Amara telah menyelesaikan tugas kuliahnya sekitar jam sembilan malam. Ia kemudian mematikan laptopnya dan berpindah ke ruang tidur untuk merebahkan diri, sementara Evan masih asyik dengan pekerjaannya. Duduk di kasur, otaknya kemudian berputar memikirkan beberapa hal.
Di apartemen Evan hanya ada satu tempat tidur berukuran queen, jadi mereka akan tidur di ranjang yang sama? Tak ada pemisahan tempat tidur seperti pada novel-novel online itu jika dua orang terpaksa menikah atau salah satu menjadi pengantin pengganti?
Evan hanya memiliki dua bantal dan satu guling. Ia memang tak memiliki persiapan apapun untuk menerima seorang perempuan sebagai teman hidupnya. Bahkan beberapa seserahan yang sedianya akan diberikan pun akhirnya dibatalkan karena Evan dan Amara mengetahui beberapa barang itu diperoleh dari berhutang.
Amara mengambil satu bantal dari dua tumpukan tersebut kemudian meletakkannya berjejer dengan gulingnya ia letakkan di tengah. Ia merebahkan diri sambil mengecek ponselnya. Ada beberapa chat dari teman-temannya yang sejak kemarin belum ia balas.
Huh. Amara menghembuskan napas dengan sebal. Kenapa hampir selalu pertanyaan seperti itu yang mereka ajukan pada pasangan pengantin baru. Apakah menikah hanya perkara malam pertama saja yang penting. Ia bahkan nyaris gagal menikah karena laki-laki yang sudah mendahului malam pertamanya sendiri bukan dengan calon istrinya.
Entah sudah berapa banyak perempuan yang berbagi ranjang dengan Darrel dan sejak kapan. Amara benar-benar merasa tertipu dengan wajah sok manis itu. Meski seharusnya ia tak kaget mengingat di tempat seperti apa Darrel tinggal. Bukankah teman-teman Darrel suka keluyuran di klub malam meski mantan kekasihnya itu tak pernah mengaku jika ia ikut serta.
Amara membenamkan wajahnya di atas bantal. Dia merasa begitu bodoh karena mau saja dipacari Darrel dan berencana menikah dengannya. Padahal dia udah curiga sejak awal Darrel bukan laki-laki baik. Tapi kedua orang tuanya termakan wajah manis Darrel yang ia tampakkan setiap kali ke rumah.
Beberapa saat terdiam, Amara baru menyadari ada bau asing yang tertinggal di bantal yang ia gunakan. Bau yang terasa menenangkan. Ia tersenyum menyadari itu adalah bau suaminya. Apa ini? Kenapa ia begitu kesal tadi ketika mengingat Darrel, tapi kemudian tersenyum sendiri mengingat Evan.
Amara membalik tubuhnya. Telentang menatap langit-langit ruang tidur yang ditempatinya. Ponselnya sudah ia letakkan di atas nakas. Ia tak berniat sama sekali menjawab candaan teman-teman dan saudara-saudaranya terkait dengan malam pertama.
“Kamu belum salat isya lho,” tegur Evan saat masuk ke ruang tidur dan merebahkan diri di sisi ranjang yang kosong.
Amara menengok ke samping, tepat saat Evan juga menengok ke arahnya. Mata keduanya bertemu membuat jantung Amara berdetak tak beraturan.
“Sholat dulu baru tidur,” Evan mengulang menegur Amara.
Amara bangkit dan mengikat rambutnya. “Mas sudah solat?”
“Sudah.”
“Kok gak ngajakin aku?”
Evan tak menjawab. Ia pilih memiringkan tubuhnya membelakangi Amara. Ketika Amara masuk tadi, Evan sedang asyik dengan pekerjaannya. Ia sejenak lupa kalau ia tak lagi tinggal sendiri. Ada seorang perempuan berstatus istrinya yang sedang berbaring di ranjangnya.
Mengingatnya membuat Evan berbalik. Dia dan Amara akan tidur bersama dalam satu ranjang untuk seterusnya? Apa mereka akan? Evan menepis pikiran tersebut dari kepalanya. Tapi berapa lama ia bisa bertahan.
“Mas kenapa?” tanya Amara saat ia kembali dan melihat wajah Evan yang tampak sedang berpikir.
Evan menggeleng. Haruskah ia membahasnya? Mereka memang tak pernah membahas tentang hubungan mereka.
“Bisa tolong matikan lampunya?”
“Yang depan juga?”
“Iya. Sisakan lampu tidur saja yang di dinding.”
Amara mengangguk. Dia sudah memperhatikan saat Evan menekan saklar lampu tadi. Amara kembali keluar untuk mematikan lampu. Sebenarnya baru jam sembilan, tapi mungkin Evan memang terbiasa tidur awal. Amara kemudian mengganti lampu di ruangan tidur mereka dengan lampu tidur.
Amara kembali merebahkan diri. Ia menarik selimut yang dibawanya dari rumah. Evan sudah memiringkan badan kembali membelakangi istrinya. Mereka berdua sama-sama menempatkan diri sejauh mungkin satu sama lain hingga tersisa ruang di tengah pada kasur yang tak demikian besar itu.
*
Evan terbangun sebelum subuh. Ia biasa menggunakan waktu pagi untuk menyelesaikan side jobnya. Gajinya sebagai dosen memang cukup untuk biaya hidupnya sehari-hari jika ia menjadi anak kost seperti sebelumnya. Tapi karena memilih tinggal di apartemen, Evan membutuhkan tambahan penghasilan.
Apartemen ia pilih karena lebih privacy. Evan merasa belum bisa tinggal di perumahan yang mengharuskannya bersosialisasi dengan tetangga. Bukan sombong. Tapi karena kepribadian Evan yang tertutup dan sejak kecil ia hanya terbiasa hidup dengan ibunya saja kemudian kakeknya.
Suara alarm ponsel Evan tak hanya membangunkannya. Tapi juga perempuan yang terlelap di sisinya. Evan menggeser tubuhnya, menyadari mereka begitu rapat kini. Begitu juga Amara. Ia jelas menyabotase tempat Evan.
“Maaf,” Amara menggeser tubuhnya menjauh.
Evan menatapnya. Dalam temaram, ia bisa melihat wajah merona istrinya itu. Evan bangkit. Ia pergi ke kamar mandi dan mengerjakan rutinitasnya selama ini.
Amara termangu beberapa saat di atas tempat tidurnya. Ia mengambil hape mengecek waktu. Masih sekitar satu jam sebelum subuh. Apa Evan biasa bangun sepagi ini? Mau tak mau Amara bangkit. Ia mengikat rambutnya kemudian melipat kembali selimutnya. Dirapikannya sebentar spreinya sebelum keluar dari ruang tidur.
Evan tampak sudah duduk di meja kerjanya dengan monitor PC yang menyala, termasuk juga laptopnya. Di pantry, ketel listriknya pun tampak menyala.
“Belum subuh. Kalau kamu gak biasa bangun pagi tidur lagi aja.”
Amara terdiam di tengah ruangan. Di rumahnya, ibunya adalah orang yang pertama bangun. Perempuan itu betul-betul tipe istri Jawa yang mengabdi pada suami. Mengurus segala kebutuhan suaminya dari laki-laki itu bangun di pagi hari hingga kembali terlelap di malam harinya.
“Kenapa?” Evan akhirnya bertanya melihat Amara hanya diam mematung di tengah ruangan.
“Mas Evan mau bikin kopi?” Amara akhirnya menemukan kalimat yang dirasanya pas untuk ia sampaikan.
“Aku bisa sendiri. Jangan terlalu ingin melayaniku. Aku khawatir jadi terlalu bergantung sama kamu.”
“Kata ibu, itu tugasku sebagai istri. Melayani suami.”
“Kamu bukan ibumu, Ara. Dan aku bukan bapakmu.”
Amara menatap Evan dengan wajah berbinar. Ini untuk pertama kalinya Evan memanggilnya Ara. Tak ada orang lain yang memanggilnya seperti itu selain keluarganya.
“Iya. Tapi aku gak mau jadi durhaka karena abai pada kebutuhan suami.”
Evan mengernyit. Ia menatap lekat wajah istrinya.
“Makan minum dan urusan lain, aku biasa mengurusnya sendiri. Tapi mungkin ada satu kebutuhanku yang hanya bisa dipenuhi oleh kamu”
“Apa?” Amara menatap penuh tanda tanya.
“Kebutuhan biologisku,” jawab Evan datar.
Amara terdiam. Wajahnya merona. Dia tak selugu itu hingga tak tahu apa yang suaminya maksudkan. Amara salah tingkah. Ia ingin kembali lagi ke ruang tidur agar tak perlu melihat wajah suaminya, tapi kakinya seakan terpaku.
“Aku suamimu. Dan kita bahkan belum melakukan malam pertama.”
Amara tertunduk. Rasanya ia begitu malu.
“Aku tidak dalam rangka menagihmu. Aku juga tidak akan memaksamu.”
“Maaf, Mas.”
“Kita juga tidak menikah hanya untuk itu kan?”
Amara menghela napas. Pertanyaan Evan seakan membuatnya harus berpikir ulang. Dia tak ingin pernikahannya hanya berakhir sia-sia.
“Aku minta maaf soal itu. Dan soal tadi,” gerakan tangan Amara menunjuk ruang tidur membuat Evan mengerti soal tadi mana yang dimaksudnya.
“It’s okay. Kita suami istri kan?”
Uap air dari ketel listrik mengalihkan perhatian Amara. “Mas mau bikin kopi kan?” ia mematikan ketel tersebut dan mengambil mug serta kopi.
Evan hanya tersenyum samar membiarkan Amara menyeduh kopinya. Ia harus menghargai upaya istrinya menghindar dari bahasan sensitif itu kan?
***