Persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Olivia tetap berada di kamarnya dan tidak diperbolehkan keluar. Ibunya telah melarangnya untuk pergi keluar rumah bahkan saat teman-temannya datang mereka diminta untuk pulang kembali.
Olivia sebenarnya sangat sedih namun ia harus menuruti keinginan ibunya. Mungkin dengan cara inilah kehidupan mereka akan menjadi lebih baik bahkan Ibunya sudah berkorban juga untuk hati dan pikirannya.
Dia tahu bahwa ibunya tidak tega melihatnya menikah dengan pria yang lebih tua meskipun berkecukupan sekalipun.
Pria itu pernah datang kemari tetapi mereka tidak pernah dipertemukan. Ibunya bilang itu adalah keinginan dari pria yang mengajaknya menikah.
Pria itu hanya datang untuk memberikan beberapa uang agar Ibunya bisa membayar hutang-hutang dan juga memeriksakan Ayahnya di rumah sakit.
Walaupun sepertinya dia dijual namun Olivia tahu ibunya tidak akan setega itu padanya.
Saat berkaca di cermin, dia menatap dirinya yang masih sangat belia untuk menghadapi kehidupan baru menjadi seorang istri.
Namun ketika Ibunya datang menghampiri, semuanya biar seketika saat keraguan itu memenuhi isi kepalanya.
“Besok kamu sudah harus menikah. Ibu terpaksa melakukan ini, tapi tolong jangan berbuat macam-macam, Liv!"
"Bu ... ibu yakin?"
Sorot matanya memandang wajah ibunya yang menyiratkan kesedihan meski ini hari pernikahan.
"Maafkan ibu ya, Liv. Sekali lagi Ibu minta kamu jangan menangis, supaya di depan orang banyak nanti, calon suamimu tidak merasa malu karena melihat pengantin wanitanya sembab dan bersedih.”
Ibunya sering memperhatikan dirinya ternyata. Dan ia tahu betapa tidak teganya ibunya saat harus menerima kenyataan bahwa pernikahan ini akan dilaksanakan.
Kedua adiknya hanya diam saat melihatnya menangis. Mereka belum mengerti apa-apa. Karena dilarang keluar kamar, mereka kerap membantunya untuk mengambilkan sesuatu jika dibutuhkan.
Rupanya keduanya sudah diberitahu oleh ibunya tentang pernikahan dan harus dipingit.
Kedua adiknya berusaha menghiburnya meski tidak berarti sama sekali bagi Olivia.
Malam ini Olivia tidak bisa tidur karena terus memikirkan bagaimana pernikahan yang akan berlangsung besok.
Ayahnya sudah berada di rumah sakit saat ini dan pernikahan tetap akan dilangsungkan di rumah ini.
Saudara jauh juga sudah datang dan mereka membantu ibunya untuk bisa merawat ayahnya sementara di rumah sakit.
Semuanya telah siap bahkan dekorasi pengantin juga sudah siap. “Liv, kamu bisa ke kamar ibu sebentar, kamu bisa tiduran di sana!”
“Kenapa sih, Bu? Memangnya kamar ini mau diapakan?”
“Kamar ini kan mau dihias jadi kamar pengantin. Kamu bisa pakai kamar Ibu dulu untuk berbaring,”
Olivia memandang sejenak ke sekeliling kamarnya. Tidak mungkin dia akan tidur satu kamar dengan pria itu. Pria yang tidak pernah dia kenal bahkan mengetahui wajahnya pun tidak.
Kata ibunya pria itu bernama Edward. Entah seperti apa orangnya. Dan katanya juga sudah tua, usianya juga sudah 34 tahun. Selisih usia mereka 15 tahun. Raut wajahnya sedih menggambarkan keraguan dan juga penolakan meski itu tidak mungkin dilakukannya.
Mereka semua sudah setuju. Sedangkan dia yang harus menjalaninya.
Langkahnya terasa berat ketika masuk ke kamar ibunya. Membayangkan kamarnya dihiasi menjadi kamar pengantin pun rasanya tidak rela. Ia kembali terisak, lalu datang seorang bibinya dan mengusap bahunya.
“Jangan banyak menangis, Nduk! Kasihan ibumu kalau kamu menangis terus seperti ini. Ingat ayahmu yang sedang sakit keras di rumah sakit,”
Ia diam saja, berharap ini hanya mimpi tapi ternyata bukan.
Semua yang terjadi adalah kenyataan dan dia harus menjalaninya dengan hati yang penuh gelisah.
Karena terus menangis dia pun akhirnya tertidur. Beberapa anggota keluarga yang ada di rumahnya kerap kali menengoknya di kamar dan memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Ternyata Olivia bermimpi buruk hingga tengah malam dia terbangun. Suasana malam ini benar-benar sangat sunyi. Ia bangkit dari tempat tidur kemudian berjalan menuju ke pintu.
Ruangan tengah rumah ini tampak sunyi senyap tidak ada orang yang berlalu lalang karena jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam.
Dicari-cari ibunya tidak ada juga di kamar ini, karena biasanya ibunya akan tidur di kamar setelah tubuhnya lelah.
Ia melihat dekorasi pengantin sudah tertata rapi dan sangat indah. Dia melihat kedua adiknya tertidur dengan sangat lelap di ruangan tengah depan dekorasi pernikahannya.
Ternyata ibunya tidur di ruang tamu dengan beberapa kerabat mereka yang datang dari luar kota.
Olivia merasa sangat kasihan saat melihat wajah ibunya yang kelelahan. Tapi pernikahannya tidak membuatnya siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Apalagi dengan orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
Ia melihat ke sekeliling. Memastikan semuanya telah tidur. Dipandanginya wajah ibunya yang sayu dan membuatnya merasa trenyuh. Niatnya sudah bulat, kesempatan tidak akan datang dua kali.
Kakinya yang kecil melangkah melewati beberapa kardus yang tampak bertumpukan di antara barang-barang yang lain yang berisi snack dan juga souvenir-souvenir untuk pernikahannya.
Ibunya telah mempersiapkan semuanya dengan baik.
Semuanya dibayar oleh calon suaminya yang sama sekali tidak dia ketahui siapa dia dan bagaimana orangnya.
Kata ibunya, calon suaminya hanya ingin bertatap muka saat mereka selesai melakukan ijab kabul. Hal itu yang membuatnya menjadi ragu dan takut. Takut jika ternyata calon suaminya adalah seseorang yang menakutkan atau bahkan mengerikan.
Meskipun cuaca cukup dingin tapi ia berkeringat. Adiknya tempat bergerak dan membuatnya gugup.
Pintu rumahnya hampir dekat dan berjarak beberapa meter lagi. Tangannya terasa dingin, apalagi keningnya juga berkeringat dan tangannya tanpa getar saat membuka pintu yang tidak terkunci. Setelah berhasil membuka pintu tanpa mengeluarkan bunyi, Olivia berjalan cepat menuju keluar.