Bab 14. Hanya Properti

1269 Kata
Rain menghela napas gusar, wajahnya terlihat penuh sesal saat melihat Elea yang meringkuk dengan baju robek dibeberapa bagian. Luka lebam serta penampilan yang acak-acakan juga sangat terlihat jelas. Gambaran rasa takut juga begitu terlihat dari sorot matanya. Semua itu jelas karena ulahnya yang sangat kasar dan penuh emosi saat menyentuh wanita itu. "Elea." Rain merasa miris saat melihat tubuh Elea yang langsung tersentak hanya mendengar suaranya. Pria itu mengulurkan tangannya perlahan untuk menyentuh lengannya. "Jangan, Rain." Elea menggelengkan kepalanya cepat. Masih sangat trauma dengan sikap Rain yang begitu kasar dan menyakitkan. Rain mengeraskan rahangnya, egonya kembali menguasai. Ia tidak boleh lemah seperti ini. Bukankah hal ini sudah menjadi tugas Elea selama menjadi p3lacurnya? "Lain kali cobalah membantahku lagi, maka kau bisa mendapatkan hal seperti ini lagi. Kita pulang sekarang," kata Rain kembali dengan sikapnya yang dingin. Air mata Elea mengalir membasahi pipinya, wanita itu nyatanya begitu sakit hati karena sadar jika posisinya disini hanya sebuah properti bagi Rain. Lagipula apa yang ia harapkan? "Kapan kau akan membalaskan dendamku?" Elea bertanya lirih, ia ingin secepatnya menuntaskan dendam yang sampai detik ini masih membara karena itu adalah tujuan utama dia mau menjadi alat pemuas nafsu dari kakak iparnya sendiri. "Sedang aku lakukan." Elea sempat terkejut sesaat, tapi ia hanya diam. Cukup senang juga jika memang sudah mengurus segalanya. Semoga saja dendam itu segera tuntas dan ia bisa mengakhiri hubungan gila itu. *** Suara jarum jam terdengar perlahan, mengisi kesunyian malam yang begitu dingin. Rain melihat Elea yang sejak tadi meringkuk di dalam selimut tebalnya. Mereka berdua kini ada di Apartemen yang selama ini Rain berikan untuk Elea, tapi semenjak kedatangan mereka Elea tidak mengucapkan apa pun. Wanita itu hanya membersihkan dirinya dan langsung tidur. Rain lalu melirik ke arah luar, rintik hujan mulai membasahi bumi yang sudah kering. Perlahan ia mendekati Elea, menyentuh bahu wanita itu lembut. "Bangun, kau belum makan apa pun sejak tadi," ucap Rain datar. "Aku tidak butuh apa pun, pergilah." Elea tak kalah datarnya saat menyahut, jangan kira ia tidak kesal karena perlakuan Rain tadi. Rain menghela napas panjang. "Kau begitu keras kepala, tidakkah kau berpikir jika kau sakit, kau sendiri yang akan rugi?" Elea mengerutkan dahinya, ia menoleh memperhatikan Rain yang rambutnya masih setengah basah karena habis mandi. "Kenapa kau masih ada disini? Pulanglah, kak Vania akan mencarimu nanti. Tenang saja, aku sudah memaafkanmu karena masalah tadi. Tidak perlu merasa bersalah." "Siapa yang kau maksud?" Rain mengangkat satu alisnya. "Aku begini karena aku tidak ingin propertiku sakit. Akan sangat merepotkan jika aku harus mencari pel4cur lain saat aku butuh." Elea membuka mulutnya tak percaya, sungguh hatinya sangat sakit mendengar perkataan Rain barusan. Matanya tanpa sadar mengeluarkan cairan bening yang jatuh membasahi pipi. Rain benar-benar sangat jahat, pria itu menganggapnya hanya sebuah properti yang harus dijaga. "Kenapa kau menangis? Kau tidak jatuh cinta padaku 'kan?" Rain kembali bertanya dengan nada dingin. Padahal hatinya ingin sekali mendengar jawaban dari bibir Elea. Elea tersenyum sinis, ia buru-buru mengusap air matanya dengan cepat. "Omong kosong! Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu, Rain." "Baguslah, toh hubungan kita sebuah perjanjian saling menguntungkan. Jangan sampai terjebak dengan alur yang kau buat sendiri, Elea." Rasa getir dalam hati Elea kian menggerogoti tubuhnya, wanita itu berusaha keras untuk tidak lagi menangis. "Tenang saja, aku mengerti posisiku, Rain. Aku akan mengganti bajuku, kau tunggu saja diluar," kata Elea yang langsung beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Rain hanya diam, mata elang pria itu mengikuti gerak tubuh Elea yang masuk ke dalam kamar mandi. Sesaat kemudian ia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya kasar. Ia sengaja melakukan ini agar Elea tidak jatuh cinta padanya atau menggunakan hatinya. Jika itu semua terjadi, Rain tidak bisa berjanji jika hatinya pun akan melemah. "Ini semua yang terbaik untuk kita, Elea." * Rain mengikuti Elea yang sedang memasukkan banyak sekali makanan di keranjang belanjaannya. Wanita itu