* Flashback On *
Sepanjang perjalanan pulang,Naya diam seribu bahasa. Hanya suara jantungnya yang sepertinya tidak mau berkompromi, karena detakannya lebih cepat dari biasanya. Naya hanya sesekali menunjukkan jalan ke arah rumahnya dan setelahnya, mereka berdua akan terdiam tanpa ada satupun yang ingin mencairkan kecanggungan diantara mereka.
"Ma-makasih ya, Van,"ucap Naya gugup setelah sampai persis di depan rumahnya.
'Kenapa gue jadi sering gugup gini sih di depan Player nol besar??!!' batin Naya sambil memejamkan mata.
Yvan menatap Naya dalam dan memperhatikan kegugupan yang ditunjukkan wanita mungil di sampingnya ini.
"Oia, alamat rumah Chelsea di mana? Biar besok gue gak nyasar."
Yvan masih terdiam dalam lamunannya, sambil masih menatap Naya semakin dalam. Hal itu tentu saja semakin membuat Naya salah tingkah sendiri.
'Kenapa sih ni orang bikin detakan jantung gue tambah cepet aja?! Bisa meledak ini lama-lama kalau ditatap gitu mulu sama dia!'
"Woy, Van! Hobi lo ngelamun juga ya?" tanya Naya sambil menggerakkan lengan Yvan persis seperti ketika di parkiran tadi. Naya melakukan ini, untuk meredakan kegugupannya yang dia sendiri tidak menyadari apa maknanya.
"Eh... kenapa? Sorry... sorry... lo tanya apa tadi?"
'Gil4! Bisa-bisanya gue ngelamun di depan Naya. Ni cewek kenapa imut banget sih! Jadi gak sabar buat--"
"Astaga, Yvan... lo ngelamun lagi??" tanya Naya kesal karena Yvan kembali menatapnya dengan pandangan kosong.
"Hehehe...Sorry ya. Habis siapa suruh kamu enak dipandang." Yvan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan gugup.
Naya terdiam. Rona merah muncul di pipinya mendengar gombalan Yvan. Namun tak lama, Naya berusaha bersikap biasa, seakan tak terganggu oleh ucapan pria blasteran itu.
"Receh... Van... rece! Nyebelin banget sih lo!" sinis Naya. Wanita mungil ini semakin sebal saat Yvan tertawa.
"Back to the topic!" Naya menatap Yvan galak. "Tadi tuh gue tanya sama lo, rumah Chelsea di daerah mana?" lanjut Naya.
"Buat apa?"
"Buat data sensus! OMG! Ini mahasiswa yang dibanggain Dosen?!" ucap Naya sarkastis karena Yvan benar-benar tidak fokus pada pertanyaannya tadi. "Buat datang ke rumah Chelsea besok, Yvan!" Naya melotot gemas. Ia tak menyangka jika pria yang sering dipuji-puji dosen di kampus mereka ini bisa lemot juga.
"Oh itu..." Yvan terlihat salah tingkah. Pria ini berusaha meredakan tenggorokan yang tiba-tiba mengering. "Ehm... aku jemput kamu besok... jam lima sore ya. Dan--" pria ini menjeda ucapannya. Matanya menatap Naya jahil.
"Apa?"
"--jangan lupa dandan yang cantik ya, Kakak Cantik." Yvan mengedipkan sebelah mata menggoda Naya.
Bluss...
Wajah Naya memerah untuk kesekian kalinya. Karena tak tahan dengan rayuan dan tindakan Yvan yang menurut Naya tidak sehat untuk jantungnya, Naya segera berpamitan pada pria blasteran itu. Sambil mengucapkan salam perpisahan, Naya buru-buru keluar dari mobil Yvan menuju pagar rumahnya agar Yvan berhenti menggodanya.
Naya berhenti melangkah. Wanita mungil ini merasa ada yang mengikuti. Saat ia membalikkan tubuh, matanya membelalak terkejut saat menemukan keberadaan Yvan yang berdiri gagah tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Ngapain lagi?" tanya Naya dengan nada kesal.
"Mau antar kamu."
"Kan udah. Ini udah sampai di depan rumah gue. Udah deh lo pulang aja sekarang!" perintah Naya. Wanita ini tidak ingin lebih salah tingkah lagi.
"Aku harus antar kamu sampai ke depan orang tua kamu dong!"
"Buat?"
"Biar aku yakin kalau kamu baik-baik aja dan selamat sampai tujuan," jawab Yvan sambil tersenyum manis, yang mana membuat jantung Naya lagi-lagi berdetak semakin kencang.
"Gu-gue tinggal masuk pagar kok, dan udah bisa dipastiin kalau gue bakal baik-baik aja. Mending lo--"
"Udah ya gak usah debat. Udah malam juga. Katanya kamu mau ngerjain tugas kuliah kamu, jadi lebih baik biarin aku nemenin kamu sampai ketemu sama orang tua kamu dan nyerahin kamu tepat di depan mereka." Yvan memotong perkataan Naya dan menggiring wanita mungil ini agar masuk ke dalam pagar rumahnya.
Dan Naya, hanya bisa pasrah dengan wajah merona karena perlakuan manis Yvan yang saat ini tersenyum ke arahnya sambil menggandeng tangan Naya.
*Flashback off*
"Ndok, jangan buang-buang air. Nanti Bapakmu mahal lho bayarnya," sindir ibu Naya. Matanya menatap keran wastafel yang mengalir deras, padahal semua piring yang dicuci sudah selesai. Naya pun bergegas mematikan keran dan menoleh kearah ibunya sambil meringis malu.
"Ngelamun opo tho, Ndok? Mas Bule ya?" goda sang ibu dengan nada medok khas orang daerah Jawa Timur.
"Engg-enggak, Bu ih! Ibu apaan sih. Ehm... tapi boleh kan, Bu?"
"Boleh apa? Pacaran sama Mas Bule-mu itu?" tanya wanita paruh baya ini masih asyik menggoda sang anak.
"Bukan Bu, tapi pergi ke rumah temen--"
"Sama Mas Bule?" lanjut sang ibu menyela ucapan Naya.
Naya mendengus sebal karena ibunya tak kunjung selesai menggodanya.
Melihat wajah kesal Naya, langsung saja membuat sang ibutertawa renyah. "Ibu sama Bapakmu kan ndak pernah ngelarang kamu, Ndok. Kami percaya sama kamu. Cukup jaga kepercayaan kami saja. Lagian kamu lho udah dewasa, udah waktunya cari pacar atau mungkin calon bojo. Ibu aja pas seusiamu, sudah punya anak satu, ya kamu ini," ucap ibu Naya panjang lebar sambil menekan lengan anaknya.
"Bu, Naya tuh izin ke rumah temen, bukan izin pacaran. Lagian Naya baru dua puluh tahun, Bu. Belum mikirin nyari bojo," sungut Naya.
"Apa pun itu, kami percaya sama Naya-nya kami," ucap sang ibu sambil mengusap lembut pipi Naya.
"Makasih, Bu." Naya memeluk ibunya erat.
Dia sangat bahagia memiliki keluarga yang tidak pernah mengekangnya. Bapak dan ibunya selalu membebaskan anak-anaknya dan memberikan kepercayaan penuh pada mereka. Hal itu yang membuat Naya tak ingin merus4k kepercayaan kedua orang tuanya. Naya berjanji dalam hati, tidak akan membohongi atau pun mengecewakan ibunya.
***
Pukul lima sore, Naya sudah siap untuk pergi ke rumah Chelsea. Naya mengenakan kemeja longgar dan rok navi di atas mata kaki. Rambut panjangnya yang bergelombang di ujung rambut coklat tuanya, dibiarkan tergerai. Naya melangkah menuju ruang tamu rumahnya.
Di sana sudah ada Yvan yang menunggunya. Pria itu langsung terpana dengan penampilan Naya yang sederhana tapi terlihat sempurna di matanya.
Naya pun tak kalah terpesona dengan penampilan Yvan yang menurutnya sangat fashionable. Yah... memang Yvan selalu terkenal berpenampilan fashionable karena profesi Yvan yang sesekali menjadi model majalah remaja. Lama mereka saling memperhatikan penampilan. Sampai ada sebuah suara yang menginterupsi keduanya.
"Ehm... Ndok, sudah siap? Kasian lho dari tadi Nak Bule sudah nunggu kamu." Ibu Naya yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua, tidak kuasa menahan senyum geli. Dia jadi teringat sendiri akan masa mudanya.
Yvan dan Naya yang merasa tertangkap basah, saling membuang pandangan dengan canggung. Wajah keduanya sama-sama memerah.
"Ibu... udah deh..." Naya memberi kode pada ibunya lewat tatapan mata untuk tidak menggodanya dan Yvan lagi.
Yvan yang tahu ibu Naya menggoda putrinya, tersenyum sambil meminum teh manis yang disediakan sang tuan rumah.
"Eeciiiieeee... yang mau ayang-ayangan!!"
Byuuurr...
Yvan menyemburkan teh yang ada di dalam mulutnya.
"Uhukk... uhuk..." Pria ini terbatuk karena tersedak teh manis yang tersisa saat mendengar dua suara anak laki-laki yang tiba-tiba datang dari arah pintu masuk,
"Mahesa!! Mahawira!! Kalian tuh ya!! Namanya masuk rumah tuh bilang salam. Ini malah ngagetin orang dengan suara kalian yang kayak kaleng rombeng gitu!" Naya buru-buru menghampiri Yvan untuk menyerahkan tisu. Wanita mungil ini juga membantu menepuk punggung Yvan agar berhenti terbatuk karena ulah kedua adiknya. Adik kembar yang ia miliki.
"Memang anak-anak ini ndak ada sopan sopannya! Udah jam segini baru pulang??!! Ayo masuk terus mandi!!" Ibu Naya menghampiri anak kembarnya dan langsung menarik masing-masing telinga Mahesa dan Mahawira.
"Aduh... Bu... sakit, Buu!!"
"Kuping Wira bisa copot nih, Bu!!"
"Hesa juga, Bu.... aduuuhh, Bu... ampun!!"
Ibu Naya menggiring dua anak laki-laki itu masuk ke dalam ruang tengah dengan tangan masih menarik telinga mereka.
Naya tertawa terpingkal-pingkal sampai wajahnya memerah. Naya sangat tahu kalau adik-adiknya berlebihan. Ibunya tidak mungkin sanggup untuk menarik telinga mereka sekuat tenaga. Bapak dan ibu Naya tidak pernah memukul anak-anak mereka, karena mereka tahu kekerasan bukanlah perbuatan yang baik untuk mendidik anak-anaknya.
Yvan yang melihat kejadian itu, hanya melongo melihat tingkah ibu dan yang dia yakini adalah adik-adik wanita yang berdiri di sampingnya ini.
"Adik-adik kamu?"
Naya yang masih tertawa hanya bisa mengangguk.
"Mereka lucu... kayak kamu," bisik Yvan tepat di samping telinga Naya.
Naya yang mendengar itu, langsung terdiam. Jantungnya... kembali berdetak kencang. Hal ini masih membuatnya tak mengerti.
Ada apa dengan dirinya?