Amara melipat mukenanya kemudian menuju dapur kecil Evan. Nasi yang tadi dimasukkannya ke penanak nasi tampak sudah mengeluarkan uap panas dan bau harum, pertanda sebentar lagi akan masak. Ia mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkannya dari kulkas dan mulai memasak. Ia hanya akan membuat tom yum yang simple. Di minimarket tadi ada paketan bahan tom yum yang tinggal direbus sebentar saja.
Beberapa kali makan bersama Evan sejak dua hari yang lalu, Amara belajar mengingat porsi makan dan kebiasaan suaminya. Evan bukanlah tipe laki-laki yang meminta dilayani perempuan ketika di meja makan seperti halnya Darrel, tapi dengan mengingat kebiasaan dan apa-apa yang disukainya, Amara berharap dia akan bisa lebih menghemat energinya.
Hanya butuh waktu beberapa menit memasak tom yum. Amara cukup memanaskan air dalam panci, menunggunya sejenak hingga mendidih, lalu mulai memasukkan isian dan bumbunya satu-persatu dan menunggunya masak.
Ia mencari mangkok saji untuk memindahkan masakannya tapi tak juga menemukan. Semua kabinet dapur sudah ia buka, tapi tak ada. Tinggal kabinet yang paling atas saja yang belum ia buka karena tangannya tak mampu menjangkaunya. Evan benar-benar efisien memanfaatkan space di dinding apartemennya. Semua rak dan kabinet ia maksimalkan hingga mentok ke atas.
“Cari apa?”
“Mangkuk saji.”
Evan mengernyit. Mangkuk saji seperti apa yang ia maksudkan.
“Untuk mindahin tom yum ini. Mangkuk yang agak besar,” jelas Amara.
“Gak ada. Aku cuma punya yang di situ saja. Taroh pancinya aja di meja gak apa-apa.”
“Kita makan dari panci langsung?”
“Gak masalah kan?”
“Enggak sih,” Amara hendak memindahkan panci kecil tersebut dari kompor ke atas meja yang menyambung dengan pantry, tapi kemudian ia ingat ia butuh alas karena panci tersebut masih panas. Ia akhirnya mengambil dua mangkuk dan membagi isi panci tersebut menjadi dua sama banyak.
“Mas Evan punya toples enggak?”
“Di atas.”
Amara hanya menatap suaminya, membuat Evan bangkit mengambilkan apa yang dibutuhkannya. Kabinet itu terlalu tinggi untuk Amara.
“Yang agak gede kalau ada, Mas, buat naroh krupuk. Dua ya.”
“Cuma satu yang gede. Ada dua lagi lebih kecil.”
“Ya udah gak apa-apa. Turunin semua dulu.”
Evan menurunkan ketiga toples bersih yang jarang dipakainya itu, kemudian duduk di kursi di meja makan minimalisnya, memperhatikan istrinya memindahkan kerupuk dan keripik tempe ke dalam toples yang berbeda.
“Emang di minimarket bawah ada kerupuk?” tanya Evan saat Amara meletakkan kedua toples itu ke atas meja.
“Dibawain ibu tadi.”
“Ibumu gak apa-apa kan kamu tinggal di sini?”
“Gak apa-apa. Kata bapak, seorang istri memang lebih baik ikut suaminya. Meski mungkin mereka lebih suka kita tinggal bersama mereka.”
Evan tak berkomentar apapun. Dia memilih mengambil nasi dan mengisi gelasnya dengan air dari dispenser. Sebenarnya Evan tak masalah mau tinggal dimana. Hanya saja ia sudah terbiasa hidup sendiri, dan ia tak tahu bagaimana harus bersikap terhadap kedua mertua dadakannya itu.
Amara mengernyit melihat Evan kembali dingin. Dia kemudian mengikuti suaminya mengambil nasi dari tempat penanak nasi dan mengisi air minumnya. Mereka berdua makan malam dalam diam. Hanya sekali terdengar bunyi suara kerupuk dan keripik tempe yang renyah memecah kesunyian.
Meski terbiasa makan tanpa berbicara di ruang makan keluarganya, tapi Amara merasakan aura yang berbeda kali ini. Begitu sunyi. Dan dingin. Membuatnya tak berani menyela untuk bertanya. Evan begitu diam.
“Habiskan. Jangan kebanyakan kamu aduk-aduk,” ucap Evan mengagetkan Amara.
Amara mendongak. Ia bahkan tak sadar tengah mengaduk-aduk mangkuk tom yumnya.
“Mas,” Amara menatap Evan sebentar, kemudian kembali tertunduk. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ya Tuhan, ada apa ini?
“Cepat habiskan.”
Amara menyadari mangkuk dan piring Evan sudah bersih. Dia pun kembali menyuap makanannya perlahan, sementara Evan memperhatikannya dengan intens.
“Mas Evan kalau mau lanjutin kerjaan Mas, gak apa-apa, nanti aku yang bereskan bekas peralatan makannya.”
“Kamu sudah masak tadi. Jadi aku yang akan cuci piring. Kita bagi tugas.”
“Eh?” Amara merasa tak enak karena ternyata Evan menunggunya selesai makan agar ia bisa lebih cepat mencuci piring.
“Aku nanti cuci piring sendiri aja gak apa-apa, Mas.”
“Kita bagi tugas,” Evan mengulang kata-katanya dengan tegas.
Amara menelan cepat makanannya. Ini adalah makan malam pertama mereka yang benar-benar hanya berdua saja dengan Amara yang memasak meski hanya semangkuk tom yum. Dan Amara merasa begitu terintimidasi oleh suaminya. Malam sebelumnya mereka makan malam di resto hotel tempat mereka menginap, jadi ada banyak orang lain meski mereka tak saling mengenal.
Amara mendorong mangkuk tom yumnya yang sudah kosong. Ia tentu saja setuju dengan pembagian tugas seperti yang Evan gagas. Pekerjaan rumah memang harus dibagi kan antara suami dan istri? Tak harus semuanya dikerjakan oleh perempuan. Seakan semua jenis pekerjaan rumah memiliki gender.
“Aku setuju kita bagi tugas. Tapi tetap flexible. Kalau Mas lagi sibuk dan banyak lembur, ya aku gak apa-apa ngerjain semuanya. Tapi kalau aku yang lagi banyak tugas, Mas bisa gantian handle.”
“Kalau kita sama-sama sibuk?”
“Aku gak apa-apa sih tinggal di tempat yang sedikit berantakan, asal masih bersih aja.”
Evan mengangguk. Tampaknya hidup bersama dengan Amara bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Toh sampai hari ini dia masih bisa santai dan merasa biasa saja, tanpa merasa terganggu ada seseorang di sekitarnya dalam waktu dua puluh empat jam.
Evan terbiasa hidup sendiri. Dia tak pernah dekat dengan siapapun. Dia hanya hidup dengan ibunya sejak usia sekolah hingga awal remaja. Sepeninggal ibunya, ia ikut dengan kakeknya hingga laki-laki tua itu pun meninggalkannya untuk selamanya saat Evan baru beberapa bulan masuk SMA. Setelahnya Evan menjadi anak kost yang harus membiayai dirinya sendiri.
Ayahnya memang sempat menawarkan untuk tinggal bersamanya. Tapi baru beberapa hari bersama keluarga ayahnya, ia merasa tidak betah dan memilih kembali ke tempat tinggalnya bersama kakeknya. Karena rumah itu baginya terlalu besar, Evan akhirna mengontrakkannya, sementara ia menyewa kamar kost. Uang hasil kontrakan tersebut ia gunakan untuk membayar kost dan biaya hidupnya. Tapi ia juga bekerja sana sini sepulang sekolah agar bisa kuliah kelak.
Amara meraih lap dan membersihkan meja bekas mereka makan sementara Evan mencuci piring bekas makan mereka. Ia kemudian mengambil laptop dan membukanya di atas meja yang sudah ia bersihkan.
“Ada tugas?” tanya Evan sambil mengelap tangannya yang basah.
“Iya. Aku besok ke kampus pagi ya, Mas. Jam tujuh.”
“Besok bareng sekalian.”
“Anter ke rumah aja ya, Mas. Biar aku ambil motor.”
Evan terdiam sejenak. Tapi kemudian mengangguk pelan. Amara memang membutuhkan motornya untuk mobilitasnya kan? Ia sudah duduk di balik laptop di meja kerjanya.
“Kamu butuh meja?”
Amara mendongak dan menatap Evan sejenak memastikan ia tak salah menangkap maksud pertanyaan suaminya. “Hmm, gak usah. Di sini aja bisa kok.”
“Kalau ada perabot yang kamu butuhkan bilang aja.”
“Iya.”
Keduanya kemudian sibuk dengan laptopnya masing-masing. Meski sebenarnya ada banyak hal yang ingin Amara tanyakan pada suami penggantinya itu.
***