Bab 3. Dua Tahun Lalu.

1438 Kata
2 Tahun Lalu. Pesta pernikahan digelar dengan sangat meriah. Dua perempuan yang sudah lama bersahabat, kini merekatkan hubungan dekat keluarga mereka dengan sebuah pernikahan. Pernikahan dari anak-anak mereka. Dan dua orang muda mudi yang berteman sedari kecil, kini sudah sah disatukan dalam sebuah hubungan sakral pernikahan. Tifa dan Arda tidak keberatan dijodohkan oleh orang tua mereka karena keduanya merasa sudah saling mengenal dengan baik. Merasa dekat dan nyaman saat bersama. Pesta pernikahan itu digelar dua hari dua malam. Membuat kedua mempelai kehabisan tenaga. Dua malam itu keduanya langsung tertidur setelah acara melelahkan itu berakhir. Di pagi hari mereka bangun dengan senyum merekah. “Capek banget ternyata nikah, ya?” ujar Tifa seraya mengucek mata. “Makanya tidur lagi aja.” Tifa tersentak ketika merasakan tubuhnya ditarik mendekat oleh Arda. Gadis itu berdehem. Jantungnya berdebar kencang. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan debaran jantung secepat ini saat bersama Arda. Tapi sekarang, alat pemompa darahnya itu seolah meloncat-loncat ingin keluar dari dadanya. Inikah yang namanya cintai? Tifa merasakan kedua pipinya panas. Dan wajahnya terasa semakin panas ketika Arda mengeratkan rengkuhan tangan pria itu di pinggangnya. “Arda,” panggil Tifa. Gadis itu berdehem. “Um … elo--” “Apa?” tanya Arda seraya membuka mata. Dia masih mengantuk, dan juga lelah. “Kita mau malam pertama kapan?” tanya Tifa tanpa basa basi. “Hah?” Arda langsung menarik tangan yang semula melingkari pinggang Tira. Pria itu menurunkan pandangan mata. “Malam pertama. Setelah menikah kan malam pertama, Ar. Jangan pura-pura b**o ah. Lo kan cowok. Biasanya cowok yang lebih agresif.” Arda mengerjap. Pria itu berdehem. “Gue masih ada urusan. Habis ini gue harus ke proyek.” “Ya sudah. Nggak masalah. Nanti malam aja, ya. Nanti gue mau beli lingerie dulu. Kemarin belum sempat," cerita Tifa. “Lo sudah siap malam pertama?” tanya Arda. “Emang nggak siap kenapa?” Bukan menjawab, Tifa justru balik bertanya. Meskipun begitu, Tifa tidak menunggu Arda menjawab pertanyaannya. Gadis itu melanjutkan. “Gue udah pernah nonton, Ar.” Lalu Tifa terkekeh pelan melihat sepasang mata Arda melotot. “Lo liat begituan? Kok lo nggak cerita sama gue?” “Ish … kalau cerita entar lo ngajakin gue praktek. Kan kita blom nikah, Ar. Zina nanti.” “Lo pikir waktu lo nonton itu lo nggak zina?" “Zina apaan, orang gue nonton sama si Dina. Masa iya gua praktek sama dia. Nggak bisa dong, Ar. Botol sama botol nggak nyambung.” “Sinting lo Tif.” Arda geleng kepala melihat Tifa tertawa. “Ya udah sih. Kalau mau praktek sekarang juga nggak masalah, Ar. Tapi, gue naked langsung aja, ya? Gue beneran belum punya lingerie,” ujar Tifa tanpa beban. Seorang yang akan mereka lakukan itu sebuah permainan anak kecil. Arda berguling ke sisi ranjang yang kosong. Pria itu turun dari ranjang. “Loh, mau kemana?” “Ke kamar mandi. Pipis. Mau ikut?” “Boleh,” sahut Tifa yang detik berikutnya tertawa keras saat Arda mengambil bantal lalu melempar ke arahnya. Tifa yang sudah dalam posisi duduk itu menggerakkan tubuh ke samping—menghendari bantal yang melayang. “Ya Allah, Arda … lo seksi banget ternyata,” goda Tifa melihat sahabat yang kini sudah menjadi suaminya itu berjalan menjauh. Tubuh atas pria bernama lengkap Rafarda Agung Mujahid Itu terbungkus kaos putih pas badan, sementara bagian bawahnya hanya dilapisi celana kolor pendek warna kuning pucat. Baru kali ini Tifa memperhatikan tubuh Arda yang ternyata begitu bagus. Tidak heran karena Arda rajin olahraga. Arda suka berenang makanya d*da pria itu bidang dan keras. Lengannya berotot tapi tidak berlebih. Ah, pantatnya juga seksi. Mungkin itu karena Arda rutin mendatangi gym dua kali dalam satu minggu. See … Tifa tahu sedalam itu tentang Arda. **** Tifa mewujudkan janjinya pada Arda. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk malam pertama mereka. Setelah Arga berangkat kerja, seharian itu Tifa ke salon. Menjalani spa lengkap untuk membuat tubuhnya segar, bersih dan wangi. Lalu membeli beberapa lingerie dengan model dan warna berbeda. Arga pulang malam hari. Ia menyelesaikan pekerjaan yang tertunda sebelum esok rencananya ia akan berangkat bulan madu ke Italia bersama Tifa. “Mantu Mamih, kok pulang sampai malam begini, sih? Anak Mamih sudah nungguin loh dari tadi. Katanya kalian mau belah duren hari ini.” Arda terbatuk mendengar kalimat ceplas-ceplos mertuanya. Ya, dia memang masih berada di rumah mertuanya setelah acara melelahkan itu. Rencananya mereka akan bergantian menginap. Satu minggu di rumah orang tua Tifa, satu minggu di rumah orang tuanya. Begitu terus sampai satu tahun. Setelah itu mereka baru diizinkan tinggal di rumah sendiri. Siti Komariah, ibu Tifa terkekeh. Wanita itu menepuk-nepuk lengan mantu kesayangannya. “Sudah sana ke kamar, anak Mamih sudah siap buat belah duren.” Lalu perempuan itu tertawa seraya berjalan meninggalkan Arda yang garuk kepala. “Arda … jangan kecewakan anak Mamih. Bikin dia jerit-jerit semalaman, oke?” Siti Komariah yang baru saja menoleh itu tersenyum lebar sambil mengangkat ibu jarinya. “Astaga … mertua gue gitu amat. Pantesan Tifa sama errornya.” Arda berjalan sambil geleng kepala. Berbelok lalu menaiki anak tangga menuju kamar Tifa berada di lantai dua. Sudah hampir jam 10 malam. Arda mengetuk daun pintu dua kali kemudian langsung mendorong. Tidak dikunci. Pria 25 tahun itu berjalan masuk. “Kirain lo udah tidur, Tif,” ujar Arga melihat Tifa duduk menyandar kepala ranjang sambil membuka buku. Tubuhnya tertutup selimut sampai ke d*da. Tifa menguap. “Cepetan mandi, gih. Lama benget nunggunya.” “Beneran kita mau malam pertama sekarang?” “Ya iya lah. Kapan lagi?” “Nggak pas kita bulan madu saja?” tanya Arda. Pria itu menghentikan ayunan kaki di dekat Tifa. “Emangnya lo nggak mau cepet-cepet ngerasain surga dunia? Katanya enak banget, loh, Ar. Aku kan pengin juga ngerasain. Sudah cepetan sono mandi. Eh, atau mau gue mandiin?” “Lo mau gosokin punggung gue?” Tifa mencebik. “Ya udah gue mandi dulu.” Arda memutar langkah lalu berjalan meninggalkan Tifa menuju kamar mandi. Tifa cekikikan menatap punggung Arga menjauh. Tifa segera menyibak selimut, lalu beranjak dari ranjang. Dengan memakai kimono tipis yang panjangnya tidak sampai setengah paha, Tifa berjalan ke arah meja rias. Tifa mengambil lipstik kemudian memoles bibirnya hingga terlihat merah merona. Tifa kemudian menyemprotkan parfum ke tubuhnya lalu memastikan rambutnya rapi sebelum kembali ke atas ranjang. Tifa mengatur posisi. Berbaring di atas ranjang dengan posisi miring, kepala disangga dengan satu tangan. Satu kakinya ditekuk. Tifa memastikan posisinya siap membuat Arda langsung ingin menerjangnya. Arda itu kalau mandi cepat. Lima menit, atau tujuh menit. Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Tifa mengatur rambutnya, lalu melengkungkan senyum menggoda sambil menunggu seseorang yang sedang berjalan keluar kamar mandi. Arda mengerjap melihat sosok yang berbaring miring dengan satu tangan menyangga kepala. Pria itu berdehem. Arga menghampiri Tifa. Berdiri di sebelah Tifa. Tifa tanpa basa basi menarik tali kimono yang membungkus tubuh Arda. Tifa berdehem melihat tubuh yang berada dibalik selembar kain itu. Tifa merubah posisi menjadi terlentang. Kaki putih mulus terpampang nyaris tanpa halangan sedikitpun. Sebagian d*da wanita itu menyembul dari balik kain tipis berbahan sutera. Arda naik ke atas ranjang. Pria itu menyapu penampilan seksi tifa. Tangannya bergerak menarik tali kimono Tifa hingga ia bisa melihat apa yang tersembunyi dibalik kain tipis tersebut. Arda menatap Tifa lekat-lekat. Pria itu mendekatkan wajah mereka. Tifa memejamkan mata, bersiap menerima ciuman pertama mereka dengan jantung berdebar kencang. Satu detik, dua detik, bahkan hingga lima detik terlewat, bibirnya masih kering. Ia belum merasakan bibir Arda. Tifa membuka mata. Mengernyit melihat Arda hanya menatapnya. “Kenapa? Masih kurang hot?” tanya Tifa bingung. Seharusnya Arda langsung menerkamnya seperti di film-film itu. Mau gue buka lingerie nya sekalian?” Tifa menatap bertanya Arda yang masih diam. Tangan Tifa sudah bergerak untuk melepas kimono yang baru terbuka bagian depannya saja, namun pergerakkan tangannya ditahan oleh Arda. “Lo kenapa, sih?” tanya Tifa seraya menatap bertanya Arda. “Sorry, Tif. Gue nggak bisa.” Arda menatap Tifa dengan penuh perasaan bersalah. “Nggak bisa apa?” tanya Tifa dengan wajah bingung. “Gue nggak bisa On, Tif.” Tifa mengangkat tubuhnya. “Biar gue yang bikin lo ‘on’,” tawar Tifa sambil bergerak mendekatkan wajahnya. Berpikir Arga mungkin masih belum bisa memulai karena malu. Sayang, Arda lagi-lagi menahan pergerakan Tifa, membuat gadis itu semakin bingung. “Gue nggak bisa ‘on’ sama perempuan, Tif. Maaf.” jelas Arda membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. "Apa? Maksud lo ... lo itu--" Sepasang mata Tifa terbelalak melihat gerakan kepala Arda menjawab pertanyaan yang belum selesai. Refleks Tifa menjerit hingga membuat suami istri yang sedang mencuri dengar di depan pintu terkejut. "Mamih! Mantu mamih ga-i!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN