Tujuh

2405 Kata
Rabu (12.00), 09 Juni 2021 ---------------------- Ratna menggeliat dalam tidurnya. Perasaan hangat dan nyaman yang melingkupi dirinya membuat Ratna tidak ingin membuka mata. Namun tubuhnya menginginkan hal lain. Dia harus segera ke kamar mandi. Perlahan Ratna mengangkat kelopak matanya. Yang pertama dilihatnya adalah d**a bidang tempatnya membenamkan wajah. Dia bergerak hendak menjauhkan diri namun sebuah lengan kekar membelit pinggangnya. Ratna mendongak dan tertegun melihat wajah tampan polisi yang selama ini selalu mengganggunya. Akal sehat Ratna menyuruhnya untuk segera melompat menjauh lalu memaki lelaki itu karena telah berbuat kurang ajar. Tapi hatinya berkata lain. Ada perasaan aman dan nyaman dalam dekapan lelaki itu. Sialnya, tubuh Ratna setuju dengan kata hatinya. Mengunci rapat akal sehatnya, Ratna semakin membenamkan diri dalam pelukan lelaki itu. Ratna menghirup dalam-dalam aroma tubuh Freddy. Seharusnya tubuh orang tidur beraroma tidak sedap. Namun menurut Ratna aroma tubuh Freddy sangat lezat. Ratna terkikik kecil ketika menyadari dirinya mengumpamakan aroma tubuh lelaki itu dengan aroma makanan. “Hmm, kau sudah bangun?” Ratna tertegun ketika mendapat sebuah kecupan di puncak kepalanya. Freddy semakin menarik wanita itu ke dalam dekapan. Salah satu kakinya membelit kaki Ratna, memeluk wanita itu seperti guling. Ratna diam saja diperlakukan seperti itu, malah dia amat menikmatinya yang membuat dirinya sendiri kaget. “Freddy, aku harus ke kamar mandi.” Bisik Ratna setelah beberapa saat. Freddy bergumam tanpa membuka mata. “Bisakah ke kamar mandinya nanti saja?” “Aku sudah tidak tahan.” “Aku juga sudah tidak tahan.” Ratna mencubit pinggang Freddy ketika menyadari maksud kalimatnya. Lelaki itu hanya menyeringai sebagai tanggapan. “Aku serius.” “Hm, jam berapa ini?” Ratna menoleh untuk melihat jam di atas nakas. “Jam empat lewat sepuluh menit.” “Kalau kau berjanji kembali ke sini setelah urusanmu di kamar mandi selesai, aku akan melepaskanmu.” Wanita itu mendengus kesal namun menuruti permintaan Freddy. “Baiklah, aku berjanji. Sekarang tolong minggir.” Dengan berat hati Freddy mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Begitu Ratna turun dari ranjang dan pintu kamar mandi tertutup, mata lelaki itu terbuka lebar. Kejadian semalam membanjiri benaknya hingga ia tidak bisa terlelap lagi. Baru jam sembilan malam Gabriel bisa datang. Freddy sudah memindahkan Ratna ke kamarnya karena kondisi kamar Ratna seperti habis diterjang badai. Menurut Gabriel Ratna tidak mengalami luka secara fisik. Suatu perasaan aneh merayapi hati Freddy ketika mengingat saran adiknya. “Sepertinya wanita ini mengalami trauma yang serius. Aku tidak paham tentang ini karena bukan bidangku. Sebaiknya kau membawanya ke psikiater.” Kondisi Ratna membuat insomnia Freddy kambuh. Instingnya sebagai polisi mulai bekerja. Seolah memecahkan sebuah kasus rumit, lelaki itu tidak bisa tidur karena mencoba merangkai segala peristiwa. Namun kenyataan membuatnya tersadar. Dia sama sekali tidak mengetahui kehidupan wanita yang telah mencuri perhatiannya sejak pertama kali Freddy melihatnya. Sisi ranjang di sebelah Freddy melesak pelan. Freddy menoleh menatap Ratna yang sedang duduk di sisi ranjang. Pandangan wanita itu menyapu seluruh penjuru kamar. “Kau bersikap seperti baru pertama kali masuk ke kamarku.” Freddy menyeringai mengingat dirinya sering menggunakan berbagai alasan agar Ratna mau menyuapinya di ranjang. “Sebaiknya aku segera bersiap ke kantor. Ada rapat penting pagi ini.” Bibir Freddy melekuk membentuk senyuman. “Rapat di sabtu pagi?” Punggung Ratna tampak menegang. Freddy yakin wajah wanita itu pasti memerah karena ketahuan berbohong. Dia pasti kebingungan mencari alasan untuk menghindarinya. “Ah, benarkah?” wanita itu terdengar gugup. “Kupikir hari ini senin.” Freddy terkekeh. Salah satu tangannya yang tidak dibalut perban meraih lengan Ratna lalu menariknya. Ratna yang tidak siap dengan gerakan Freddy memekik kaget ketika tubuhnya jatuh di atas tubuh Freddy. Dengan sigap Freddy mendekap tubuh Ratna sebelum wanita itu menjauh. “Kumohon, berhentilah berpikir dan nikmati saja.” Ratna terdiam mendengar nada suara Freddy. Bukan gombalan seperti yang biasa dilontarkan lelaki itu. Namun sebuah permintaan yang tulus. Dengan ragu Ratna merebahkan kepalanya di d**a bidang Freddy yang hanya memakai T-Shirt navy polos. Tangannya yang tadi digunakan untuk mendorong d**a lelaki itu kini berubah melingkari pinggangnya. Ratna memejamkan mata dan mencoba menyerap perasaan nyaman dalam pelukan polisi sinting yang selama ini selalu menggodanya. “Jangan salah paham. Hanya saja, berada dalam pelukanmu mengingatkanku pada seseorang.” “Kakakmu?” ingatan Freddy melayang pada kejadian semalam ketika Ratna berkali-kali memanggil kakaknya dalam tidur. “Kakak?” Ratna mengerutkan kening mencoba mengingat semua kakaknya di panti Kurnia. “Rasanya tidak. Kakak-kakakku tidak ada yang pernah memelukku seperti ini.” Freddy mencoba bersikap biasa meski insting polisinya mulai bangkit untuk mengorek informasi. “Kedengarannya kau seperti memiliki banyak kakak.” “Sangat banyak.” “Memangnya ibumu tidak ikut KB?” Ratna tidak bisa menahan tawanya. “Aku besar di panti asuhan.” Deg. Perasaan aneh itu lagi. Jantungnya seperti diremas ketika bayangan Ratna kecil yang memeluk boneka di salah satu lengannya harus tinggal berdesakan di rumah panti yang sempit. Ada perasaan marah juga yang ditujukan pada orang tua Ratna yang tega membuangnya. Tanpa sadar Freddy mempererat pelukan. “Jadi kau tidak tahu tentang keluargamu?” “Semua orang di panti adalah keluargaku.” “Aku tahu kau mengerti maksudku.” Ratna tidak ingin menjawab pertanyaan Freddy. Bagaimanapun lelaki ini masih asing baginya. Dia belum percaya untuk membagi keluh kesahnya. Lagipula sudah bertahun-tahun Ratna berhenti bertanya-tanya tentang keluarga kandungnya. Mereka sama-sama terdiam selama beberapa saat. Jemari Freddy bergerak naik turun di punggung Ratna, membuat wanita itu perlahan kembali terlelap. Ratna mengerang ketika cahaya matahari menerpa wajahnya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk membuat dirinya terjaga. Cahaya yang menembus tirai menunjukkan hari sudah siang. Gerakan di dadanya membuat Ratna menunduk. Seketika matanya melebar melihat Freddy membenamkan wajah di dadanya. “Dasar m***m!” pekik Ratna sambil memukul pundak dan kepala Freddy. Ratna segera turun dari ranjang ketika lelaki itu mengerang sambil memegang kepalanya yang terkena hantaman kepalan tangan Ratna. Wanita itu terbelalak melihat pukulannya mengenai kening Freddy yang ditutup perban. Kekesalannya hilang berganti rasa bersalah. “Kenapa itu?” tanya Ratna sambil menunjuk kening Freddy. “Kapan kau terluka?” “Semalam kau melempariku dengan botol kaca. Sekarang kau malah menghajarku.” Keluh Freddy sambil kembali merebahkan diri di ranjang. “Ini salahmu. Ternyata kau bukan hanya polisi penggoda, tapi juga bule mesum.” Freddy menyeringai mendengar julukan yang diberikan Ratna untuknya. “Dan kapan aku melemparimu dengan botol kaca?” Mendadak lelaki itu bangkit duduk lalu menatap Ratna tajam. “Kau tidak ingat kejadian semalam?” Ratna meneguk ludahnya dengan gugup. Mungkinkah mereka . . .? “Ap, apa maksudmu? Jangan bilang kita sudah . . .” Ratna tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. “Kau benar-benar tidak ingat.” Ratna tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik pada ranjang. Walaupun ranjang itu kusut, namun tidak ada bercak darah disana. “Kau pasti memanfaatkan situasi. Aku tidak mungkin menyerahkan diri begitu saja padamu.” Freddy berdiri menjulang di hadapan Ratna membuat wanita itu harus menongak untuk menatap mata abu-abu itu. Lelaki itu berkacak pinggang menatap Ratna dengan satu alis yang terangkat. “Kau bilang aku m***m. Ternyata otakmu yang sangat kotor.” Ujar Freddy sambil mengetuk pelan kening Ratna dengan buku jarinya. Mendadak Freddy menggenggam jemari Ratna lalu membawanya keluar kamar. Lelaki itu membawa Ratna ke kamarnya yang dipisahkan balkon lantai dua dari kamar utama. Wanita itu tercekat melihat kekacauan yang terjadi di kamar itu. “Apa yang terjadi di kamar ini?” Freddy terdiam memperhatikan raut wajah Ratna. Dia tampak benar-benar bingung. Freddy jadi ragu untuk menceritakan kejadian semalam. Perlahan lelaki itu kembali menutup pintu ketika Ratna mencoba masuk. “Sebaiknya jangan masuk dulu. Ada banyak pecahan kaca di lantai.” “Aku bisa membersihkannya. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi?” “Nanti kuceritakan.” Sahut Freddy sambil berjalan ke dapur mendahului Ratna. Otaknya berputar mencari bahan pembicaraan untuk mengalihkan perhatian Ratna. Senyum nakal tersungging di bibirnya ketika sebuah ide melintas. “Sepertinya kita harus berbagi ranjang selama beberapa hari. Kau tidak boleh memasuki kamar itu sebelum pengurus rumah tangga yang biasa datang dua kali seminggu membersihkannya.” Ratna mendengus kesal sambil menatap Freddy yang kini menuang s**u ke panci lalu memanaskannya di atas kompor. “Bukankah masih ada kamar tamu? Aku juga perlu mengambil barang-barangku di kamar itu terutama pakaian ganti.” Ratna menunduk menatap sweater yang dikenakannya. “Sepertinya sweater ini bukan milikku. Aku juga tidak ingat ketika memakainya.” Tubuh Freddy menegang. Dia menggelengkan kepala pelan untuk mengenyahkan bayangan tubuh Ratna yang hanya berbalut pakaian dalam. Freddy terpaksa mengganti pakaian kerja Ratna yang sudah kusut. Wanita itu gelisah dalam tidurnya karena pakaian yang tidak cocok untuk tidur. “Bantu aku untuk menata makanan ini di meja.” Freddy berusaha mengalihkan perhatian Ratna. Ratna mengambil dua gelas s**u lalu membawanya ke meja makan di sebelah meja konter dapur. Dia kembali untuk membawa dua piring sandwich. “Sandwich ala chef Freddy Keegan.” Pekik Ratna sambil bertepuk tangan setelah meletakkan kedua piring di atas meja. “Ini pertama kalinya kau membuatkanku sarapan.” Freddy meletakkan keranjang buah berisi apel di tengah meja. “Ini semua demi darlingku. Meskipun rasa ngilu kembali terasa di lengan kiriku, aku akan tetap melakukannya demi menyenangkan darlingku.” Ratna berdecak sambil duduk diikuti Freddy. “Kedengarannya seperti kau akan memerasku lagi.” “Kapan aku melakukan itu? Tapi kalau kau tidak keberatan, tolong pijatkan lenganku setelah pulang dari pesta nanti.” “Kalau aku keberatan?” “Sepertinya kondisi lenganku akan memburuk. Mungkin kau tidak bisa masuk kerja lagi karena harus menjagaku dua puluh empat jam.” Freddy memasang tampang memelas. Ratna hanya menggelengkan kepala karena tingkah Freddy yang menurutnya kekanakan. Dia mulai menikmati sandwich buatan Freddy yang ternyata sangat lezat. “Aku serius tidak ingin datang ke pesta itu. Lagipula aku tidak punya gaun yang sesuai. Dan kau sudah lihat sendiri peralatan make-upku hancur.” “Oh, aku lupa mengatakan kalau tadi pagi teman kantormu, Devi, menelepon. Katanya mereka akan menjemputmu untuk berbelanja.” Ratna menatap Freddy garang. “Lagi-lagi kau menyentuh ponselku. Kuharap kau tidak mengatakan hal aneh padanya. Kukira ponselku sudah ikut hancur dalam kamar itu.” “Tas kantor yang kemarin kau gunakan masih selamat.” Freddy memasang tampang polos. “Aku hanya mengatakan bahwa sekarang kau tinggal bersamaku karena dia bilang akan menjemput. Jadi kuberikan saja alamat rumah ini.” “Kenapa wajahmu malah terlihat mencurigakan?” Ratna memasukkan jari telunjuk dan ibu jarinya bergantian ke dalam mulut untuk membersihkan lelehan saus. “Aku masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu dan bagaimana aku bisa berakhir di kamarmu.” Rahang Freddy menegang. Pandangannya terpaku pada bibir mungil Ratna yang sedang mengulum jemarinya. Gairah yang mati-matian ditahannya sejak melepaskan pakaian Ratna semalam kini kembali bangkit. Dengan kaku Freddy meraih pergelangan tangan Ratna, menjauhkan jemari sialan itu dari bibirnya. “Hentikan! Itu menjijikkan.” Freddy berdehem sejenak karena suaranya berubah serak. “Kau tidak lihat aku masih makan? Kau membuatku kehilangan nafsu makan.” Malah membangkitkan nafsu yang lain, lanjut Freddy dalam hati. Ratna mencibir sambil menarik tangannya dari genggaman Freddy. “Baiklah, maaf. Jam berapa Devi akan menjemputku?” Freddy menahan seringainya. Ternyata wanita satu ini gampang sekali dialihkan perhatiannya. “Jam sebelas siang.” “Jadi aku masih punya waktu sekitar,” Ratna menoleh pada jam di atas meja konter. “lima belas menit??” tanpa sadar Ratna menjeritkan pertanyaannya. “Kenapa tidak mengatakannya dari tadi? Tidak ada pakaian yang bisa kukenakan. Kalau kau tidak mengijinkanku masuk ke kamar itu, bisa-bisa aku pergi belanja dalam keadaan telanjang bulat.” Lelaki itu tersenyum lebar ketika membayangkan Ratna mengelilingi pusat perbelanjaan tanpa sehelai benangpun. “Ide bagus.” Dia meringis ketika Ratna melotot. “Tapi tidak. Jangan lakukan. Hanya aku yang boleh melihatmu telanjang.” “Kau . . .” “Aku masih punya banyak sweater semacam itu dan beberapa celana jins pendek. Mungkin kau bisa menemukan yang cocok untukmu.” Freddy bangkit sambil membawa piring dan gelas kotor mereka ke wastafel untuk cuci piring. Lelaki itu menoleh ketika tidak ada tanggapan. Ternyata Ratna sudah meninggalkan dapur. Setelah urusan dapur selesai, Freddy memilih menuju balkon yang menghadap halaman depan lalu menghempaskan diri di salah satu sofa dengan santai. Mata abu-abu lelaki itu menyipit memperhatikan sebuah mobil hitam terparkir di bawah pohon besar di tikungan jalan menuju rumahnya. Bagi orang biasa, tidak ada yang aneh dengan hal itu. Tapi sebagai polisi yang sudah berpengalaman mengawasi target, ada yang terasa janggal dengan keberadaan mobil itu. “Bagaimana menurutmu penampilanku?” Freddy berbalik menatap Ratna yang sedang berdiri beberapa meter di belakang sofa. Rambut panjangnya diikat ekor kuda. Dia memakai kemeja abu-abu milik Freddy. Lengan panjangnya digulung hingga siku. Ujung kemeja yang pasti sampai paha Ratna dimasukkan ke dalam celana jins pendek, lalu dipadukan dengan sabuk. Lelaki itu mengernyit menatap celana jins selutut dan sepatu kets yang terlihat pas dikenakan Ratna. “Dimana kau menemukan celana dan sepatu itu? Kalau tidak salah aku sudah membuangnya beberapa tahun yang lalu.” “Kurasa celana dan sepatu ini sedang menunggu pemilik sejatinya.” Jelas Ratna sambil menyeringai. “Jadi bagaimana menurutmu?” Freddy menahan senyumnya melihat wajah Ratna yang berubah cerah. “Ada yang kurang.” Lelaki itu bangkit lalu berdiri di hadapan Ratna yang mendongak menatap matanya. Tanpa peringatan dia membungkuk lalu mengecup ringan bibir Ratna, membuat wanita itu tertegun. “Apa yang kau lakukan?” Mendadak suara klakson mobil terdengar dari jalanan di depan rumah. “Mungkin itu temanmu.” Freddy menyerahkan kartu kredit ke tangan Ratna. “Aku ingin kau menggunakan ini.” “Kau percaya padaku untuk menggunakan kartu ini?” Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum. Tangannya yang tidak dibalut perban terangkat lalu membelai ringan pipi Ratna. “Pergilah. Hati-hati di jalan.” Pipi Ratna merona karena sikap lembut Freddy. “Aku tidak akan pura-pura menolak pemberianmu.” Buru-buru Ratna berbalik lalu melesat keluar rumah agar Freddy tidak mendengar suara jantungnya yang bergemuruh. Sepertinya bersama Freddy si polisi penggoda lebih aman bagi kesehatan jantungnya daripada pria yang tadi. Freddy bergegas menuju balkon. Dia bersandar di salah satu pilar penyangga agar bisa mengawasi aktifitas di bawah dengan leluasa namun orang di bawah tidak bisa melihat dirinya. Ratna tertawa ketika mendengar ocehan wanita yang menjulurkan kepalanya dari kursi depan sebelum masuk ke dalam mobil putih itu. Jantung Freddy berdegup lebih cepat menanti reaksi mobil hitam yang masih terparkir di bawah pohon. Lima belas detik dalam hitungan Freddy berlalu setelah mobil yang ditumpangi Ratna melaju, lalu mobil hitam itu mulai bergerak ke arah perginya mobil putih. “s**t!” umpat Freddy sambil bergegas turun menuju garasi.                              --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN