“Hai!” Sheila melambaikan tangannya malu-malu saat Jaka sudah berdiri di depannya. Pagi ini begitu cerah. Dan bertemu Jaka di area parkir sepagi ini membuat hati Sheila bertambah cerah.
Sang Arjuna alias Mas Jaka pun tersenyum tak kalah malu melihat pujaan hatinya pagi hari begini. “Aku parkirkan ya?”
Sheila mengangguk. Saat menunduk, sebagian rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Tangannya yang lentik refleks menyelipkannya di belakang telinga.
“Cantik,” ucap Jaka lirih. Matanya menatap Shela tanpa kedip. Hatinya berdebar menatap gadis imut ini. Tak sabar rasanya untuk mempersunting dan mengurungnya di kamar. Sepertinya dia harus secepatnya bertemu mama Sheila dan mengenalkan Sheila pada orang tuanya.
Jaka mengambil alih motor Sheila. Wangi cologne bayi menyeruak di hidungnya. Jaka memejamkan matanya sambil menghirup dalam-dalam wangi Sheila yang tertinggal. “Ahh, segarnya,” ucapnya dalam hati.
Selesai memarkirkan motor sang kekasih, Jaka bermaksud menitipkan kuncinya di pos satpam. Namun ternyata, Sheila masih setia menunggunya di samping pos satpam. Jaka berlari kecil mendekatinya. Tidak dihiraukannya beberapa pegawai yang memanggilnya untuk meminta tolong. Jaka yakin satpam yang asli akan menyelesaikan masalah mereka.
“Aku kira kau sudah masuk. Ini kunci motormu.”
“Terima kasih.” Sheila segera memasukkan kuncinya ke dalam tas.
Setelahnya, tidak ada yang bersuara. Jaka masih setia menatap Sheila seakan dia ingin merekam setiap detail kecantikan Sheila di memori otaknya. Sheila sendiri merasa salah tingkah ditatap sedemikian rupa oleh Jaka.
“Sebaiknya aku...”
“Kau sudah sarapan?”
Mereka pun tertawa menyadari kalau mereka mengucapkannya bersamaan.
“Sheila!!” Suara nyaring membuat –tidak hanya Sheila- tapi juga Jaka menoleh bersamaan.
Seorang gadis seumuran Sheila berjalan mendekat dengan helm di tangannya.
“Gita, kamu baru datang?”
“Iya.”
“Kenapa bawa helm? Nggak ditaruh di motormu aja?”
“Motorku mogok. Aku tadi naik ojol. Bawa helm sendiri. Makanya aku bawa masuk. Siapa tahu nanti waktu pulang kamu mau nebengi aku. Jadi nggak perlu bingung helm lagi, ‘kan?” Gita tersenyum lebar saat mengatakannya. Ucapannya terselip doa teman di depannya ini mau mengantarnya pulang sore nanti.
“Tenang aja! Kamu bisa nebeng aku kok. Kan rumahmu nggak jauh dari sini.”
“Terima kasih banyak lho, Shei.” Mata Gita bersinar terang mendengar kalimat Sheila. Senyumnya juga tercetak lebar.
Saat matanya menangkap sesosok pria di dekat Sheila, sontak saja Gita mengernyit. Campuran rasa heran dan penasaran terlihat di sudut matanya. Netranya memindai penampilan Jaka dari atas sampai bawah. “Eh, siapa nih?” Gita begitu ingin tahu siapa pria tampan ini. Tangannya terulur untuk menyalami Jaka tapi siapa sangka kalau Sheila bergerak lebih cepat.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Sheila cepat-cepat. Dia bahkan menggenggam tangan Gita agar tidak bersalaman dengan Jaka. Entah kenapa dia tidak rela jika temannya ini bersentuhan dengan Jaka. Selain itu, dia juga belum yakin mengenalkan Jaka sebagai calon suaminya. Apa kata Gita kalau dia tahu hal itu? Baru juga putus dari Roy sudah langsung dapat calon suami aja. Nggak mungkin, ‘kan?
Jaka tersenyum masam mendengar kalimat Sheila. Hatinya tercubit. Apa mungkin Sheila malu karena dia hanya tukang parkir?
Tiba-tiba saja, dia melihat sebuah sedan Honda mendekat. jantungnya langsung bergerak liar. Itu adalah mobil Alvin. Dia tidak boleh terlihat oleh CEO itu. Jaka belum tahu apa yang harus dia katakan pada Sheila jika Alvin menyapanya. Membayangkan dia dipanggil Arjuna oleh Alvin di depan Sheila bukanlah hal yang bagus. Bukan berarti Jaka ingin menutupi identitas aslinya. Tidak! Hanya saja, dia ingin Sheila tahu hal itu dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain.
Roda sedan itu menggelinding dan hampir memasuki area parkir. Jaka harus cepat pergi.
“Permisi.” Hanya itu yang bisa dikatakan Jaka sebelum dia bergerak menjauh.
“Eh? Kenapa dia?” tanya Gita keheranan.
Sheila tidak menjawab. Dia hanya mampu terdiam menyaksikan sang calon suami menjauh tanpa pamit. Sheila bahkan yakin pria itu hanya menyunggingkan senyum kecut sebelumnya. Entah kenapa ada perasaan takut yang merayapi hatinya.
“Apa dia marah karena aku tidak memperkenalkan dirinya pada Gita? Aduh, bagaimana ini?” tanya Sheila dalam hati.
Mata Sheila terus menatap punggung yang menjauh itu. Raut ketakutan jelas terlihat di wajahnya. Dia juga menggigit bibirnya dengan gelisah.
“Kamu kenapa, Shei?” tanya Gita.
Sheila tidak menjawab. Mata dan pikirannya masih fokus pada Jaka yang sebentar lagi menghilang dari pandangannya.
“Shei??” Gita menarik lengan Sheila.
“Hah? Eh, apa??” Sheila gelagapan.
“Kamu kenapa? Sepertinya tidak rela cowok tampan itu pergi. Kamu suka sama dia??” goda Gita.
Wajah Sheila sontak bersemu merah. “Apa sih, Git?”
Melihat wajah Sheila yang malu-malu, Gita semakin gencar menggodanya. “Kenapa wajahmu memerah? Kamu beneran suka sama dia? Memang dia tampan, tinggi, badannya juga oke. Meski dia tidak sekekar Thor, si Dewa Petir, tapi aku yakin dia juga punya otot seperti Tom Holland, si Spiderman.” Alisnya naik turun melihat Sheila yang semakin memerah.
“Apaan sih? Udah ah, ayo masuk! Itu Pak Alvin udah datang. Buruan!!” Sheila langsung berlari meninggalkan Gita.
“Eh, Sheila! Tunggu! Awas kamu ya!”
Di dalam ruangan, Sheila segera merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya. Hatinya benar-benar kalut. Dia tidak ingin ada kesalahpahaman antara dirinya dengan Jaka. Setelah menggenggam benda pipih persegi itu, Sheila segera berdiri.
“Eh, mau ke mana? Masih pagi juga. Kerja aja belum dimulai,” ucap Cindy yang mejanya berada tepat di samping Sheila.
“Aku ke toilet sebentar,” ucap Sheila sambil terburu-buru keluar dari ruangannya.
Cindy melongo melihat betapa cepat gerakan Sheila. “Dia kenapa?”
Di toilet, Sheila segera mendial nomor Jaka. Jantungnya semakin berdegup. Dia berdoa kepada Tuhan semoga Jaka bersedia mengangkat panggilannya. Tidak menunggu lama, panggilan itu sudah tersambung.
“Halo?” Suara Jaka terdengar medu di telinga Sheila.
“Ha-halo.” Rasa gugup yang mendera membuatnya gagap dan suaranya bergetar.
“Kamu kenapa, Shei? Kenapa suaramu begitu? Apa ada masalah?” Sheila yakin dia menangkap nada cemas dalam suara Jaka.
Senyumya langsung terbit. Setidaknya dia tahu kalau Jaka tidak marah padanya. Sepertinya dia terlalu parno. Aduh, kalau begini, dia harus memberi alasan apa meneleponnya pagi-pagi begini?
“Sheila, kamu baik-baik saja?” Suara Jaka kembali terdengar.
“Aku tidak apa-apa,” jawab Sheila lega. “Aku hanya ingin mengajakmu makan siang nanti. Apa kamu bisa?”
“Tentu saja! Kamu mau makan di mana?”
“Terserah kamu saja. aku akan memakan semua yang ada di meja.”
“Baik!! Aku akan mejemputmu nanti siang.”
“Menjemputku? Bukankah kita bekerja di gedung yang sama?”
“Oh, itu... anu... maksudku aku akan menunggumu di bawah. Begitu.”
“Ooh, oke. Sampai bertemu nanti siang.”
“Oke, bye.”
“Bye.”
Sheila menutup panggilannya dengan wajah berbinar. Senyumnya menghias tanpa ingin berhenti. Dia bahkan memekik kegirangan. Ponsel yang masih dipegangnya dicium tanpa lelah.
“Aku pasti sudah gila!” ucapnya pada dirinya sendiri. “Tidak aku sangka pesona Jaka mampu membuatku bertingkah seperti ini. Dan sepertinya hatiku mulai terisi oleh namanya.”
--
Di gedung seberang, di sebuah bangku pojok cafe, Jaka terlihat sedang duduk dengan seorang pria lainnya. Sarapan sudah dipesan. Sebelumnya, mereka harus membahas beberapa hal karena hari ini penandatanganan kepemilikan PT. KL akan dilakukan.
“Siapa? Kenapa kamu tersenyum seperti itu? Menakutkan!” Haris nama pria itu. Dia adalah pengacara sekaligus teman Jaka di dunia bisnis.
Jaka mencebik. Dia meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali fokus dengan rencana yang akan dia lakukan hari ini.
“Aku harap kau akan mengganti bajumu sebelum acara nanti,” ucap Haris sambil menyesap kopinya.
“Tenang saja, akan aku lakukan. Aku sudah membawa bajuku di mobil.”
“Baguslah! Lagi pula, kenapa kau memakai baju seperti ini? Kenapa tidak langsung memakai setelanmu?”
“Mmm, ada hal yang harus aku lakukan pagi tadi.”
“Oh iya? Apa itu?”
“Kamu tidak perlu tahu. Cukup siapkan dokumen yang kita perlukan saja.”
Suara ponsel Jaka terdengar. Nama Sheila terpampang di sana. Jaka dengan cepat menyambar benda itu.
“Halo?”
Suara Jaka yang terdengar lembut membuat Haris langsung tertawa. Jaka mendelik ke arahnya. Ingin dia memaki pengacara sekaligus temannya itu, tapi Sheila masih berbicara.
“Hm-mm, oke. Nggak masalah.” Jaka menjawab kalimat Sheila sambil memukul lengan Haris dengan majalah yang di atas meja.
Haris mengaduh tapi suaranya ditahan karena Jaka benar-benar melotot padanya.
“Kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu sedang sibuk. Aku seperti mendengar suara seseorang di sana,” ucap Sheila.
“Bukan apa-apa. Hanya seorang teman yang sedang sarapan.”
“Oh, baiklah. Sekali lagi aku meminta maaf siang ini acaranya terpaksa batal. Pimpinan ingin laporanku selesai hari ini,” ucap Sheila penuh penyesalan.
“Iya, tidak apa-apa. Kita bisa bertemu nanti malam seperti biasa.”
“Baiklah, aku tutup dulu ya. Bye.”
“Bye.”
Setelah Jaka menutup ponselnya, Haris kembali bertingkah.
“Bye, Sheila Sayang,” ucapnya sambil memonyongkan bibirnya pada Jaka. Tentu saja Jaka merasa jijik. Dia segera mengambil serbet dan mengelap wajah Haris.
"Harusnya kau melihat bagaimana wajahmu saat bibirmu seperti itu!"
“Ah, sialan kau, Jun!”
“Siapa suruh kau menjijikkan seperti itu?”
“Jadi pacarmu bernama Sheila? Aku tidak menyangka Sang Arjuna akhirnya bisa menyukai wanita. Seorang Sheila.” Haris tertawa. Dia benar-benar tidak percaya. Apa dia harus menyelidiki siapa Sheila yang berhasil menaklukkan temannya ini?
“Apa dia seperti Sesil?” goda Haris lagi.
Sesil yang dimaksud Haris adalah puteri seorang pengusaha yang memiliki wajah semulus porselen dan berbadan sintal. Para pengusaha muda akan terus membicarakannya saat mereka berkumpul. Namun Jaka tidak pernah sekali pun tertarik untuk menimpali. Ironisnya, Sesil tahu kalau Jaka tidak tertarik padanya dan itu membuatnya penasaran. Beberapa kali Sesil mendekati Jaka dan tidak pernah berhasil.
“Jangan membicarakan dia! Sheila jauh lebih baik,” tukas Jaka.
Pembicaraan mereka terpotong karena pelayan datang membawa pesanan. Kedua pria itu pun mulai menyendok sarapan mereka. Setelahnya, Jaka pun mengganti bajunya, bersiap untuk pertemuan dengan PT. KL tiga puluh menit lagi.
Jaka dan Haris kini sudah berada di lobi kantor. Mereka keluar dari Audi Jaka. Langkah mereka tegap penuh percaya diri. Harum parfum mahal tercium di sekitar mereka. Chika yang sudah menunggu keduanya di lobi tampak menahan nafas. Berada di dekat Arjuna Jayantaka memang buruk untuk kesehatan jantungnya.
“Selamat pagi, Tuan-tuan. Tuan Alvin sudah menunggu.” Chika memimpin jalan, memencet tombol lift untuk tamu khususnya.
Saat pintu lift terbuka, Jaka sontak tidak bisa bernafas. Jantungnya bergerak liar. Matanya melotot, lidahnya kelu. Secepat kilat dia meraih kaca mata hitam dan memasangnya. Untung saja rambutnya kini sudah tertata rapi. Tidak seperti tadi pagi yang sengaja dia sisir tangan. Dalam hati, dia berharap Sheila tidak mengenalinya.
Sheila keluar dari dalam lift. Dia tampak menunduk memberi hormat saat melihat Chika. Dia yakin para pria yang berdiri di belakang sekretaris direktur itu adalah tamu perusahaan. Dia harus bersikap sopan. Saat dia kembali mendongak, dia merasa familiar dengan pria berkaca mata di belakang Chika itu. Pria itu terus menunduk membaca berkas yang dibawanya. Sheila kesulitan mengenalinya. Matanya terus menatap pria itu sampai pintu lift kembali tertutup.
Saat pintu lift sdah tertutup rapat, Jaka akhirnya bisa bernafas dengan lega. “Huft, hampir saja,” ucap Jaka dalam hati.