Dinda kembali menyedot es jeruk yang ia pesan. Sudah hampir setengah jam ia duduk di kantin tak jauh dari tempat Aryo bekerja. Namun, seseorang yang ia tunggu belum juga muncul.
Dinda kembali mengecek ponselnya, beberapa kali ia berniat untuk menghubungi Lena, tetapi mengurungkannya.
"Mbak, jadi pesan makanan tidak?" tanya salah satu pelayan kantin.
Dinda menatap berkeliling. Pantas saja si pelayan terus menanyainya sebab keadaan kantin saat ini lumayan ramai. Merasa tak nyaman karena terus ditatap oleh si pelayan, Dinda memilih membayar minumannya lalu pergi. Ia berfikir mungkin Lena tengah sibuk sehingga tak sempat mengabarinya.
Dinda baru saja mulai mengetik pesan untuk Lena tepat ketika ada sebuah pesan masuk.
Lena :
[Sorry Din.. Mendadak aku harus menemui klien, kita bicara lain waktu ya?]
Dinda segera membalas pesan dari Lena. Meski sudah terlanjur tiba di kantin bahkan sudah menunggu cukup lama, Dinda sama sekali tidak marah. Ia memaklumi kesibukan temannya itu.
"Hem.. Sekarang kemana ya?" gumam Dinda.
Ia berjalan menuju halte, sesaat kemudian ponselnya kembali berdering.
"Halo , Mas Aryo.." sapa Dinda.
"Dinda, Kamu dimana?" tanya Aryo dari seberang.
"Aku-- mau belanja Mas. Ada apa?"
Dinda menoleh ke kanan dan kiri. Bukan tidak mungkin Aryo melihatnya berada di sekitar kantor.
"Din, Hari ini mas pulang telat. Ada meeting dengan klien,"
"Meeting dimana Mas?" tanya Dinda seperti biasanya.
"Di Bogor."
"Oh. Tapi nanti malam Mas Aryo bisa datang ke tempat Mama kan?!" tanya Dinda sedikit khawatir.
"Tentu. Kamu duluan ke rumah Mama, nanti Mas nyusul setelah meeting selesai,"
Dinda mengiyakan bersamaan dengan berakhirnya sambungan telepon keduanya.
Dinda lantas menurunkan lengannya dengan lunglai. Pagi tadi Yanti menghubungi Aryo, mertuanya itu meminta keduanya kembali datang ke rumah untuk mengganti makan malam semalam.
Tak masalah bagi Dinda untuk berkunjung ke rumah Yanti jika bersama Aryo. Namun, Dinda harus datang sendiri malam ini. Ia terlalu takut dan belum siap jika harus kembali mendengar hinaan dari mulut mertuanya.
"Fuhh!!" Dinda menghembuskan nafas kasar. Matanya kembali menatap jalanan yang terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan.
Beberapa saat kemudian sebuah mobil yang tak asing bagi Dinda terlihat keluar dari area kantor.
"Mas Aryo.." lirih Dinda. Cepat-cepat ia menyembunyikan wajahnya ketika mobil yang dikemudikan Aryo melintas di depan Dinda. Tampak jelas Magdalena duduk pada kursi di sebelah Aryo.
Hati Dinda mencelos. Bukan hal aneh jika manager dan sekretarisnya berada dalam satu mobil. Namun, entah mengapa sejak kejadian semalam perasaan Dinda menjadi tidak tenang.
Bukan masalah cemburu pada Lena, tetapi Dinda hanya merasa sakit hati saat mengingat Yanti lebih memuji Lena dan menjatuhkannya di depan umum.
Dinda hanya bisa menghela nafas. Sampai detik ini tak sekalipun Dinda mencurigai Lena, justru dengan adanya Lena, Dinda merasa bisa mendapatkan info tentang keseharian suaminya di kantor.
Dinda sangat mempercayai Magdalena, wanita yang sudah dikenalnya sejak lima tahun yang lalu.
***
Dinda menyantap makanannya dengan perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tetapi Aryo masih belum juga mengabarinya. Terakhir kali Aryo membalas pesannya sekitar satu jam yang lalu.
Anehnya, malam ini Yanti sedikit lebih ramah dibanding hari-hari sebelumnya. Mertuanya itu bahkan menawarkan pekerjaan padanya. Entah apa tujuan Yanti, tetapi mertuanya itu berdalih mencarikan kesibukan untuk Dinda.
"Tetangga Mama lagi nyari asisten harian buat nemenin cucunya. Bayarannya lumayanlah," kata Yanti di sela makan malam mereka.
"Siapa Ma?" tanya Hendra.
"Nyonya Darmawan, Pa.. Putranya baru saja dipindahtugaskan ke cabang baru, jadi cucunya sering dititipin ke rumah Nyonya Darmawan,"
"Oh, putra yang katanya sudah cerai itu?" tanya Hendra.
"Bener!"
Hendra mangguk-mangguk.
"Bu Darmawan orangnya baik. Kalau papa sih setuju. Itung-itung sebagai persiapan sebelum Kalian punya momongan nantinya," lanjut Hendra sembari menatap ke arah Dinda. Sedang Yanti tersenyum kecut ke arahnya.
"Setidaknya Kamu punya penghasilan sendiri. Wanita itu harus mandiri, nggak cuma bisa bergantung sama laki!" sindir Yanti ketus.
Dinda menahan nafas ketika lagi-lagi mendengar Yanti menganggapnya sebagai beban keluarga.
"Mama kira Aryo keberatan membiayai hidup Dinda?!" sela Hendra. "Dia pria mapan. Tanpa Dinda bekerja pun Aryo bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Lagipula selama ini Mama juga nggak bekerja kan?! Lihat! Papa bisa mencukupi kebutuhan Kalian!" sergah Hendra.
Kontan wajah Yanti merah padam karena merasa dipojokkan oleh suaminya sendiri. Sementara itu, Dinda tersenyum tipis. Puas sekali melihat ekspresi mertua menyebalkan nya itu.
"Tapi kita hidup di jaman yang berbeda Pa! jaman sekarang semuanya mahal, nggak bisa cuma ngandelin pendapatan dari satu pintu aja. Lagian Dinda juga belum bisa punya anak! nggak ada yang diurus! betah banget jadi pengangguran!" Yanti menyeringai penuh ejek ke arah Dinda.
"Yah.. Itu kan pemikiran mama, tapi keputusan tetap kita serahkan pada Dinda dan Aryo," jawab Hendra menengahi.
"Sebenarnya Saya sudah mendaftar jadi pengasuh di Cinta Daycare, Pa.. Minggu depan saya mulai bekerja," kata Dinda.
"Benarkah? bagus Din. Bukannya itu salah satu daycare ternama di sini? Papa yakin selain mendapatkan pengalaman, Kamu juga mendapatkan gaji yang layak," seru Hendra.
"Iya Pa.."
Mendengar tanggapan Hendra pada Dinda membuat Yanti memiringkan bibirnya. Ia melirik kesal ke arah Dinda sebelum kembali melanjutkan makan.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit ketika Dinda akhirnya memilih untuk pulang. Aryo baru saja mengabarinya bahwa malam ini ia pulang larut sebab setelah meeting masih ada acara makan malam bersama tim.
Dinda menyandarkan kepalanya pada punggung kursi. Ia menatap kerlip lampu dari jendela taksi yang mengantarnya pulang. Jarinya bergerak menurunkan kaca membuat sepoi angin menerpa wajah cantiknya.
Taksi berhenti di lampu merah. Dinda masih menatap ke luar, tak sengaja matanya melihat mobil Aryo melintas dari arah berlawanan. Di sampingnya tampak seorang wanita duduk bersandar pada punggung kursi.
Deg.
"Mas Aryo?!"
"Siapa wanita yang bersamamu?" tanya Dinda dalam hati.
Ia terus memperhatikan mobil Aryo dengan jantung berdegup kencang.
"Pak, bisa putar balik??" tanya Dinda.
"Sekarang Non? Kemana?"
"Sekarang Pak, kita ikuti Toyota camry silver itu!" perintah Dinda sembari menunjuk mobil Aryo yang makin menjauh.
Driver memutar balik mobilnya ke arah yang Dinda tunjuk. Dengan perasaan tak karuan Dinda terus membuntuti mobil Aryo. Ia sengaja meminta menjaga jarak beberapa meter di belakang Aryo.
"Kau mau kemana Mas? Kau bilang masih ada acara di Bogor, tetapi mengapa Kau sudah tiba di Jakarta?"
"Jika Kau sudah tiba di Jakarta bukankah seharusnya Kau menjemputku di rumah orangtuamu?"
Dinda merogoh ponselnya di dalam tas. Ia mencari kontak Lena untuk menanyakan keberadaan Aryo.
[Lena, Apa Kau masih bersama mas Aryo? Kira-kira jam berapa acara selesai?]
Pesan untuk Lena baru saja terkirim ketika mobil Aryo berbelok ke arah lain.
"Cepet Pak! Jangan sampai kehilangan mobil itu!" kata Dinda.
Ia memainkan buku-buku jarinya dengan gelisah.
"Kemana Kau sebenarnya Mas? Mengapa rasanya tak asing dengan jalanan ini?"
Dinda menatap ke kanan dan kirinya, ia berusaha mengingat ingat jalanan yang tampak tak asing.
"Mobilnya berhenti Non," kata si driver.
"Berhenti disini pak, matikan lampunya. Kita tunggu sebentar," pinta Dinda.
Dinda mengamati mobil Aryo yang berhenti di depan sebuah rumah minimalis di kawasan elit.
"Bukankah Ini---"
Aryo keluar dari mobil, ia membuka pintu di sampingnya dan mulai memapah seseorang yang sangat Dinda kenal.
"Lena.." lirih Dinda.
Aryo melingkarkan lengan Lena ke lehernya. Ia memapah Lena memasuki gerbang. Lena terlihat lemah dengan tangan memegangi perut.
Dinda terus mengamati dua insan tersebut dengan perasaan tak karuan.
"Tunggu sebentar Pak. Saya--- turun sebentar," Dinda menyentuh gagang pintu.
"Non? Maaf-- Apa Anda yakin?" tanya si driver. Sepertinya ia tahu apa yang tengah dialami oleh pelanggannya.
"Saya hanya ingin-- memastikan saja Pak," lirih Dinda dengan suara bergetar.
Ia menarik nafas sebelum nekat keluar dari taksi. Kakinya berjalan pelan menuju rumah Lena. Pintu masih terbuka. Dinda bersembunyi di balik pagar. Ia ragu untuk melangkah.
"Tunggu Din.. Jangan gegabah! Mungkin mas Aryo hanya-- mengantar Lena. Bukankah dia tadi terlihat tak sehat? mungkin saja Lena sedang sakit."
"Tapi mengapa harus Mas Aryo yang mengantar?? bukankah ada staff lain selain suaminya??"
"Tunggu Mas!"
Dinda bergeser ketika mendengar suara Lena. Gadis itu terlihat menahan lengan suaminya.
"Maaf Lena, aku harus pulang. Kamu-- istirahatlah.." jawab Aryo.
"Makasih untuk hari ini Mas... Makasih udah nemenin aku, menghibur aku di saat aku terpuruk. Tanpa Mas Aryo aku mungkin udah ngelakuin hal berbahaya," ucap Lena.
Magdalena mendekat kemudian memeluk Aryo.
"Lena..Kita--tak boleh seperti ini." Aryo melepaskan pelukan Lena.
Magdalena tersenyum.
"Aku pulang dulu. Dinda sudah menungguku di rumah," pamit Aryo.
"Sekali lagi makasih Mas. Aku senang sekali. Aku harap lain kali kita berdua bisa mengunjungi tempat itu lagi,"
Aryo tak menjawab. Ia hanya menatap Lena dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Dinda bergegas kembali ke taksi sebelum Aryo memergokinya.
Hatinya hancur mendengar apa yang Lena ucapkan. Mengapa Lena tiba-tiba memanggil suaminya dengan sebutan : Mas Aryo??
Dan kemana mereka berdua pergi hari ini? Apa yang terjadi pada Lena sehingga Aryo menghiburnya?
"Apa Kau menyembunyikan sesuatu di belakangku Mas?"
"Kita jalan Pak!" perintah Dinda ketika melihat mobil Aryo mulai menjauh.
Ponsel Dinda bergetar. Sebuah pesan dari Lena baru saja masuk.
Lena :
[Sorry Din, aku nggak enak badan, jadi pulang duluan sore tadi. Pak Aryo masih ada acara makan malam dengan klien. Mungkin dia bakal pulang terlambat]
"Bullshit!!!" umpat Dinda. Ia meremas ponselnya dengan amarah tertahan.
"Kau pembohong, Lena!!"
Next▶️