Abu-abu,
salah satu perpaduan warna antara hitam dan putih,
sama seperti takdirku,
yang tidak terdeteksi, tentang apa yang akan datang dan apa yang akan pergi.
∞
“Jadi, Stara bisa ada di sini sekarang itu karena takdir?”
Jaemin melirik Stara yang masih terpejam di sofa, dia tidak bisa menjawab pertanyaan yang baru saja Haechan lontarkan, karena sejujurnya Jaemin juga tidak mengerti tentang takdir yang dimaksud Stara.
Tentang tujuh Bintang.
Tentang kemampuan.
Semua terasa begitu sulit untuk Jaemin pahami, namun hati selalu memaksanya untuk tetap berada di dekat Stara. Seolah ada sesuatu dari diri gadis itu yang menarik Jaemin untuk terus mendekat.
Dan tentu saja bukan magnet yang Jaemin maksudkan.
“Atau dia di sini karena ... perintah Tuhan?” Haechan bertanya lagi, masih dengan kegiatannya mengoleskan pasta gigi ke lengan bagian dalam dari tangan Jaemin. Ya, Jaemin terkena luka bakar lagi karena harus menggendong Stara kembali ke ke rumah Haechan. Padahal Haechan sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi Jaemin menolaknya dengan cepat.
“Gue enggak ngerti.” Jaemin tiba-tiba berucap frustrasi. “Dengan mudahnya, gue rela habisin gaji gue di tiga tempat, karena gue harus ajak dia buat ketemu lo. Astaga, Chan ... gimana nasib Maje di rumah? Gimana kalau pintu rumah gue sekarang lagi di dobrak sama anak tetangga? Gimana kalau─”
“Udah selesai!” Haechan memotong kalimat Jaemin seraya menutup pasta gigi di tangannya. “Untung lukanya enggak seberapa parah, tapi pasti bakal ngebekas, sih, Na—eh, emang rasanya panas banget, ya?”
“Lebih panas yang pertama kali,” jawab Jaemin singkat, “ini enggak sepanas waktu itu.”
“Panas? Aku—jangan bilang Jaemin kena panas aku lagi?!”
Jaemin dan Haechan sontak menoleh pada Stara yang entah sejak kapan sudah memposisikan dirinya untuk duduk pada karpet di bawah mereka, kapan gadis itu bangun?
Stara menarik lengan Jaemin dengan perlahan, dia menumpukan berat badan pada kakinya agar bisa mendekat pada Jaemin. “Pasti sakit ...,” gumamnya lirih. “Harusnya kamu enggak perlu angkat aku, Jaem.”
“Aku udah bikin kamu terluka—berapa kali, ya?” Stara menghitung dengan jari-jarinya, tapi langsung menyerah karena dia lupa sudah berapa kali menyakiti Jaemin. “Dan bahkan aku juga udah nyusahin kamu.”
“Diem, lo itu berisik.” Jaemin menjawab cepat. Dan dia juga sudah memalingkan wajahnya agar tidak bersitatap dengan wajah memelas Stara.
“Tapi gara-gara aku, kamu—maaf, Jaemin.” Stara cepat-cepat menunduk begitu melihat Jaemin melotot ke arahnya, tapi beberapa detik kemudian dia menengadah lagi—kali ini lebih mendekatkan jarak wajahnya pada wajah Jaemin.
Terbesit sedikit rasa tak nyaman dalam hati Jaemin, melihat bagaimana gadis itu menatapnya dengan raut wajah bersalah—karena cahaya panasnya sudah membuat luka pada lengannya. Tapi Jaemin makin tak nyaman dengan jarak mereka yang bisa terbilang dekat, maka Jaemin langsung menangkup wajah Stara dengan telapak tangannya yang besar, bermaksud untuk menutup keseluruhan wajah menyebalkan milik gadis itu.
“Muka lo jelek banget,” ujar Jaemin, lalu mendorong wajah Stara agar menjauh darinya.
Stara memberontak, sebisa mungkin melepaskan telapak tangan Jaemin dari wajahnya. “Tangan kamu bau apa, sih?”
“Bau pasta gigi itu.” Haechan yang menjawab seraya terkekeh. “Ra, lo enggak mau jelasin apa-apa gitu ke gue?” Haechan mengganti topik tiba-tiba, kemudian menuding Stara dengan jari telunjuknya.
Stara memperhatikan Haechan selama beberapa detik, sebelum berucap. “Boleh aja, sih, tapi ... aku boleh enggak minta minum du—ah, kalau bisa sekalian makanan juga, aku laper soalnya, hehe.”
“Dia emang gitu, Chan. Percuma kalau lo mau emosi.” Jaemin memberitahu ketika dilihatnya ekspresi Haechan mulai berubah.
“Untung Echan orangnya sabar, kalau enggak, Tuhan bakal marah.” Haechan mengusap dadanya sekilas sebelum melenggang pergi menuju dapur, benar-benar mengambil beberapa camilan yang diminta oleh Stara.
Selama Haechan pergi, Stara sibuk memperhatikan seisi rumah, hingga matanya jatuh pada televisi yang menyala. Stara tau apa benda itu dan apa kegunaannya, tapi dia hanya tidak mengerti cara menggunakannya.
“Itu televisi namanya.” Jaemin tiba-tiba bersuara, membuat Stara langsung menoleh padanya.
“Aku tau, ya. Aku enggak blo’on,” jawab gadis itu dengan nada sombong.
Jaemin berdecih di tempatnya. “Di mimpi gue waktu itu, lo selalu tanya tentang segala benda yang lo lihat ke gue. Jadi, ya, gue kasih tau ... buat jaga-jaga aja, siapa tau lo kepingin tau tapi malu buat tanya.”
Sebelah alis Stara terangkat tinggi seolah menyadari sesuatu. “Apa yang ada di mimpi kamu, enggak semuanya bakal terjadi di dunia nyata. Maksud aku untuk setiap orang atau setiap nama yang muncul di dalam mimpi kamu memang akan kamu temui di dunia nyata, tapi akan berbeda untuk sebuah peristiwa atau kejadian. Enggak semua hal yang ada di sana, bakal terjadi juga di sini—Jaemin! Kamu, tuh, dengerin enggak, sih, aku ngomong apa?!” Stara memekik kesal, pasalnya selama dia menjelaskan, Jaemin justru sibuk menatap televisi di depan mereka, dan bukan memperhatikan penjelasannya.
Merasa kesal karena tidak didengarkan, akhirnya Stara juga ikut menatap televisi. Ada sebuah acara yang sedang ditayangkan. Tapi, bukan acara itu yang membuat Stara terpana sekarang, melainkan sosok laki-laki yang menjadi bintang tamu di dalam acara itu.
“Dia ganteng,” gumam Stara pelan, kedua sudut bibirnya ikut terangkat—seperti refleks, ketika melihat laki-laki di layar televisi itu sedang tersenyum hingga membuat kedua matanya melengkung seperti membentuk sebuah bulan sabit terbalik.
Senyumnya manis.
Siaran tersebut tiba-tiba terganti, dan Stara tau siapa pelaku menyebalkan yang sudah mengganti siarannya.
“Apa?” Jaemin bertanya songong ketika Stara mulai memandanginya.
Bibir Stara memberenggut. “Kok, dipindah, sih? Kan, aku lagi lihatin orang ganteng tadi!”
“Gantengan juga gue.” Haechan kembali dengan beberapa camilan di tangannya. “Ini makanan kerajaan, memang cuma sedikit, tapi tolong disyukuri. Kalau tidak mau diterima, akan kuusir kalian berdua dari istanaku.”
Stara terkekeh kecil, membungkuk sebentar pada Haechan sebelum mengambil alih satu bungkus keripik singkong di tangan laki-laki itu. “Terima kasih, Rajaku.”
“Sinting,” gumam Jaemin geleng-geleng kepala. “Padahal itu makanan yang udah Stara ambil dari toserba tadi, bukan makanan punya lo, Chan.”
Haechan cengengesan. “Yah, ketahuan banget, ya, kalau di rumah gue memang enggak ada apa-apa.”
“Enggak apa-apa, Chan. Ini enak, kok.”
Haechan tersenyum melihat Stara yang dengan lahap memakan keripik kentangnya. “Kenapa Stara? Tadi Nana ngapain?”
“Itwu, Chan─uhuk!” Stara menelan keripik di mulutnya dengan susah payah, lalu menujuk televisi. “Tadi Stara lihat cowok ganteng di sana, tapi tiba-tiba dipindah siarannya sama Jaem, jahat, kan?!”
“Cowok ganteng?” Haechan mengangkat kedua alisnya bersamaan. Seperti baru teringat sesuatu, dia langsung terbahak sambil menunjuk-nunjuk Jaemin. “Jangan bilang itu Lee Jeno, haha!”
Jaemin membuang muka, tidak mau membahas hal seputar laki-laki yang baru saja disebut namanya oleh Haechan.
“Buset, dah, dari jaman SMA, masih aja lo musuhan sama dia?”
Jaemin berdecak. “Lo enggak tau apa-apa, Chan. Jadi mending lo diem,” ujar Jaemin galak.
“Lee Jeno ... siapa?” Baru saja Haechan mau kembali meledek Jaemin, tapi Stara sudah bertanya hati-hati, matanya menatap bergantian pada Jaemin dan Haechan.
Haechan berseru semangat, “Itu, Ra! Mantan temennya si Nana. Dulu dekat, sekarang ben─”
“Bukan gue yang mau benci, tapi dia yang minta dibenci!” Jaemin memotong cepat, dia melotot pada Haechan. “Diem enggak?!” katanya semakin galak kala melihat Haechan ingin buka suara lagi.
