Tanpa bisa dicegah, Jaka berlari keluar. Tidak dihiraukannya tatapan penuh selidik dari orang-orang di dalam ruang rapat. Jaka yakin Haris pasti akan menanganinya. Baginya sekarang Sheila lebih penting. Yang lain urusan belakangan.
Jaka harus menemui Sheila secepatnya. Dia sudah tidak peduli lagi jika harus membuka identitasnya. Toh selama ini dia memang tidak pernah sengaja menutupi identitasnya dari Sheila.
Dengan langkah tergesa-gesa dan nafas memburu, Jaka berniat menuju ruang kerja Sheila. Di depan lift, tangannya tidak henti-henti memencet tombol Pintu berharap benda kotak itu segera terbuka. Jaka berdecak karena pintunya tidak segera terbuka. Saat sudah terbuka, dia langsung masuk. Saat hendak memencet nomor lantai, seketika dia sadar kalau dia tidak tahu di lantai mana pacarnya itu berada. Akhirnya dengan terpaksa dia turun ke lobi dan bertanya pada resepsionis.
"Permisi, ruang akunting di lantai berapa?" tanya Jaka. Sengaja dia memasang tampang datar dan suaranya dibuat sedingin mungkin.
Resepsionis yang ditanya tidak segera menjawab. Dalam hati dia bertanya kenapa seorang Arjuna, investor perusahaan, ingin tahu letak bagian akunting? Bukankah ini aneh? Biasanya dia hanya menuju ruang CEO dan tidak pernah ke mana-mana. Kenapa sekarang dia jadi penasaran?
Resepsionis itu pun berdehem lebih dulu. "Ehm! Maaf, Pak, tenggorokan saya tiba-tiba kering."
Wajah Jaka jadi semakin datar.
"Kalau boleh tahu ada urusan apa ya, Pak? Mau bertemu dengan manajernya? Biar saya panggilkan saja. Bapak boleh tunggu di sofa itu." Resepsionis itu menunjuk sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari mejanya.
Jaka mendengus dengan kasar. Resepsionis ini pasti tidak tahu kalau Jaka adalah pemilik kantor ini sekarang.
Memang salahnya sendiri tidak ingin dikenal oleh pegawai kantor kalau sekarang dia pemiliknya yang sah. Jaka pikir dia hanya pemilik. Semua yang berhubungan dengan manajerial dan sebagainya berada di bawah arahan CEO langsung seperti biasa.
"Tidak perlu!" sahut Jaka ketus.
Jaka sedikit menyesal karena dia justru dihalang-halangi untuk mengenal kantornya. Apa sudah perlu untuk mengungkap identitasnya?
Jaka pun pindah menuju pos satpam. Dia memutuskan untuk bertanya pada Supri saja. Siapa tahu pria itu akan menjawab pertanyaannya.
"Pak Supri!" sapa Jaka ramah.
"Lho, Pak Arjuna?" Supri tentu terkejut dengan kehadiran bos besar -jika dia boleh menyebutnya begitu.
Supri segera berdiri untuk menyalami Jaka begitu pula dengan rekannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Supri dengan hormat.
"Ehm!" Jaka tiba-tiba merasa tenggorokannya kering.
"Anu, Pak Supri. Itu lho." Kenapa lidah Jaka langsung terasa kelu?
"Iya, kenapa, Pak?" tanya Supri lagi.
Duh, Jaka jadi makin salah tingkah. Mau tanya ruangan Sheila aja kenapa susah sekali sih?
Namun tiba-tiba terdengar suara mengaduh dengan kencang. Jaka segera berbalik. Namun saat dia berbalik, matanya justru dikejutkan dengan sosok gadis yang dia cari dari tadi.
Sheila tampak meringis memegang lututnya. Sepertinya dia terantuk ujung pelat nomor sebuah motor.
Lutut Jaka langsung ikut merasa ngilu. Kenapa gadis itu ceroboh sekali? Jaka menggeleng.
Dan hatinya juga langsung ikut ngilu saat seorang pria muda memegang lutut Sheila yang sakit. Lelaki itu berlutut di depan Sheila dan meniup lututnya dengan penuh perhatian.
"Tidak bisa dibiarkan!" seru Jaka dalam hati.
"Sheila?" Jaka tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Sheila. "Kamu kenapa, Sayang?"
Jaka sengaja menekankan kata 'sayang' agar itu lelaki tahu kalau Sheila sudah ada yang punya.
Sheila melongo. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Apalagi Jaka mengatakannya dengan wajah manis yang sulit digambarkan.
Laki-laki yang sedang menolong Sheila langsung menghentikan kegiatannya. Dia tampak syok hingga matanya membulat sempurna.
Dan dia semakin terkejut saat Jaka juga berjongkok untuk melihat luka Sheila. Hal ini membuat teman Sheila merasa tersingkir.
"Eh, Mas Jaka, jangan! Nggak enak diliatin orang. Jangan begini!" Wajah Sheila memerah. Ini adalah pertama kalinya kulit mereka bersentuhan.
Akan tetapi, sepertinya itu bukanlah yang dirasakan Jaka. Auranya menggelap. Matanya memicing tajam.
"Kenapa? Kamu mau dia yang pegang-pegang kakimu? Aku nggak boleh, begitu?"
"Eh, bu-bukan begitu!" Sheila mengibaskan tangannya.
"Shei, dia siapa? Kenapa dia manggil kamu sayang?" Kini teman Sheila yang bertanya. Wajahnya menuntut penjelasan.
"Eh, Salman, kenalkan ini..." Belum selesai Sheila berkata, Jaka sudah menyela.
"Calon suami Sheila," jawabnya dengan tegas. Tangannya terulur. Tidak lupa dia memberikan tatapan tajam pada teman Sheila yang bernama Salman itu.
"Oh!" Salman mengulurkan tangannya membalas jabat tangan Jaka.
Wajahnya tidak kalah gelap dengan Jaka. Dia jelas tidak terima didahului pria lain untuk kedua kalinya. Ya, Salman memang menyukai Sheila sejak pertama kali gadis itu diterima kerja. Namun dia harus memendam perasaannya karena ternyata Sheila sudah punya Roy. Dan baru beberapa hari dia mendapat kabar putusnya Sheila dan Roy, kini ternyata Sheila sudah punya calon suami? Jelas dia tidak percaya! Enak saja main embat!!
Jaka tahu kalau pria di depannya ini menyukai Sheila. Terbaca jelas di matanya. Jaka dengan sengaja meremas tangan Salman. Bukannya mengaduh dan kesakitan, Salman justru membalas Jaka. Jadilah kedua pria itu berlomba meremas tangan musuh.
Sheila jadi bingung dengan kedua pria ini. Dari mata mereka seakan ada sinar laser yang siap melelehkan lawannya. Sheila bingung tidak tahu cara memisahkan mereka. Sebuah ide langsung terbit.
"Aduh duh!" Sheila memegangi kepalanya. Wajahnya meringis menahan sakit yang teramat sangat.
Tanpa dikomando, Jaka dan Salman melepaskan tangan masing-masing.
"Ada apa, Sayang?"
"Kenapa, Shei?"
Ucap kedua pria itu bersamaan. Saat Salman hendak menyentuh kening Sheila, tanpa kata Jaka langsung mengangkat Sheila, menggendongnya dan berjalan menuju klinik kantor.
Supri yang dari tadi menjadi penonton, langsung sadar. Dia pun mengekor Jaka menuju klinik. Salman hanya bisa menatap nanar kepergian Sheila dengan pria yang mengaku sebagai calon suaminya. Entah kenapa Salman seakan enggan mempercayai itu.
"Semoga lekas sembuh, Shei. Setelah itu, kamu harus tahu dan yakin dengan perasaanku," tekad Salman dalam hati.
Dia siap menabuh genderang perang dengan pria yang dia tidak tahu namanya itu.
Di klinik, Jaka segera membaringkan Sheila di atas ranjang periksa.
"Dok, tolong segera diperiksa. Saya takut terjadi apa-apa dengannya." Jaka langsung memberi perintah pada dokter jaga.
Sheila yang hanya pura-pura langsung duduk dan menarik tangan Jaka. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi cuma lututku aja yang sakit."
"Kamu yakin?"
"Iya, Mas."
"Baik, aku percaya. Tapi setelah dokter memeriksamu."
"Mas, aku beneran nggak apa-apa. Malah sekarang aku ingin tanya kenapa Mas pakai baju mahal seperti ini?" tanya Sheila penasaran. Wajahnya seakan menuntut penjelasan.
"Oh ini?" Jaka menunjuk dirinya sendiri.
Sheila mengangguk.
sepertinya sekaranglah saatnya bagi Jaka untuk membuka semua yang perlu Sheila ketahui.
Jaka menarik nafas. Saat hendak menjelaskan sesuatu, tiba-tiba ponsel Sheila berbunyi. Nama mama tertulis di sana.
"Siapa?" tanya Jaka penasaran.
Sheila tidak menjawab. Dia membalik ponselnya agar Jaka bisa melihat nama si penelepon.
"Oh, mama." Jaka mengangguk.
Sheila pun menggeser tombol hijau.
"Halo, Ma."
"Sheila Sayang, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?"
"Sheila sibuk, Ma."
Jaka mendelik mendengar jawaban Sheila. Sibuk apa? batin Jaka.
Sheila mengangkat bahu merespon Jaka.
"Jangan terlalu sibuk dong, Sayang. Kalau kamu sibuk terus, kapan kamu bawa Jaka ke rumah? Mama tidak sabar mau kenalan dengan calon mantu."
Sheila melirik Jaka. Yang dilirik senyum-senyum tidak jelas.
"Weekend besok," jawab Jaka.
Dia sepertinya sengaja berkata sedikit keras agar mama Sheila mendengar.
"Eh, itu suara siapa?" Benar, 'kan? Mama mendengar suara Jaka.
"Mas Jaka, Ma." Sheila tersenyum melihat tingkah Jaka yang menurutnya kekanakan.
"Oh kamu lagi sama Jaka? Mana dia? mama mau ngomong sebentar."
Sheila segera mengulurkan ponselnya.
"Halo, Ma."
"Halo. Ih, calon mantu mama cakep bener pake jas gini."
Sumpah demi apa pun! Sheila yakin dia tidak pernah mendengar mamanya berkata semanis itu.
Jaka tersenyum malu-malu dipuji calon mertua.
"Jadi weekend besok mau ke sini?"
"Iya, Ma."
"Kalau begitu mama tunggu ya. Mama nggak mau kalian pacaran terlalu lama. Nggak baik. Sebaiknya langsung dilamar dan nikah. Mama ingin semua orang di sini tahu kalau Sheila itu juga bisa cari calon suami yang ganteng jadi ibu-ibu PKK di sini nggak terus-terusan promosi anak laki mereka. Mama jadi jengah 'kan, Jaka?"
Ini kenapa mama malah curhatnya melebar? batin Sheila.
Gadis itu pun segera merebut ponselnya. "Iya, Ma. Kita Sabtu besok pulang. Udah ya, Ma. Sheila ini masih di kantor. Nanti dimarahi sama bos kalau kelamaan telepon."
Sheila bersungut. Mamanya itu jadi sangat terbuka kalau bersama Jaka.
"Kenapa?" Sheila bingung melihat Jaka yang dari tadi tersenyum.
"Rasanya udah nggak sabar mau nikahin kamu."
"Hah??" Sheila terkejut bukan main.
Oh tidak!!!