“Oliv!”
Ibunya memanggil dari arah dapur, menyuruhnya keluar dari kamar. Langkah kakinya terasa malas untuk berjalan keluar. Pikirannya tertuju pada ibunya yang minta dia untuk menikah.
Semalam ibunya memberitahu tentang seorang pria yang ingin menikahinya dan membantu perekonomian keluarganya. Rasanya seperti ada petir di siang bolong. Menggelegar mengejutkan dan begitu mengerikan jika ia merasakannya.
Ibunya memintanya untuk menuruti perintahnya karena sudah menyetujui perjanjian itu.
“Kamu kok masih tidur aja kerjanya. Ibu dibantu lho ini,”
Ibunya memberikan dia sebaskom sayuran dan menyuruhnya memilah yang bagus dan jeleknya.
“Satu minggu lagi, keluarga pria itu akan datang. Meminang kamu selayaknya orang yang mau menikah. Kamu nggak apa-apa, kan kalau ibu suruh menikah cepat?”
Olivia menggerutu, bibirnya mengerucut membuat ibunya menoleh dan menghampiri. “Maafkan ibu, Liv. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Kita butuh banyak uang,”
Olivia merasa sedih tapi ini harus terjadi. Bukannya menolak tapi lebih ke rasa yang aneh saja harus menikah cepat.
Ibunya menatapnya dengan lembut, matanya berkaca-kaca. “Maafkan ibu, Liv. Berkali-kali ibu harus mengatakan ini karena keterpaksaan, keadaan yang memaksa ibu jadi begini. Memaksa kamu menikah muda dengan ….”
Olivia berdiri dan membuka jendela dapur lebar-lebar. “Ibu tega banget sama Oliv. Padahal ijazah belum diambil pun Oliv nggak apa-apa, nggak marah, nggak iri sama teman yang lain yang langsung cari sekolah lagi buat kuliah,”
Air matanya turun, Olivia merasa dia hidupnya paling sengsara, ijazah pun belum bisa diambil karena tidak ada uang. Ibunya juga sedang mengurusi ayahnya yang sakit. Jadi dia tidak menyalahkan. Selama ini mereka disibukkan dengan bagaimana caranya supaya bisa makan untuk hari ini.
Tidak ada yang bisa diandalkan lagi. Kedua adiknya juga butuh perhatian dan juga uang yang harus dibayarkan untuk buku-buku pelajaran mereka.
Setelah pembicaraan itu, Olivia makin memikirkan tentang nasibnya yang sungguh miris. Ia harus menerima kenyataan kalau mereka memang butuh uang banyak.
Jadi tumbal atau tidak itu urusan belakangan. Ia ditempa menjadi seorang manusia yang tangguh tanpa tangisan yang memenuhi area matanya.
**
Siang ini, cuaca cukup cerah. Terdengar suara anak-anak bermain. Suara anak seusianya yang sedang berkumpul membicarakan tentang rencana lulus nantinya.
Mereka berbincang sambil bermain sesuatu yang mengasyikkan. Olivia hanya duduk termangu sambil menjaga ayahnya. Ibunya sedang pergi ke pasar.
Pagi tadi mendapatkan kiriman uang dari pria yang akan menikahinya. Menyuruh ibunya untuk membeli beberapa kebutuhan lamaran besok yang akan diadakan tiga hari lagi.
Melihat teman-temannya bermain pasti akan menimbulkan perasaan campur aduk dalam hati Olivia. Di satu sisi, ia mungkin merasa senang melihat mereka bahagia dan menikmati masa muda. Namun, di sisi lain, perasaan iri dan kesepian akan menyeruak begitu dalam.
Beberapa pikiran yang mungkin muncul di benaknya, "Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?"
Olivia membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang bebas menikmati hidup, sementara ia terjebak dalam situasi yang menyedihkan.
"Aku akan merindukan masa-masa itu." Kenangan indah bersama teman-temannya akan kembali menghantuinya, membuatnya semakin merindukan kebebasan yang pernah ia rasakan.
Ia merenungi diri dan merasakan bahwa hidupnya akan jauh berbeda setelah menikah nantinya. Untuk beberapa hari belakangan ini hidupnya terselamatkan setelah seorang pria datang dan memberikan bantuan meski dia harus dinikahi nantinya.
Kurang tiga hari lagi masa itu tiba. Mereka telah mempersiapkan juga ternyata. Ibunya yang mengatakan dan menyuruhnya bersiap.
"Apakah aku akan mengalami yang mereka rasakan, kuliah dan juga bekerja?"
Pemikiran itu selalu terngiang dalam dirinya. Ada hal yang harus diraihnya yaitu sebuah cita-cita. Meski dia tahu cita-cita apapun pasti tidak terwujud jika tidak dilandasi dengan keinginan untuk berusaha keras.
Melihat keadaan rumah yang sungguh memprihatinkan. Ayahnya sakit-sakitan, memang tidak tega. Ibunya berjuang sendiri untuk bisa membuat semua keadaan menjadi stabil.
Hanya ibunya yang berjuang sendiri. Manakala lelah, hanya dia yang sering diajak bicara dan bertukar pendapat. Kedua adiknya juga masih butuh biaya untuk mereka bersekolah. Olivia berdecak dan terus memikirkannya.
Perasaan gelisah menyelimuti hatinya hingga setiap saat selalu melamun. Ibunya sering menegurnya dan menenangkan hatinya agar menerima ini dengan lapang d**a.
"Olivia, Anakku! Maafkan ibu sekali lagi," bisik ibunya saat dia sedang tidur.
Ia merasa sedih, mimpi yang selama ini dia impikan tak tercapai. Dia memiliki banyak mimpi yang ingin diwujudkan, namun pernikahan paksa ini membuatnya harus mengubur mimpi-mimpi tersebut.
Ia akan kehilangan kebebasan untuk memilih masa depannya sendiri, untuk menjalin hubungan dengan orang yang dicintai, dan untuk mengejar passion-nya.
Pikiran tentang pernikahannya membuatnya merasa terisolasi dari teman-temannya dan lingkungan sosial yang dulu ia kenal.
Hatinya bergejolak merasakan kepahitan hidup. Calon suaminya pun belum diketahuinya. Ibunya bilang pria itu cukup tampan. Dan juga tidak terlalu tua. Usianya sedang-sedang saja.
Kata ibunya pria itu memang cukup dewasa dan ibunya berharap jika nantinya dia bisa dibimbing saat berumah tangga dan bisa menghargai satu sama lain.
Ia takut akan kehidupan pernikahan yang akan dijalaninya, terutama dengan seorang pria yang jauh lebih tua darinya.
Olivia mencoba untuk tidak marah pada orang tuanya yang telah mengorbankan kebahagiaannya, kepada calon suaminya yang telah merenggut kebebasannya, dan kepada takdir yang tidak adil.