Haechan mendelik, lebih baik bicara dengan Stara saja daripada dengan Jaemin yang sedang dalamkeadaan hati yang tidak baik. “Ra, jelasin, dong.”
Stara mengerjap. “Jelasin apa?”
“Jelasin … gimana kelanjutan hubungan kita selanjutnya.” Haechan nyengir lebar hingga membuat Stara langsung tertawa geli, sedangkan Jaemin mendadak mual berada didekat mereka berdua.
“Echan, bintang kamu apa?”
“Hm.” Haechan meletakkan jari telunjuknya ke dagu. “Kalau 6 Juni itu bintangnya apa?”
Senyum Stara melebar. “Gemini!” ucapnya antusias. “Kamu benar salah satunya!”
“Tadi waktu Ara pingsan, Nana udah cerita sebagian tentang semua hal yang udah Ara kasih tau ke Nana. Sebenernya tanpa diceritain pun Echan juga udah tau dari penglihatan Echan sendiri, Echan tau kalau Stara asalnya dari langit. Tapi, ada yang Echan enggak ngerti di sini ....”
Stara dan Jaemin terdiam, menunggu kalimat menggantung yang akan diucapkan Haechan.
“… Stara punya kemampuan buat hilangin ingatan manusia, kan? Tapi kenapa justru Stara yang kehilangan seluruh ingatan manusianya?”
*
Ting!
Bunyi lonceng pada pintu cafe berbunyi, bersamaan dengan seorang laki-laki yang baru saja datang. Laki-laki itu menggunakan pakaian serba hitam, dimulai dari baju, celana, lalu jaket kulit, juga topi yang dia kenakan. Semua serba hitam, dan dia kelihatan seperti sedang menyembunyikan wajahnya dari semua orang.
Ketika manik matanya menangkap siluet seseorang yang dikenalinya, dia langsung bergegas mendekat. Topi yang dipakai semakin dia turunkan, agar orang-orang disekitarnya tidak mengetahui siapa dia.
Tapi tentu saja, orang di hadapannya sekarang sangat tau siapa laki-laki itu.
“Park Jisung, lo sebenarnya mau menjalankan misi dari gue atau mau melayat?” Lucas—laki-laki yang menghubungi Jisung, lalu meminta laki-laki itu untuk menemuinya—bergumam, sebuah tawa kecil lolos dari bibir Lucas sebelum dia menggeser map coklat ke hadapan Jisung.
Jisung hanya berdecak menanggapi kalimat Lucas, dia melirik map coklat itu dari sudut matanya tapi tidak ada tanda-tanda untuk menyentuhnya.
“Apa tugas gue?”
“Lo tentu tau, gue mempekerjakan lo bukan cuma untuk ... merampok.” Suara Lucas mengecil di akhir kalimatnya. “Tapi, lo harus selalu setuju untuk melakukan semua hal yang gue perintahkan. Dan lo juga tau, ini bukan pertama kalinya lo har─”
“Enggak usah bertele-tele, gue tau lo mau nyuruh gue membunuh seseorang lagi kali ini.” Jisung memotong cepat, tidak ingin terlalu lama berbasa-basi dengan laki-laki di hadapannya ini. “Jadi, berapa bayaran yang bakal gue dapet?”
“Tiga kali lipat dari yang terakhir kali.” Lucas tersenyum miring begitu melihat ekspresi Jisung yang sedikit kaget, pasti Jisung tidak mengira tentang bayaran sebanyak itu.
“Lo enggak perlu tau, kan, siapa di balik semua ini?”
Gerakan tangan Jisung yang ingin mengambil map terhenti seketika, dia menatap Lucas dengan tatapan yang sulit diartikan. “Lo tau, kan, gue enggak pernah terima tugas dari seseroang tanpa nama.”
Lucas tertawa, lebih mendekatkan map tersebut ke arah Jisung. “Baca dulu.”
Seperti perintah, Jisung segera membuka map tersebut dengan santai, membaca sebuah biodata seseorang yang akan menjadi targetnya kali ini. Selagi Jisung serius membaca, Lucas menjelaskan.
“Ada dua keluarga besar di Cina, satu di Jilin dan satu lagi di Shanghai. Dua keluarga itu, adalah dua keluarga yang sangat disegani oleh penduduk Cina, mereka berkuasa, seimbang, namun saling berebut tahta. Selalu ingin menjadi yang paling atas. Salah satu dari mereka ingin bekerja sama dengan kita, dan gue memberikan tugas ini buat lo.”
Jisung terpaku oleh satu nama pada lembaran kertas di tangannya.
Zhong Chenle.
“Tuan rumah keluarga Huang mempercayakan tugas ini ke gue, dan gue yakin lo selalu bisa selesain tugas dari gue dengan baik.” Lucas memajukan tubuhnya agar bisa berbisik pada telinga Jisung, “Zhong Chenle, dia adalah anak tunggal dari keluarga Zhong yang harus lo musnahkan.”