3. Aku Belum Siap, Bu

831 Kata
Cahaya matahari pagi menyinari kamar kecil Olivia, namun tak mampu menerangi kegelapan yang menyelimuti hatinya. Hari demi hari berlalu, semakin dekat dengan hari pernikahannya yang dipaksakan. Setiap detik terasa seperti tahun, setiap napas terasa sesak. Olivia masih ingat betul bagaimana hidupnya dulu. Penuh dengan mimpi dan harapan. Ia ingin melanjutkan kuliah, mengejar karier yang membanggakan, dan menemukan cinta sejati. Namun, semua itu kini terasa begitu jauh. Masa depannya sudah ditentukan oleh orang lain, tanpa ada pilihan baginya. Malam-malamnya, Olivia sering kali menangis dalam diam. Ia merutuki nasibnya yang malang. Mengapa harus dirinya yang menanggung beban hutang keluarganya? Mengapa hidupnya harus berakhir begitu tragis? Olivia mencoba mencari kekuatan dari dalam dirinya. Ia mengingat pesan ibunya, "Kamu harus kuat, Nak. Demi keluargamu." Namun, sekuat apapun ia berusaha, rasa sakit di hatinya tak kunjung hilang. Di sela-sela kesibukan persiapan pernikahan, Olivia mulai berpikir. Dia merasa gelisah hingga ketika ibunya menegurnya karena lampu kamarnya masih menyala, Olivia akhirnya memejamkan matanya dengan terpaksa. Paginya, dia berusaha untuk melakukan kegiatan yang bisa menghindari pertemuan dengan pria itu. Ibunya telah mengatur waktu untuk mereka bertemu. Tapi dengan cepat Olivia langsung melangkah cepat keluar dari rumah untuk pergi ke tempat lain. Sebuah mobil dilihatnya berhenti di depan rumah dan dia terpaksa pergi agar tidak ada satupun yang berhasil menemukannya. "Ren, kakakmu mana?" tanya Bu Fatih pada anak perempuannya. "Nggak tahu, Bu. Biasanya kan di kamar," jawab Rena sambil memainkan rambutnya. Bu Fatih membuka pintu kamar putri sulungnya. Dia melihat kamar putrinya kosong tak ada siapapun. Ia menemui pria yang akan menikahi putrinya setelah tak berhasil menemukan Olivia. "Nak, maafkan ibu. Olivia tidak ada di kamarnya. Adiknya puk tidak melihat keberadaannya," Pria yang duduk menyunggingkan senyumnya. Dia tahu seberapa besar rasa inginnya untuk bertemu calon pengantin wanitanya. "Tidak apa-apa, Bu. Tidak masalah, yang jelas persiapan pernikahan sudah di depan mata. Besok saya sudah harus menyelesaikan pekerjaan di kantor jadi hanya hari ini saja kesempatan menemui Olivia," ucapnya seraya mengedarkan pandangannya ke arah dalam rumah calon mertuanya. Bu Fatih merasa tidak enak dan berusaha untuk tenang meski hatinya ketar ketir. Setelah calon menantunya pergi, Olivia tidak kunjung pulang juga hingga akhirnya saat tengah malam, Bu Fatih menghubungi calon menantunya dan memberi kabar tentang Olivia yang tidak kunjung pulang. Tenyata di sebuah kamar kecil yang berukuran cukup sempit, Olivia tengah tidur. Temannya mengguncang tubuhnya dan menyuruhnya pergi. "Liv, ibumu mencari, bangun Liv!" Olivia yang sedang tidur nyenyak akhirnya terbangun dan mengucek matanya setelah temannya mencubit pinggangnya. "Aw, sakit tahu!" jeritnya dengan nada kesakitan. "Oliv, pulang Nak!" Olivia terkejut, ibunya ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar ini. "I-ibu? Oliv ..." "Ayo, Nak. Pulang!" Tatapan tajam ibunya membuat Olivia tertegun. Dia tahu ibunya kini pasti marah tapi dia harus melakukan ini agar tahu kalau dia sama sekali tidak ingin menikah muda. "Bu, Oliv ...." Tangannya ditarik dan dia dipaksa keluar. Olivia melihat mobil yang kemarin datang ke rumahnya. Dan pria itu sedang duduk di bagian setir sedang menunggu dirinya masuk ke dalam mobil miliknya. "Masuk, Liv. Ibu perlu bicara sebentar sama temanmu, mereka harus tahu kalau kamu sudah harus dipingit dan siap menikah," Olivia merasa dunianya runtuh, ia hancur. Ibunya terlampau memaksa. Saat berada di dalam mobil, dia melihat pria yang duduk di bagian depan setir memakai topi. Pria itu tak terlihat wajahnya dan berbicara dengan cukup mengerikan. "Gadis kecil, akhirnya ketemu juga kamu. Jangan coba-coba pergi, kita tetap akan menikah, kamu mempelai wanita yang benar-benar payah!" ujar pria itu. Olivia merasa ngeri, sungguh ia tak mungkin menikahi pria tua yang kata ibunya usianya selisih jauh dengannya. Tak lama kemudian ibunya datang dan masuk ke mobil. Olivia dicengkeram tangannya. "Oliv, jangan buat ibu malu. Nak Edward sudah sangat sabar!" tekan ibunya. Olivia mencoba melihat wajah pria yang memakai topi berwarna putih itu. Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, rasa penasaran membuatnya terus bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya pria yang akan menikahinya. ** Pagi ini, cuaca cukup cerah dengan langit yang mulai membiru. Cerahnya langit ternyata tidak secerah suasana hati Olivia yang terkurung di dalam kamarnya. Sejak semalam, pintu kamarnya dikunci rapat-rapat. Olivia merasa kesal dan terus memanggil kedua adiknya untuk membantunya keluar dari kamar yang kecil itu. "Ren ... Bayu! Tolong dong bukain pintu!" Tidak ada yang menyahut panggilannya. Ia duduk dan merenung. Kemarin pria itu berkata cukup tegas padanya. Meminta dirinya untuk bersiap dinikahi dan harus menurutinya. Ia tidak ingin ini terjadi dan air matanya turun saat teringat janji dengan teman-temannya. Mereka saling berjanji akan bersekolah di sekolah yang sama dan lulus juga bareng-bareng. Ia mulai merasakan sesak di dadanya saat melihat gaun pengantin yang sudah dipersiapkan untuk dipakainya di hari pernikahan. Ucapan itu terus terngiang dan membuatnya pusing. Ia terus memikirkannya sampai-sampai asam lambungnya kumat dan harus diobati. Ibunya memeriksa keningnya dan memastikan dia tidak demam. "Sebaiknya kamu diam saja di rumah dan banyak makan supaya tidak sakit lagi seperti ini," ucap ibunya. Olivia diam saja, lalu datang sebuah buket yang dikirim untuknya dengan bertuliskan : Gadis kecilku ... bersiaplah menikah dan jangan lagi pergi agar aku tak susah payah mencarimu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN