Rabu (12.16), 09 Juni 2021
---------------------
Adrenalin mulai menguasai diri Freddy membuat seluruh saraf dalam tubuhnya seolah terjaga. Otaknya berputar cepat menyusun strategi. Memperhitungkan segala kemungkinan dan menerka-nerka kondisi yang akan dihadapinya.
Hanya butuh kurang dari lima menit hingga Freddy bisa melajukan mobilnya tepat di belakang mobil hitam. Lelaki itu tidak khawatir pengemudi mobil hitam sadar bahwa dirinya diikuti. Memang itulah yang diinginkan Freddy agar orang itu menghentikan perburuan. Saat ini yang menjadi prioritas utamanya adalah memastikan keselamatan Ratna. Terutama setelah mengingat keadaan Ratna semalam.
Kebersamaannya bersama Ratna tadi pagi menyeruak dalam benaknya. Sejujurnya Freddy sedikit heran karena mendadak wanita itu berubah manis dan penurut. Padahal dirinya sudah menyiapkan mental jika wanita itu mengamuk.
“Jangan salah paham. Hanya saja berada dalam pelukanmu mengingatkanku pada seseorang.”
Mata Freddy menyipit dan dahinya berkerut ketika teringat ucapan Ratna. Jangan sampai wanita itu bersikap manis padanya karena sedang membayangkan orang lain, geram Freddy dalam hati.
Kening Freddy semakin berkerut—kebiasaannya ketika sedang berpikir keras—ketika teringat bagaimana Ratna memanggil-manggil ‘kakak’ dalam tidurnya. Freddy yakin ada suatu peristiwa yang tidak diingat wanita itu. Pasti itu berhubungan dengan orang yang dipanggil Ratna dengan sebutan ‘kakak’. Masalahnya Freddy tidak dapat menduga, si ‘kakak’ ini adalah seorang penyelamat tempat Ratna berlindung atau malah seseorang yang menorehkan trauma padanya.
“Mari kita lihat. Apakah kau si ‘kakak’ itu?” desis Freddy.
Lelaki itu mengumpat kesal ketika dia tidak menemukan tempat kosong di lapangan parkir Mall sementara mobil hitam itu sudah parkir sejauh lima mobil dari mobil putih yang ditumpangi Ratna. Ketika akhirnya Freddy berhasil memarkir mobil dan keluar, Ratna dan teman-temannya sudah berjalan menuju pintu masuk Mall.
Freddy memperhatikan mobil hitam yang telah ia hafal plat nomornya itu sambil berpura-pura sibuk dengan smartphonenya. Tidak ada gerakan dari mobil itu. Freddy menoleh. Dia masih bisa melihat Ratna karena mereka sedang berhenti memperhatikan sesuatu di depan Mall.
“Alan, kau lambat sekali seperti siput. Cepatlah!”
Freddy berbalik melihat seorang lelaki yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang di samping mobil hitam. Dia menatap kesal lelaki yang baru keluar dari sisi pengemudi. Freddy segera berpura-pura sedang menelepon dan membiarkan kedua lelaki itu melewatinya.
“Santailah sedikit.” Sahut lelaki yang dipanggil Alan.
“Seharusnya aku pergi sendiri.”
“Aku tidak akan membiarkanmu mengemudikan mobilku. Kau kan tidak bisa menyetir.”
Freddy terus membuntuti kedua orang itu dan memperhatikan tiap kata yang mereka ucapkan. Setidaknya dia memiliki sebuah informasi sekarang. Salah satu penguntit itu bernama Alan.
Setelah lima belas menit mengikuti kedua orang itu, Freddy mulai ragu kalau mereka berniat mencelakai Ratna. Tidak mungkin mereka bisa melukainya dari jarak sejauh itu. Dan lagi hanya lelaki yang belum Freddy ketahui namanya itu yang begitu fokus memperhatikan Ratna. Lelaki bernama Alan lebih asyik memilih-milih pakaian meski dia selalu berusaha berada di samping temannya.
“Kenapa dia menuju ke sini?” mendadak lelaki tanpa nama itu bertanya.
Freddy semakin mendekatkan diri di belakang mereka, berpura-pura memilih pakaian. Freddy bisa melihat melalui sudut matanya bahwa si lelaki tanpa nama tiba-tiba berbalik menghadap deretan pakaian di sampingnya seolah menyembunyikan wajahnya. Kini Freddy dan lelaki itu berdiri bersebelahan menghadap deretan pakaian yang sama. Bahkan Freddy bisa mendengar deru nafas lelaki itu seolah menunggu sesuatu yang ditakutinya.
“Apa yang sedang kau lakukan disini?”
Suara itu terasa familiar namun Freddy tidak mau membuang waktu mencari sumber suara. Fokus utamanya adalah lelaki di sampingnya. Freddy bisa melihat suara wanita itu memberi pengaruh pada lelaki di sampingnya. Lelaki itu terlihat menegang. Jemarinya mencengkeram erat kain di tangannya.
Mendadak rasa nyeri menyengat daun telinga Freddy. Terpaksa dia menoleh menatap wanita yang sedang menarik keras daun telinganya.
“Darling, sejak kapan kau di sini?” Freddy sungguh kaget melihat Ratna di depannya. Sejak beberapa menit terakhir dia tidak lagi memperhatikan Ratna karena fokus pada kedua lelaki tadi.
“Seharusnya aku yang tanya, sedang apa kau di sini?”
Freddy melirik ke arah lelaki tanpa nama itu yang kini membelakangi mereka dan menjauh beberapa langkah. Freddy yakin lelaki itu berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka.
Freddy tersenyum sambil meraih tangan Ratna yang masih menjewer telinganya, lalu menggenggam erat. “Mendadak aku merindukanmu.”
“Astaga, so sweet sekali.”
Ratna menoleh lalu melotot pada Lidya yang menatap mereka dengan mata berbinar. “Kau juga kenapa mengikutiku? Sudah kubilang tunggu disana.”
“Untuk memastikan kau tidak melarikan diri.” Sahut Lidya santai. “Hai. Kenalkan, aku Lidya.”
Freddy menerima uluran tangan Lidya. “Kau pasti wanita yang berbicara padaku di telepon itu, kan? Sudah kuduga kau sangat cantik.”
Ratna mencibir sambil mendesis pelan. “Kumat.”
Wanita itu berjalan menjauh meninggalkan mereka. Ada perasaan tidak rela dalam hati Ratna ketika Freddy menggombali Lidya. Hampir sepekan dia bersama lelaki itu. Ratna sudah terbiasa dengan sifat gombalnya walau masih sering merasa jengkel. Seharusnya dia sudah menduga bahwa lelaki itu memang suka menggoda siapapun yang berjenis kelamin wanita.
Freddy mengedarkan pandangan pada sekelilingnya untuk mencari sosok kedua lelaki tadi, namun dia tidak bisa menemukannya.
“Kau sedang mencari apa? Ayo kita kesana!” tanpa malu-malu Lidya merangkul lengan Freddy.
“Aku masih ada urusan dan aku tidak ingin mengganggu kegiatan kalian.”
“Dengar!” Lidya menatap Freddy seperti seorang ibu yang menegur putranya. “Kau sudah membuat kekasihmu cemburu. Sebagai gantinya kau harus membantu Ratna menemukan gaun yang ‘wow’ untuk pesta nanti.”
“Cemburu?” Freddy menaikkan satu alis dengan bertanya.
“Kau memujiku di depannya. Wajar saja kalau dia cemburu. Sekarang tidak ada bantahan lagi. Dan kenapa lenganmu?”
“Kecelakaan.” Sahut Freddy singkat. Akhirnya dia pasrah diseret mengikuti para wanita itu.
***
“Bagaimana menurutmu? Apa ini tidak terlalu berlebihan?”
Freddy mengalihkan pandangan pada Ratna yang sedang berdiri kikuk di belakangnya di teras balkon. Lelaki itu menatap Ratna tanpa berkedip. Bibirnya sedikit terbuka dan nafasnya tercekat.
Freddy tahu Ratna cantik. Tapi dia tidak menyangka wanita itu bisa terlihat begitu sensual. Gaun yang sedang dikenakan Ratna berwarna peach. Warna yang seolah menonjolkan warna kulitnya. Gaun itu begitu pas membentuk lekuk tubuh Ratna. Bagian bawahnya—tepatnya di bawah pinggul—sedikit lebih longgar dengan belahan sebatas lutut. Bagian punggungnya hanya tertutup tali tipis yang saling menyilang. Kain lembut yang menutupi bagian dadanya hanya disangga tali tipis itu. Rambutnya disanggul ke atas, dengan sejumput rambut dibiarkan menjuntai di samping telinganya. Sepasang anting panjang menghiasi telinganya. Lehernya dibiarkan polos tanpa perhiasan.
“Benarkah itu gaun yang tadi kau beli?”
Ratna merengut. “Kau sendiri yang bilang amat menyukai gaun ini. Itu sebabnya teman-temanku memaksa untuk membeli gaun ini meskipun aku tidak setuju.”
Freddy menyandarkan punggungnya di pagar balkon. Dia menelan ludah beberapa kali untuk membasahi kerongkongannya. Mendadak seluruh tubuhnya terasa panas. Lelaki itu menggosok tengkuknya, berharap bisa mengurangi panas yang terasa membakar tubuhnya.
“Kalian—” Freddy berdehem sejenak untuk menormalkan suaranya yang berubah serak. “Kalian berkeliling Mall hanya untuk mencari gaun selama lebih dari tiga jam. Waktu itu aku sudah bosan dan lelah. Jadi aku hanya asal berkata suka tanpa memperhatikan.”
“Sudah kuduga gaun ini adalah pilihan yang buruk.”
“Sebenarnya itu gaun yang tepat, hanya saja aku tidak rela jika orang lain melihatmu dalam gaun itu.”
“Kau mulai bertingkah menyebalkan lagi.”
Ratna menghentakkan kaki dengan kesal membuat dadanya berguncang, lalu segera menjauh dari Freddy. Wanita itu tidak menyadari bahwa perbuatannya telah membangkitkan gairah Freddy.
“Ratna Agustin. Akan kupastikan kau membayar perbuatanmu ini setelah pulang nanti.” Geram Freddy.
Dalam mobil berkali-kali Freddy mengubah posisi duduknya dengan gelisah. Atmosfer dalam ruang sempit itu terasa pekat dan kental oleh gairah yang memanas hingga lelaki itu kesulitan bernafas. Sesekali dia melirik Ratna yang duduk santai menikmati pemandangan di luar mobil. Wanita itu tampaknya tidak menyadari aura pekat di sekelilingnya.
“Kenapa mendadak disini panas sekali.” Gerutu Freddy sambil bergerak hendak membuka jendela di sampingnya.
“Kau mau apa? Hampir satu jam aku menata rambutku. Aku tidak mau tatanan rambutku rusak diterpa angin.”
Freddy mengerang pelan. Dengan kesal dia melepas kancing paling atas kemejanya dan melonggarkan dasinya.
“Freddy, kau baik-baik saja? Kau terus-terusan mengerutkan kening dan berkeringat. Tadi juga aku mendengarmu mengerang. Apa lenganmu sakit lagi? Seharusnya tadi kita menggunakan taksi.” Dengan khawatir Ratna menghapus tetes keringat di pelipis Freddy dengan punggung tangannya.
Lelaki itu segera menjauhkan diri dari sentuhan Ratna. “Aku baik-baik saja.” Jawabnya kaku.
Freddy menambah kecepatan laju mobilnya agar bisa secepatnya sampai di hotel bintang lima tempat diadakannya pesta itu.
“Jangan ngebut. Bisa-bisa kau kena tilang dan berakhir di kandang buaya.”
Freddy terkekeh mendengar sindiran Ratna. “Jangan khawatir. Tidak ada buaya yang mau melahap sesama buaya.” Freddy terdiam sejenak memikirkan sesuatu. “Tapi buaya itu belum melahapmu.” Suaranya berubah serak.
Pipi Ratna merona mendengar kalimat Freddy. Dia bukan anak kecil yang tidak bisa mengerti maksud lelaki itu. Sejak Ratna terbangun dalam pelukan Freddy, dia tidak bisa menyangkal ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya. Sudah bertahun-tahun dia hidup dalam perasaan seolah ada sesuatu yang hilang darinya. Dan kini, sesuatu yang hilang itu seakan telah ia temukan.
Ratna melirik lelaki di sampingnya. Mungkinkah dirinya hanya sedang menunggu seseorang yang bisa dijadikan tempatnya bersandar?
Selama ini dirinya selalu menolak perhatian yang diberikan padanya. Dia bisa berteman dengan siapapun, bersenda gurau, namun selalu menutup hati dan perasaannya. Bahkan di panti sekalipun, Ratna merasa dirinya orang asing. Bibirnya selalu berkata semua orang di panti adalah keluarganya. Tapi hatinya berkata tidak. Apalagi ketika ketua panti meminta Ratna untuk tinggal di rumah pemberian donaturnya begitu ia diterima di Universitas. Dia merasakan sebuah pengusiran.
Kini ada seseorang yang begitu memaksa untuk berada di sisinya, walau Ratna sudah menunjukkan penolakan. Untuk pertama kalinya dia merasa bahwa dirinya diinginkan.
“Kita sudah sampai.”
Ratna tersentak lalu menatap sekelilingnya. “Ah, iya.”
Wanita itu hendak keluar namun Freddy mencekal pergelangan tangannya. Dia berbalik menatap heran lelaki itu.
Jemari Freddy terangkat lalu menghapus sesuatu di bawah mata Ratna. “Kau menangis?”
Ratna bingung menghadapi mata abu-abu yang menuntut penjelasan itu. “Kemasukan debu.” Jawab Ratna cepat seraya keluar menghindari Freddy.
“Alasan klasik.” Gumam Freddy segera menyusul Ratna.
Lelaki itu berjalan di samping Ratna sambil meletakkan jemari wanita itu di lengannya. “Jangan dilepas!” perintahnya.
Ratna hanya berdecak kesal lalu menatap heran ketika menyadari penampilan Freddy. “Kau seperti baru bangun tidur. Rambutmu berantahkan sekali.” Ratna mendekat untuk merapikan rambut Freddy. Dia masih harus menjangkau ke atas walau sudah memakai high-heels. “Kenapa kau membuka kancing kemejamu? Dan dasimu!!”
Freddy segera menggenggam kedua tangan Ratna. “Berhenti menggesekkan tubuhmu padaku! Atau aku akan menyeretmu ke mobil dan menyetubuhimu disana.” Desis Freddy diantara giginya yang terkatup rapat.
Ratna segera mundur setelah mendengar itu. Wajahmu terasa panas. “Aku, aku tidak melakukannya. Aku hanya...”
Ratna terdiam ketika Freddy kembali meletakkan jemarinya di lengan lelaki itu, lalu melangkah memasuki hotel.
Di dalam, semua orang sudah tampak mengobrol membentuk kelompok-kelompok kecil. Suara musik lembut meramaikan suasana. Para pria memakai setelan jas rapi, sedangkan para wanita memakai gaun cantik dengan berbagai aksesoris seolah memamerkan kekayaannya. Ratna sedikit gelisah ketika merasakan berpasang mata menatap intens padanya. Dia berusaha terus menahan diri untuk tidak melirik penampilannya, memastikan bahwa tidak ada yang salah.
“Kenapa?” tanya Freddy ketika merasakan kegelisahan wanita itu.
“Kelihatannya semua orang menatapku. Apa make-upku baik-baik saja?” bisik Ratna.
“Semua mata itu sedang menatapku. Begitulah tatapan semua orang ketika gembel sepertiku masuk ke lingkungan kelas atas seperti ini.”
“Siapa yang bilang kau gembel? Siapapun itu, pasti dia buta ketika mengatakannya.” Dengan kesal Ratna menegakkan punggung lalu merangkul lengan Freddy lebih erat.
Freddy berusaha menahan senyumnya. Dia yakin Ratna tidak sadar ketika membela dirinya. Padahal Freddy hanya berkata asal untuk mengurangi kegelisahan Ratna. Dia juga menyadari tatapan terpana orang-orang itu pada bidadari di sampingnya.
“Wah, wah. Aku tidak menyangka pewaris Keegan Corp. akan hadir di pesta ini.”
Ratna menegang ketika mendengar suara itu. Perasaan teror kembali menyelimuti dirinya. Terpaksa Ratna berbalik perlahan ketika Freddy menoleh ke arah sumber suara.
“Bukankah anda uncle Max?” tanya Freddy dengan mata berbinar sambil menjabat tangan orang itu.
“Kukira kau sudah melupakanku.” Jawab pria bernama Max lalu dia menoleh menatap Ratna. “Sepertinya kita sudah pernah bertemu sebelumnya.” Pria itu ganti mengulurkan tangan pada Ratna.
“Kita pernah bertemu di toilet kantor.” Sahut Ratna berusaha tersenyum. Dia tidak membalas jabat tangan lelaki itu, memilih mengeratkan jemarinya di lengan Freddy.
“Kalian bertemu di dalam toilet?” Freddy melotot menatap Ratna. Dia menyadari keengganan Ratna untuk berbasa-basi dengan uncle Max.
“Maksudnya di depan toilet, boy. Jangan membentaknya seperti itu. Kau membuatnya ketakutan.” Max terkekeh. “Sebaiknya aku menyapa tamu lain. Selamat bersenang-senang.”
“Uncle Max,” panggil Freddy sebelum Max berlalu. “Sudah lama sekali kau tidak mampir ke rumah kami. Papa pasti merindukanmu.”
Max hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Kalian sungguh pasangan yang fantastis!”
Freddy dan Ratna menoleh pada segerombolan wanita yang sedang menatap kagum pada mereka.
“Wah, gengmu rupanya sudah berkumpul, darl.”
Keempat wanita itu terkikik mendengar ucapan Freddy.
“Jadi ladies, tidak mungkin kalian disini tanpa pasangan, kan?” tanya Freddy.
“Mereka disana.” Ucap Ana menunjuk gerombolan pria.
“Sebaiknya aku kesana dan membiarkan kalian membicarakan urusan wanita.” Freddy hendak melepaskan jemari Ratna dari lengannya tapi wanita itu malah mempererat jemarinya.
“Kau tidak mau mengajakku berdansa?” buru-buru Ratna bertanya.
Freddy mengangkat salah satu alis heran.
“Oh, wow. Kurasa Ratna tidak mau ditinggal.” Sahut Maria dengan nada berlebihan. “Penampilan kalian sudah membuat semua orang meneteskan air liur. Sekarang kalian malah membuat iri pasangan lain.”
Ratna hanya tersenyum malu mendengar ocehan teman-temannya.
“Pergilah kalau kalian mau berdansa. Yang jelas misi kita sukses. Mina tampak menahan marah karena pak Tio mengabaikannya dan lebih asyik menatap Ratna.” Jelas Devi.
“Bukan itu saja. Dia juga tidak bisa berkedip menatap Freddy.” Tambah Lidya.
“Siapa pak Tio?” tanya Freddy.
“Ayolah, aku ingin berdansa.”
Ratna segera menarik lengan Freddy, membawanya ke lantai dansa yang sudah penuh dengan pasangan. Tanpa ragu wanita itu meletakkan salah satu tangannya di bahu Freddy dan tangan yang lain dalam genggaman lelaki itu. Rasanya masih kurang. Dia sangat ingin Freddy memeluknya untuk menghilangkan perasaan teror dalam dirinya.
“Kau ketakutan.” Bisik Freddy sambil menarik pinggang Ratna menempel pada tubuhnya.
Ratna mendongak menatap mata abu-abu Freddy. Wanita itu menarik nafas dalam sejenak. Bolehkah ia mempercayai lelaki ini? “Entah kenapa perasaan ini selalu muncul ketika aku bertemu dengan lelaki yang kau panggil uncle Max itu. Aku seperti dipenuhi teror.”
“Seperti teringat sesuatu atau seseorang?”
Ratna mengangguk.
“Aku beruntung.”
Ratna menatap Freddy heran. “Maksudmu?”
“Dalam pelukanku kau juga teringat pada seseorang. Aku beruntung karena kau malah merasa nyaman, bukannya ketakutan seperti tadi.” Lelaki itu menyeringai.
Ratna cemberut. “Jadi menurutmu ini hanya perasaanku saja?”
“Entahlah.” Freddy membelai pipi Ratna dengan buku jarinya. “Tapi satu hal yang pasti. Kau aman bersamaku.”
--------------------
♥ Aya Emily ♥