Setelah rombongan tiga manusia yang tidak kusukai akhirnya keluar rumah, aku mengikuti Papa dan Eyang masuk ke dalam rumah, disusul Hesa di belakangku. Kami duduk berempat di ruang keluarga. “Bagaimana ujianmu?” tanya Papa. Kedua sudut bibirku terangkat. Kulirik Hesa yang memberiku senyuman kecil. Kualihkan bola mataku kembali ke arah Papa. “Cukup memuaskan,” kataku dengan bangga. Bisa kulihat Eyang tersenyum senang, sementara Papa masih mengamatiku. “Sudah tidak ada nilai di bawah Tujuh. Hebat kan, Eyang?” Aku menoleh pada Eyang yang duduk di sebelahku. Bibirku masih mengumbar senyum. Sungguh, aku bangga dengan pencapaianku. Setelah usaha keras selama beberapa bulan. Belajar nyaris setiap hari. Merasakan kepala serasa mau pecah, saat sudah mulai berhadapan dengan soal-soal Matematika, d