mengajaknya pergi ke indoApril yang berada di dekat Apartemen. Padahal Rain tadi sudah menawarkan ingin makan di restoran mewah langganannya. Tapi untuk kali ini Rain ingin mengalah dan membuatkan Elea menentukan pilihannya sendiri. "Mie instan?" Mata Rain langsung melotot lebar saat melihat Elea ingin membeli mie instan. "Kalau kau tidak mau pergilah ke restoran favoritmu. Ini hanya makanan sampah yang pantas untuk wanita rendahan sepertiku," tukas Elea begitu ketus. Rain mengepalkan tangannya, hampir saja memaki sikap Elea yang sangat kurang ajar ini. Tapi sekali lagi ia sedikit menekan egonya. Elea tersenyum sinis, sengaja ingin membuat Rain kesal karena hatinya juga masih sakit akan perlakuan pria gila ini. Malam ini Elea ingin menjadi dirinya sendiri, tidak ingin diatur-atur orang lain apalagi Rain. Mereka berdua lalu duduk di depan indoApril dan Elea segera menikmati makanannya. Ia sedikit melirik Rain yang memegang roti di tangannya. Elea tersenyum mengejek. "Kau yakin ingin makan roti itu? Awas sakit perut nanti," ejek Elea. "Diamlah, cepat habiskan makananmu!" seru Rain sedikit kesal, ia juga ragu bisa memakan makanan yang masuk kategori junk food itu. Elea tersenyum mengejek, ia kembali menikmati mie instan yang dipesan. Seolah ingin memancing amarah Rain, wanita itu sengaja makan dengan gerakan yang kasar. Pastinya hal itu sangat menganggu Rain yang sejak kecil sudah diajarkan tata cara makan ala bangsawan yang begitu tenang. Terbukti dari ekspresi Rain yang sangat tidak nyaman melihat gaya Elea ini. "Apa kau tidak bisa makan pelan-pelan?" tegur Rain akhirnya tak sabar juga, hampir saja menggebrak meja di depannya karena kesal. "Tidak!" Elea menyahut dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. Rain menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Ia harus sabar menghadapi wanita labil seperti Elea itu. Ia memandang Elea yang masih makan dan tak sengaja melihat sudut bibir wanita itu belepotan. Ia pun reflek langsung mengulurkan tangannya untuk mengusapnya lembut. "Kau makan seperti anak kecil saja, lihatlah," ucap Rain tersenyum tipis tapi mampu membuat Elea meleleh. "Uhuk ... Uhuk ..." Elea sampai tersedak hingga matanya memerah. "Tuh kan, aku bilang apa." Rain begitu sigap, membuka air mineral untuk Elea dan membantu wanita itu untuk minum. Elea meminum air itu sambil sesekali melirik Rain. b******k sekali, padahal ia ingin marah kepada pria ini, tapi melihatnya tersenyum saja ia sudah salah tingkah. Bisa-bisa ia yang kalah jika terus seperti ini. "Apakah sudah enakan?" tanya Rain memandang Elea penuh perhatian. "Ya, ya. Sepertinya hujannya sudah reda, ayo kita pulang." Elea mengangguk sambil menatap kearah lain menutup salah tingkahnya. "Ya, ayo." Rain mengangguk mengiyakan sambil meraih tangan Elea lalu menggenggamnya dengan erat. Lagi dan lagi Elea dibuat terhipnotis dengan sikap Rain ini. Ia melirik genggaman tangan itu sambil sesekali melirik Rain. Hatinya saat ini seolah ingin sekali meledak karena perasaan yang sulit sekali Elea gambarkan. Meksipun sebelumnya ia sudah pernah berpacaran dengan Gavin, tapi entah kenapa hanya bisa berjalan dengan Rain dengan bergandengan tangan seperti ini membuat hatinya diliputi perasaan bahagia yang membuncah. Rain tersenyum tipis, bukannya tidak tahu jika saat ini Elea menatapnya lekat-lekat. Rasanya ia pun sangat gemas melihat tingkah Elea ini. "Ehm Elea, sepertinya aku melihat sesuatu di pipimu," ujar Rain tiba-tiba. "Eh? Apa?" Elea tersentak dari lamunannya, reflek membersihkan pipinya sendiri. "Sebentar." Rain mendekat, wajahnya sangat dekat sekali dengan Elea. Dan tanpa peringatan pria itu mencium pipi Elea perlahan. "Polos banget jadi orang," bisiknya sangat gemas. Elea begitu kaget, ia menoleh dan seketika langsung disambut ciuman lembut dibibirnya oleh Rain. Belanjaan yang tadi ia pegang reflek jatuh begitu saja saat tangan besar Rain merengkuh pinggangnya lalu menekan tengkuknya hingga ciuman mereka semakin dalam. Elea memejamkan matanya, mulai terhanyut dengan suasana hingga merangkul leher Rain dan menikmati ciuman itu. Rintik hujan juga mulai membasahi bumi kembali, mengguyur tubuh keduanya hingga sama-sama basah dan menambah suasana kian romantis. Namun, siapa sangka ada sepasang mata penuh air mata yang memandang adegan keduanya dari kejauhan. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN