Dinda berlari meninggalkan bangsal tempat Magdalena dirawat. Dadanya terasa sesak hingga sulit bernafas.
"Dinda!!" seru Aryo. Ia berlari mengejar sang istri.
Dinda baru saja berbelok ke salah satu lorong, tetapi tubuhnya menabrak seseorang hingga terjengkang di lantai.
"Maaf.. Aku tak sengaja.." Pria yang menabrak Dinda segera berjongkok untuk membantunya berdiri.
"Saya yang tidak--melihat--jalan, " jawab Dinda dengan wajah tertunduk.
"Dinda?" tanya pria tersebut sambil memiringkan kepala seolah memastikan bahwa ia mengenal wanita yang baru saja menabraknya.
Adinda mendongak. Ia begitu terkesiap menyadari siapa pria yang baru saja ditabraknya.
"Pak Bagas.." lirih Dinda. Ia segera berpaling menyembunyikan wajahnya dari ayah Kevin tersebut.
"Hei, Apa-- yang Kau lakukan disini?" tanya Bagas penasaran. Penampilan Dinda terlihat kacau. Apalagi wanita itu terus mencengkeram dadanya.
Dinda hanya menggeleng. Ia tampak membuka mulut untuk bicara, tetapi kembali menutupnya. Dinda benar-benar berbeda. Sore tadi wanita muda itu masih terlihat ceria.
Sementara itu, Aryo menghentikan langkah kakinya ketika menyadari siapa sosok yang kini berjongkok di depan istrinya.
"Bagaimana mungkin pak Bagas mengenal Dinda?" tanya Aryo dalam hati ketika mendengar Bagas menyebutkan nama Dinda.
"Dinda? Maaf--apa yang terjadi? Apakah keluargamu ada yang dirawat disini?" tanya Bagas lagi.
Kali ini Dinda kembali membuka mulut untuk menjawab, tetapi Aryo segera berlari ke arahnya.
"Dinda? Kau baik-baik saja??"
Aryo merangkul bahu Dinda. Bagas menatap heran pada Aryo.
"Aryo?" tanyanya.
"Pak Bagas.." Aryo menunduk hormat.
"Kalian-- saling mengenal?" tanya Bagas dengan jari mengarah pada Dinda dan juga Aryo.
"Dia istri saya, Pak."
"Oh," jawab Bagas.
"Sayang.. Perkenalkan ini pak Bagas. Beliau atasanku di kantor," kata Aryo. Ia berbicara seolah tak pernah terjadi apapun. Dinda justru merasa Aryo sengaja memintanya untuk menjaga sikap di depan Bagas.
Dinda membuang muka.
"Oh, Kau mencoba bersikap manis padaku di depan atasanmu! Kau pasti takut ketahuan, kan?!" batin Dinda. Matanya terpejam menahan rasa sakit bagai teriris sembilu.
Aryo memapah tubuh Dinda untuk berdiri. Dinda ingin sekali menepis tangan Aryo, tetapi terhalang oleh Bagas yang terus memperhatikan keduanya.
"Emm-- Maaf sudah membuatmu jatuh Din, Apa Kau berlari untuk menghindari sesuatu?" tanya Bagas, tatapannya tak beralih dari Adinda.
Dinda merasakan tangan Aryo menekan semakin erat bahunya. Dinda menarik nafas panjang.
"Tidak Pak, saya hanya teringat belum--mematikan kompor di rumah," jawab Dinda asal. Mendengar hal itu membuat Aryo tersenyum simpul.
"Oh, begitu ya," Bagas mangguk-mangguk.
Aryo segera berpamit dari Bagas. Namun, ketika keduanya sudah berlalu dan mengantre di depan lift, Bagas kembali memanggilnya.
"Aryo, Bagaimana keadaan Magdalena?"
Deg.
Dinda merasakan tangan Aryo mulai bergetar. Perlahan Dinda mengendikkan bahunya supaya lengan Aryo terlepas dari tubuhnya. Mendengar nama Lena kontan membuatnya risih.
Aryo menoleh sambil tersenyum canggung.
"Dia--- baik-baik saja Pak, sudah dirawat dan masih menunggu--observasi."
"Syukurlah.. Oke, hati-hati di jalan Kalian berdua," kata Bagas.
Aryo mengangguk sedangkan Dinda sama sekali tak menanggapi ucapan Bagas.
Bagas merasa ada sesuatu yang membuat Dinda sangat berbeda kali ini, tetapi Bagas mengabaikan hal tersebut. Ia tak mungkin ikut campur dengan urusan orang lain.
Sesampainya di luar gedung rumah sakit, Dinda berjalan ke arah lain alih-alih mengikuti Aryo menuju mobilnya
"Dinda! tolong dengarkan penjelasan Mas!" tahan Aryo.
"Tak ada lagi yang perlu dijelaskan, Mas! Aku sudah melihat dan mendengar semuanya!"
"Tapi itu tak sepenuhnya benar Din," Aryo mencoba membela diri.
"Tapi tetap saja Mas Aryo sudah tidur--" Dinda tak meneruskan kalimatnya, air mata yang ia tahan tak bisa dibendung lagi.
"Din, aku mabuk. Aku tak sadar melakukan hal itu!" terang Aryo. Ia memegang erat kedua bahu Dinda.
Aryo menyesal telah menyakiti istrinya. Namun, ia bingung sebab otaknya tak bisa beralih begitu saja dari Magdalena.
Ia tahu betul sekretarisnya itu tak memiliki keluarga di Jakarta. Aryo berada dalam dilema besar. Ia tak tega meninggalkan Magdalena, akan tetapi dirinya juga tak mungkin membiarkan Dinda. Kembali pada Magdalena akan membuat Dinda makin tersakiti.
"Dinda... Saat itu mas benar-benar dalam pengaruh alkohol," terang Aryo lagi. Dinda menggeleng.
"Baik-- Katakanlah mas Aryo mabuk saat itu. Lalu-- bagaimana mas akan menjelaskan ciuman yang--Kalian lakukan berkali-kali?!!" teriak Dinda sembari memukuli tubuh Aryo.
Aryo terdiam. Mulutnya tertutup rapat, ia hanya bisa membiarkan tubuhnya dihujam pukulan tangan Dinda puluhan kali. Jika itu bisa membuat Dinda lega, maka Aryo pantas mendapatkannya.
Lambat laun Dinda kelelahan dan gerakannya mulai melemah. Aryo segera merengkuh tubuh Dinda ke dalam pelukannya.
"Maafkan Mas Din... Aku akan menebus semua kesalahan yang sudah aku lakukan. Tak seharusnya aku terjerumus dalam--permainan Magdalena," ungkap Aryo.
"Yah! Aku tak akan goyah jika saja Lena tak terus- terusan menggodaku," batin Aryo. Ia masih bersikeras bahwa dirinya adalah korban.
Meski demikian, Aryo tak bisa memungkiri bahwa ia pun menikmati apa yang ia lakukan dengan Magdalena selama ini. Entah itu ciuman, cumbuan, dan... hubungan bad@n.
Aryo memang hanya melakukannya sekali dengan Lena, itupun dalam pengaruh obat yang sengaja Lena masukkan ke dalam minuman Aryo tanpa sepengetahuannya.
Meskipun Aryo tak begitu mengingat kejadian itu, tetapi ia masih sangat sadar ketika membawa Lena ke salah satu kamar hotel di daerah Bogor tepat di hari mereka menjamu klien.
Aryo mengusap punggung Dinda.
"Ayo kita pulang.."
Perlahan ia memapah tubuh Dinda untuk masuk ke dalam mobil. Ia menepis bayangan dan juga kekhawatirannya pada Lena demi menjaga perasaan istrinya.
___________________________________
Aryo menatap wajah Dinda yang terlelap di sampingnya. Mata Dinda sembab. Lebih dari dua jam Dinda menangis. Aryo tak bisa berbuat apa-apa kecuali membiarkan istrinya itu hingga tenang dan akhirnya terlelap.
Aryo mengangkat telapak tangannya. Ia menyentuh wajah Dinda.
Terasa hangat.
Dengkuran halus terdengar. Aryo yakin istrinya itu sudah tertidur pulas. Perlahan ia beranjak bangun dari ranjang.
Aryo meraih ponsel di atas nakas kemudian berjingkat keluar dari kamar.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Aryo melalui sambungan telepon.
"Dokter memintanya untuk berpuasa Pak. Besok pagi akan dilakukan CT Scan," jawab suara dari seberang.
"Baik. Terus pantau keadaannya. Jangan pernah menghubungiku kecuali aku yang menelpon mu. Lakukan seperti apa yang aku minta!"
"Baik Pak. Tapi--- sejak tadi dia terus menangis. Emosinya sempat tidak stabil dan terus berusaha untuk melukai diri,"
Aryo terdiam. Ia tahu Lena pun pasti kecewa padanya.
"Sampaikan maaf ku padanya. Aku tak tahu kapan bisa--- mengunjunginya," lirih Aryo mengakhiri sambungan telepon.
Ia menarik nafas panjang. Pada akhirnya Aryo tetap tak bisa membiarkan Lena. Dia merasa bertanggungjawab sebab dialah penyebab kecelakaan yang terjadi pada sekretarisnya itu.
Andai saja Aryo mau memberikan sedikit perhatian pada Lena, sekretarisnya itu tak akan nekat melukai diri dengan berlari ke arah mobilnya.
Aryo membuka pintu kamar. Aryo terpaku di ambang pintu. Terlihat Dinda masih tertidur dengan posisi yang sama. Menatap Dinda membuat Aryo merasa iba, tetapi Ia pun merasakan hal yang sama setiap kali teringat akan keadaan Magdalena di rumah sakit.
Sekuat apapun Aryo mencoba, nyatanya bayangan Magdalena selalu muncul dan mengganggu pikirannya. Saking khawatirnya, Aryo bahkan rela membayar seseorang untuk menjaga Lena di rumah sakit.
Aryo menghembuskan nafas panjang.
"Apakah aku mulai-- mencintai wanita itu?" tanya Aryo dalam hati.
Next▶️