09 - Fairy Tale

1014 Kata
Takdir memang tidak pernah bisa ditebak, dia bisa saja datang dengan sebuah kejutan yang menyenangkan. Dan terkadang, dia juga bisa datang dengan sebuah kejutan yang menyakitkan. ∞   Vancouver, Canada.  Bulan Mei tahun ini, Canada dilanda oleh musim semi—khususnya di perkotaan Vancouver. Musim semi yang membuat daun-daun maple tampak berwarna hijau cerah, menunggu gugur untuk kemudian menguning lalu berganti peran dengan dedaunan yang baru. Menjalani kehidupan selama tiga tahun di kota ini, tentu membuat Mark menjadi paham tentang segalanya. Sifat orang-orang di sini, cita rasa makanan, bahkan tempat-tempat indah yang kebetulan salah satunya sedang dia kunjungi sekarang. Bersama dengan gadis kecil yang sering dia sebut dengan nama Raiz—atau yang memiliki nama asli sebagai Xiora, Mark menggandeng sebelah tangannya, menuju salah satu danau yang mengarah langsung pada perkotaan Vancouver. Danau ini menjadi salah satu tempat favorite yang sering Mark kunjungi, karena di sini adalah tempat terakhir dia bertemu dengan gadis itu, si pemilik nama Raiz yang asli. Ah, ya, memang sebelum tinggal di Canada, Mark sudah pernah mengunjungi negara ini, tapi itu sudah lama sekali, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. “Kak Mark, libur bekerja hari ini?” Raiz lebih dulu mendudukkan dirinya pada salah satu batu besar di pinggir danau, lalu menoleh pada Mark untuk menunggu jawaban. Setelah Mark selesai memposisikan dirinya untuk duduk pada batu di sebelah gadis kecil itu, Mark menjawab seraya terkekeh samar, “Mataku terlalu lelah untuk menerawang.” “Sebenarnya bagaimana cara Kak Mark bisa melihat semua masa depan mereka? Apa kejadian itu langsung muncul begitu saja seperti putaran film dalam bioskop, hanya ketika Kakak menggenggam tangan mereka?” Raiz bertanya lagi. Jangan heran, dia memang tipe gadis manis yang suka sekali bertanya. “Bukan seperti itu. Ketika aku menggenggam tangan seseorang, bukan berarti masa depan mereka akan langsung terlihat olehku.” Mark memalingkan wajahnya ke arah danau sebentar, sebelum kembali menatap Raiz yang berada di samping kanannya. “Ketika aku menggenggam tangan mereka, aku harus menggumamkan sebuah kalimat di dalam hatiku, baru semua kilasan tentang masa depan mereka akan terlihat—dan kamu benar, kilasan itu terlihat seperti putaran film dalam bioskop.” Mark tertawa kecil ketika selesai mengatakan kalimat terakhirnya. “Apa setiap hal yang Kakak lihat bisa di atur?” Mark mengangguk. “Sebelum mulai menerawang, aku pasti selalu bertanya, bagian mana dari masa depan mereka yang ingin dilihat. Sama seperti kamu yang selalu ingin diterawang tentang kemajuan hubunganmu dengan Aidera.” Raiz terbahak merasa malu sendiri karena Mark membahasnya. “Jangan bahas itu, aku malu,” ucapnya sambil tertunduk. Namun, tiba-tiba Raiz menengadah lagi, menatap Mark dengan binar matanya yang terlihat penuh harap. “Kak Mark, aku ingin tau kalimat apa yang selalu Kakak ucapkan ketika ingin menerawang masa depan seseorang, apakah boleh?” Sebuah senyum tipis tercetak di bibir Mark. “Boleh, tapi ada satu syarat.” Kedua mata Raiz semakin berbinar. “Apa?!” “Kamu harus mendengarkan dulu dongeng yang akan aku ceritakan.” Kalau hanya ini syaratnya, Raiz pasti akan menyanggupinya. Karena jujur saja, walaupun pemikirannya bisa terbilang dewasa, Raiz tetaplah seorang gadis kecil yang sangat suka bila diceritakan sebuah dongeng. Maka, tanpa pikir panjang dia langsung mengangguk cepat seraya berseru dengan sangat antusias. “Tentu! Aku akan mendengarkannya!” Keantusiasan yang ditunjukkan oleh Raiz membuat Mark menjadi gemas, tangannya terulur untuk mengacak rambut gadis kecil itu sekilas, membuat si pemilik rambut langsung mengerucutkan bibirnya dengan sebal. “Kak Mark, ih! Rambut aku jadi berantakan,” protesnya kesal. Mark mengabaikan seruan protes dari Raiz, dia justru melayangkan sebuah pertanyaan untuk gadis kecil itu. “Raiz, apa kamu suka Bintang?” “Bintang?” Raiz mengulang, dahinya berkerut samar, dia berpikir keras hanya untuk satu buah pertanyaan. “Aku enggak begitu paham tentang Bintang, tapi aku suka. Karena kadang aku juga suka baca ramalan zodiak harian. Tapi Kak Mark tenang aja, rasa sukaku tentang Bintang tentu enggak lebih besar dari rasa sukaku ke Kakak.” Mark sontak tertawa keras setelah mendengar kalimat rayuan yang terlontar dari bibir gadis kecil itu, setiap kali bertemu dengannya, pasti Raiz selalu melontarkan kalimat-kalimat seperti itu, seolah ingin meyakinkan Mark bahwa dia memang sesuka itu padanya. “Kalau untuk Aidera bagaimana? Apa kamu lebih menyukaiku daripada laki-laki itu?” Raiz tersenyum lebar, hingga gigi-giginya yang rapi tampak terlihat. “Kalau itu mah jangan ditanya, udah pasti jawabannya Aidera. Tapi Kak Mark, kenapa Kakak tanya soal Bintang ke aku?” Senyum yang semula terlukis indah di bibir Mark perlahan menghilang, laki-laki itu memalingkan wajahnya untuk menatap Danau. Dia akan memulai ceritanya. “Dongeng yang mau aku ceritain sekarang, itu tentang ... Bintang.” “Setiap manusia yang akan terlahir ke dunia pasti akan bertemu dengan-Nya tepat pada satu hari sebelum mereka lahir. Mereka akan membicarakan tentang takdir—takdir yang nantinya akan mereka dapatkan selama mereka hidup sebagai manusia. Dan takdir itu berupa harta, usia, dan yang lainnya. Tanpa sadar, sebelum mereka lahir ... mereka sebenarnya sudah lebih dulu mengetahui kapan mereka akan berpulang kembali. Tapi kenyataannya, setelah mereka benar-benar lahir, semua pembicaraan tentang takdir tidak akan terbawa pada kehidupan di Bumi, semua pembicaraan itu terlupakan... seolah-olah mereka tidak pernah membahas tentang itu sebelumnya.” “Tapi, apa kamu tau? Selain pembahasan tentang harta, usia, dan yang lainnya. Ada suatu hal penting yang diberitahu oleh-Nya kepada mereka untuk terakhir kali, sebelum akhirnya mereka benar-benar akan terlepas menjadi manusia di Bumi.” Terlaru larut dalam cerita Mark, membuat Raiz tidak mampu berkata-kata lagi, dia hanya bisa menggeleng atau mengangguk untuk menjawab pertanyaan dari Mark. Mark tersenyum, sebuah senyum tipis yang bahkan tidak Raiz sadari. “Mereka membahas tentang takdir yang akan mereka dapatkan setelah mereka berpulang.” “Maksudnya?” Raiz refleks bertanya. Sungguh, dia sama sekali tidak paham apa maksudnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Raiz, Mark justru kembali menatap danau, lalu melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti. “Dulu, ada seorang manusia yang berprofesi sebagai pemburu. Pemburu yang dimaksudkan di sini, bukan tentang berburu hewan di hutan untuk kemudian dia jadikan pajangan atau sekadar memakan daging hasil buruannya, pemburu kali ini berbeda. Alih-alih memburu makhluk hidup, dia justru seorang manusia yang berburu kebahagiaan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN