandangku sekarang. Aku tertawa dalam hati mendengar pikiran absurd ku. “Malah senyum-senyum.” Aku mengerjap. “Siapa yang senyum?” tanyaku seraya kukerutkan bibirku. “Lo lah. Tadi gue lihat lo senyum. Seneng lihat gue basah kuyup?" “Ya elah, Ar. Cuma basah dikit doang,” kataku yang langsung membuat bola mata Arda seperti akan meloncat keluar dari kelopaknya. Kutarik kedua ujung bibirku ke atas. “Jangan marah. Ambil hikmahnya saja.” “Hikmah apaan? Si Hikmah lagi jualan nasi campur kalau lo lupa.” Aku melotot. “Bukan Hikma Rahayu.” Aku mencebik. “Maksudku ... siapa tahu penyakit lo langsung hilang setelah gue sembur,” kataku pelan. “Gendeng,” sahut Arda. “Yah siapa tahu kan lo jadi seperti itu karena ketempelan jin ga-i,” kataku sukses membuat Arda mendelik untuk yang kesekian kali. “Shhhttt … banyak cewek yang sekarang lagi ngeliatin elo. Ayo, pasang muka cool,” ujarku sambil tersenyum menggoda Arda. Aku tidak bohong. Memang aku melihat beberapa cewek sedang memperhatikan Arda. Ya, siapa sih cewek yang tidak tertarik melihat penampilan sahabatku ini? Eh, mantan suami tiga hariku ini. Arda itu tinggi, badannya proporsional dengan perut rata kotak-kotak. Lengannya berotot tapi tidak berlebihan. Bikin orang pengin peluk. Kulitnya tidak putih, tapi juga tidak hitam. Menurutku pas buat disebut cowok macho. Bagaimana aku bisa tahu perut Arda kotak-kotak seperti roti sobek yang kalau dicelup ke kopi s**u rasanya nikmat tiada tara itu? tentu saja aku tahu. Aku kan pernah menikah dengannya tiga hari. Yes … benar sekali. Tiga hari. Lebih tepatnya sih 2 hari 15 jam. Karena aku baik hati, jadi aku kasih bonus biar genap tiga hari. “Dasar sinting. Heran … gimana nyokap gue bisa kesengsem cewek kayak elo.” Kupasang wajah dengan senyum semanis mungkin, lalu kukedip-kedipkan kelopak mataku cepat. Kubawa kaitan tanganku ke bawah dagu. Kutatap sepasang mata Arda. “Perhatikan gue baik-baik, Ar. Masa sih lo nggak jatuh hati sama cewek cantik, manis, seru, baik hati kayak gue?” Bukan menjawab pertanyaanku, Arda hanya mencebik, lalu menyugar rambutnya yang sudah lumayan panjang. Kuhentak napas keras. Kesal karena Arda tidak menanggapiku. Kutarik punggung ke belakang lalu kuletakkan dua tangan ke atas meja. Mau kulihat berapa kali pun, Arda tetap ganteng maksimal. Apalagi ditambah rambutnya yang lumayan gondrong itu. Menurutku Arda jadi kelihatan lebih cool. Ah, apalagi kalau ingat profesi pria itu. Dia seorang Arsitek. Dia bekerja bersama papanya yang merupakan seorang developer. Coba bayangkan, bagaimana emak gue kagak cinta mati sama Arda? Sudah ganteng, pinter, masa depan cerah, plus dia itu baiknya minta ampun. Makanya emak gue langsung setuju waktu mama Arda menjodohkan Arda denganku. Emakku bilang, kapan lagi bisa dapat calon yang nilainya 100 buat anaknya yang nilainya 50 kurang 1. Gila kan? Segitu cintanya emak ku sama Arda sampai-sampai menilai anaknya sendiri terlalu rendah untuk Arda. Tapi itu dulu, sebelum emak langsung berbalik arah menentang Arda setelah tiga hari pernikahan kami. Yah … begitulah. Aku dan Arda langsung disuruh cere. Meskipun hubungan keluarga kami sekarang tidak lagi seharmonis dulu sebelum kami menikah, tapi aku dan Arda sepakat untuk tetap berteman. Sampai saat ini kami masih teman baik. “Jadi gimana? Lo mau kan nikah lagi sama gue? Entar lo minta mahar berapa gue kasih.” “Kalau gue mau mahar berlian 25 miliar lo mau kasih?” tanyaku. Kucebikkan bibir begitu kulihat ekspresi wajah Arda berubah. “Kan gue kagak mau kalah sama princess SYR itu, Ar. Lo lihat … dari sisi manapun, kecantikan paripurna gue nggak kalah sama princess SYR itu.” “Entar gue kasih mahar cermin aja yang paling ge de, Tif.” “Asem.” Aku paham maksud Arda. Dia sedang mengejekku. “Kalo gitu lo nikah sama cermin itu aja,” kesalku. Kudorong kursi ke belakang seraya beranjak berdiri. “Eh, lo mau ke mana?” “Balik ke toko, lah,” sahutku. Memangnya aku mau kemana lagi saat jam masih menunjukkan pukul 3 sore. “Tunggu gue.” Arga mencekal pergelangan tanganku. Meskipun posisi kami terpisah meja, tapi meja itu tidak lebar. Ditambah postur tubuh Arda yang tinggi, hingga dia dengan mudah menjangkau tanganku. “Apaan? Lo takut nggak bisa pulang sendiri?” ejek ku. Arda berdecak. Arda berdiri lalu mendorong tubuhku hingga mau tidak mau aku kembali duduk. “Apaan, sih?” “Gue lupa nggak bawa dompet, Tif. Gue juga nggak bawa ponsel.” Lalu Arga memperlihatkan cengiran. Kupelototi pria di depanku yang masih menyengir. “Dasar. Pajaknya 100 persen,” kataku kesal. “Buat lo jangankan 100 persen, Tif. Seribu persen gue kasih,” jawab Arda. Aku meringis melihat Arga menyantap potongan roti yang mungkin saja tadi terkena semburanku. Astaga. Aku geleng kepala melihatnya. Arda seperti tidak peduli. Arda makan dengan lahap sampai potongan roti itu habis. Aku hanya bisa berdecak melihatnya. Arda kemudian meneguk jus jeruknya hingga tandas. Kami berdua sama-sama pecinta jus jeruk. Sebenarnya banyak kesamaan yang aku dan Arda miliki. Mungkin karena itu juga kami bisa langgeng bersahabat. “Tif,” panggil Arda membuatku fokus padanya. “Ada apa?” tanyaku. “Kalau lo bisa bantu gue balik normal, lo mau minta apa aja gue kabulin.” Aku mengernyit mendengar perkataan Arda. “Apapun? Lo serius?” tanyaku. Kulihat Arga menganggukkan kepala. “Yakin?” tanyaku lagi tak percaya. “Tadi aja aku minta berlian 25M malah mau lo kasih cermin." "Tadi kan mahar, Tif. Belum terbukti lo bisa bikin gue balik normal." "Kalau gue minta setengah saham lo di perusahaan bokap lo, boleh?” tanyaku. “Jangankan setengah, Tif. Kalo lo bisa bikin gue normal lagi—semua saham gue buat lo.” Aku tidak berhasil menjaga kelopak mataku untuk tidak terbuka lebih lebar mendengar jawaban Arda. Mulutku terbuka. “So, kapan kita nikah lagi? Biar lo bisa langsung usaha bikin gue turn on.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN