Bab 6: Apartemen Evan

1191 Kata
Evan meletakkan kopor Amara di depan lemarinya. “Masih ada space kosong untuk baju kamu,” ucapnya. Dia kemudian meletakkan tas punggung yang dibawanya di atas meja kerja. Apartemen itu tak terlalu besar. Hanya ada dua ruangan. Satu kamar dan satu ruangan tempat semua aktivitas berisi pantry kecil, sofa, televisi, dan satu meja kerja dengan rak penuh berisi buku. “Perabotku gak banyak. Kamu pakai aja, kalau ada yang kurang bilang, kita bisa beli,” kata Evan. Amara mengangguk. Dia mengamati setiap sudut apartemen tersebut. Cukup simple dan rapi. Tak banyak barang tergeletak sembarangan. Di meja kerja ia sekilas bisa melihat tumpukan buku dan kertas. “Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, kamu silakan mau ngapain,” Evan menuju meja kerja dan membuka laptopnya. Dia meraih kacamata baca dan satu buku di tumpukan teratas di atas mejanya sambil menunggu laptopnya menyala. Dari atas ranjang, Amara bisa melihat kegiatan Evan karena kamar itu hanya dipisahkan oleh sebuah partisi dari kayu yang tidak begitu rapat, ada celah yang cukup untuk mengetahui kegiatan di satu ruangan terbuka yang lebih besar itu. Amara memilih membongkar kopornya dan memindahkan isinya ke dalam lemari. Ada space yang kosong yang bisa ia manfaatkan untuk menyimpan baju-bajunya. Amara hanya membawa satu kopor pakaian, satu tas punggung berisi laptop dan perlengkapan kuliahnya, dan sebuah tas selempang berisi perlengkapan pribadinya. Tak ada meja rias. Hanya ada sebuah cermin bulat di salah satu sisi dinding di ruang tidur dengan posisi yang cukup tinggi untuk Amara, hanya bagian jidatnya saja yang nampak di cermin jika ia berdiri di depannya. Amara berdiri menatap dirinya yang hanya terlihat sebatas mata ke atas itu dengan perasaan geli. Tak menyadari ada sepasang mata yang mengamati tingkahnya sambil tersenyum simpul. Evan tak pernah menyadari ia akan membutuhkan meja rias untuk diletakkan di ruang tidurnya. Mungkin ia perlu membelikannya untuk istrinya itu. Ia tak membawa perabotan apapun saat seserahan kemarin, karena semua sudah disiapkan orang lain. Bahkan Evan tidak tahu, Amara mendapatkan apa saat seserahan kemarin sebelum ijab kabul dilaksanakan. Amara kemudian memeriksa kamar mandi. Ia tersenyum mendapati sebuah desain yang simple dan efisien. Ada satu shower yang dibatasi oleh kaca, satu closet duduk, dan wastafel beserta cermin dengan meja dan rak penyimpanan. Amara keluar mengambil peralatan skin care dan make-upnya yang tak seberapa banyak itu dan menatanya di rak penyimpanan di dekat wastafel. Amara kemudian menuju pantry. Ada satu kompor listrik yang bisa ia gunakan, satu penggorengan, satu panci, ketel listrik, dan microwave. Ia kemudian memeriksa kulkas. Tak banyak isinya. “Mas Evan terbiasa sarapan?” tanya Amara hati-hati sambil duduk di kursi di meja pantry yang tinggi. “Hanya kopi dengan roti atau telor,” jawab Evan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. “Kulkasnya kosong, boleh aku isi?” “Kamu mau belanja sekarang? Aku lagi tanggung kerjaan.” “Di bawah tadi aku lihat ada mini market. Aku bisa belanja di sana dulu, besok kalau pulang dari kampus aku bisa mampir ke supermarket belanja yang lain.” Evan mengambil dompet dan mengeluarkan satu kartu atm nya. “Pakai ini.” “Aku ada kok, Mas.” “Aku suami kamu kalau kamu lupa.” Amara hanya tersenyum tipis. Dia mengambil kartu debit yang diberikan Evan kemudian mencatat nomor PIN di ponselnya. Dia berpamitan pada Evan sebelum keluar sambil menghafal posisi lantai dan nomor apartemen suaminya itu. * Evan memeriksa ruang tidur dan kamar mandi sepeninggal Amara. Sebuah kopor tampak sudah diletakkan merapat di dekat dinding dengan tas punggung dan tas selempang di atasnya. Di dalam lemari, pakaiannya sudah tertata rapi. Sementara di kamar mandi pun ia lihat ada make-up di rak. Gadis itu pasti kebingungan dimana meletakkan barang-barang bawaannya. Evan memandang sekeliling, apa ia perlu menambah perabot? Dan dapur kecilnya? Ia tak bisa membayangkan tumpukan barang mereka yang memenuhi ruangan yang tak seberapa luasnya itu. Buku-bukunya saja sudah tak muat di rak. Sepertinya ia memang perlu menambah rak dinding. Evan melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda tiga hari itu. Dia harus menyelesaikan semuanya sesuai target jika mau naik jabatan tanpa menunggu lama. Amara kembali sekitar empat puluh menit kemudian dengan satu kresek besar belanjaan. “Aku pakai sekitar dua ratus, Mas,” ia menyerahkan kartu debit yang tadi diberikan Evan. “Itu rekening gaji aku. Simpan aja buat uang belanja kamu.” Amara memandang Evan sejenak. Lalu menggeleng pelan. “Jangan begini. Kalau Mas mau kasih, ya Mas transfer aja ke rekeningku secukupnya kebutuhan kita sebulan. Mas Evan kan juga punya kebutuhan.” Evan menatap Amara. Perempuan ini bahkan tak pernah menanyakan berapa penghasilan Evan sebulan. “Kamu butuh berapa sebulan?” Amara menggeleng. “Aku belum tahu. Ibu dan Bapak biasa memberiku dua juta sebulan. Itu sudah lebih dari cukup, karena aku lebih sering makan di rumah.” “Kirim nomor rekeningmu.” “Nanti saja ya, Mas. Biar aku kosongkan dulu saldonya.” Evan mengangguk paham. Dia suka cara Amara yang hendak mengkhususkan satu rekeningnya untuk uang belanjanya. “Kartunya kamu simpan dulu sementara sampai awal bulan depan. Bulan depan aku transfer ke rekening kamu.” Amara menyimpan kembali kartu debit Evan kemudian membongkar belanjaannya dan menyimpannya di pantry dan kulkas. Sementara Evan memperhatikan sekilas dari balik laptopnya. Setelah selesai dengan kegiatannya, Amara duduk di sofa kemudian menyalakan televisi. Memutar saluran berita televisi kemudian menggantinya, berpindah-pindah dari satu channel ke channel lain. Tak ada yang benar-benar disimaknya. Ia hanya ingin tahu apa saja isi saluran televisi suaminya itu. Evan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya itu. “Aku cuma pakai televisi itu untuk nonton bola. Kamu beli apa aja tadi?” ia membuka kulkas dan mengernyit melihat beberapa cemilan yang mengisi kulkasnya tersebut. “Beli buah? Kok cuma satu?” Evan melihat satu kotak buah semangka irisan. “Adanya cuma semangka tadi. Aku gak terlalu suka.” “Kalau gak suka kenapa dibeli?” Evan mengambil kotak berisi irisan semangka tersebut dan duduk di samping Amara. “Ya kan bisa…,” Amara menghentikan kalimatnya. Di rumah memang ada asisten rumah tangga ibunya atau karyawan yang kerap menjadi penampung barang-barang yang telanjur dibelinya tapi ia kemudian tak suka, entah itu makanan atau barang lainnya. Tapi di sini? Ia cuma berdua saja dengan Evan kan? “Beneran gak mau?” Evan menyodorkan kotak tersebut ke hadapan istrinya yang cuma ditanggapi Amara dengan gelengan kepala. “Besok lagi beli aja yang kamu suka.” “Ya, barangkali Mas Evan mau.” “Kamu mau makan keluar apa di sini aja?” “Di sini aja ya. Aku udah kebanyakan ketemu orang dua hari kemarin.” “Mau masak?” “Tadi ada bahan dan bumbu tom yum jadi aku beli itu. Mas mau makan sekarang?” “Nanti aja abis maghrib. Aku mau treadmill dulu.” Evan masuk ke ruang tidur, mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga dan mengenakan sepatunya sebelum memposisikan diri di atas treadmill yang ia letakkan menghadap jendela apartemannya yang lebar. “Mau coba?” tawarnya pada Amara yang menatapnya tanpa berkedip. Amara menggeleng, lalu mematikan televisinya dan beralih ke ruang tidur. Rasanya begitu malu ketahuan memperhatikan suaminya dengan intens. Amara memegang pipinya yang menghangat. Bahkan dengan Darrel ia tak pernah merasa seperti ini. Ah, ada apa dengan dirinya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN