Takdir,
kita tidak pernah tahu bagaimana dia akan bekerja,
yang kita bisa hanya menunggu,
hingga kapan dia akan tiba pada waktunya.
∞
“Parah banget lo berdua ninggalin gue!” Napas Haechan putus-putus, padahal Jaemin dan Stara tidak berjalan terlalu cepat, tapi memang pada dasarnya Haechan yang tidak bisa kelelahan, maka sekarang dia harus menahan sesak pada paru-parunya.
“Mau beli ice cream enggak?” Tawar Haechan pada keduanya, setelah napasnya normal kembali.
Jaemin melirik toserba yang berada di dekat mereka, dan tanpa perlu menjawab mereka langsung bergegas masuk ke sana.
Haechan yang memilih ice cream untuk mereka, sedangkan Jaemin menjaga Stara karena takut gadis itu melakukan hal bodoh di sini. Dan benar saja, tanpa perlu menunggu lama, gadis itu sudah mengambil beberapa makanan tanpa bilang dulu kepada Jaemin dan Haechan. Setelah cukup puas mengambil makanan itu, Stara langsung mendekati si penjaga toko.
“Mau tambah pulsanya kak?”
Stara menggeleng. “Enggak.”
Si penjaga masih serius menghitung jumlah belanjaan Stara. “Payungnya sekalian? Kayaknya mau hujan.”
“Enggak.”
Gemas karena si penjaga tidak menatapnya, Stara mengetuk bagian meja agar fokus penjaga itu bisa teralih padanya. Dan ketika netra mereka bertemu, barulah Stara melakukan hal yang memang ingin dia lakukan.
“Kamu akan melupakan kejadian hari ini, kamu tidak akan mengenal siapa aku dan melupakan kejadian bahwa aku telah mengambil makananmu,” ujarnya selagi menatap kedua mata si penjaga dengan serius. “Maaf, ya. Aku enggak punya uang, dan aku enggak mau ngerepotin Echan, jadi aku terpaksa hapus ingatan kamu.”
“Stara!” Jaemin menahan lengan gadis itu tepat ketika si penjaga tersadar.
“Terima kasih sudah berbelanja,” katanya sambil tersenyum manis, seolah tidak sadar bahwa Stara belum membayarnya.
“Lo enggak boleh kayak gitu!” Marah Jaemin pada gadis itu.
Haechan yang menyaksikannya tentu saja terkejut, karena baru Jaemin yang mengetahui kemampuan gadis itu. Tapi pada akhirnya dia menjadi penengah.
“Udah enggak apa-apa, sini gue yang bayar.” Haechan mendekat.
“Enggak,” tolak Jaemin. “Gue aja,” katanya yang langsung memberikan uang kepada si penjaga sekaligus membayar tiga ice cream di tangan Haechan. Ketika si penjaga bertanya, Jaemin hanya bilang bahwa sisanya untuk laki-laki itu, dan sesegera mungkin menarik Stara dan Haechan keluar dari toserba tersebut.
“Lain kali lo enggak boleh seenaknya gunain kemampuan lo kayak gitu, apalagi itu bukan perbuatan baik!” Stara hanya bisa menunduk ketika Jaemin kembali memarahinya.
“Yaudah, aku balikin makanannya.”
“Enggak usah. Udah terlanjur gue bayar.”
Haechan berdeham memecah perkelahian mereka berdua. “Udah, jangan dimarahin lagi Stara-nya.”
Haechan mengajak Stara untuk berjalan lebih dulu dan berusaha mengembalikan keceriaan gadis itu, sedangkan Jaemin hanya mengamati mereka dalam diam. Ketika Jaemin ingin menyusul langkah keduanya, dia justru dikejutkan dengan tabrakan seseorang dari belakang.
Bruk!
Jaemin terjerembab karena tabrakan itu, laki-laki itu mengerjap bingung karena tidak ada seorang pun di dekatnya sekarang selain Haechan dan Stara di depan sana, jadi siapa yang menabraknya tadi?
Haechan yang mendengar itu langsung mendekat ke arah Jaemin, membantu laki-laki itu berdiri. “Lo kenapa bisa jatuh, sih?” tanyanya heran, pasalnya tadi Jaemin masih terlihat baik-baik saja di belakangnya.
“Enggak tau, gue tadi kayak ... ditabrak,” jawab Jaemin ragu, dia menyambut tangan Haechan, lalu berdiri dengan bantuan tarikan dari Haechan.
“Nabrak or─”
“WOAH!”
Jaemin dan Haechan sama-sama menoleh ke arah Stara. Mereka berdua kaget ketika melihat seorang laki-laki sudah berdiri di depan gadis itu. Karena kedatangan laki-laki itu terlalu tiba-tiba, membuat seluruh makanan ringan yang dipegang oleh gadis itu sampai jatuh ke aspal.
Kedua mata Jaemin menyipit, memperjelas penglihatannya karena rasanya seperti mengenal laki-laki itu.
Stara mengusap pelan dadanya seraya menunduk. “Untung aku enggak terlalu kaget,” gumamnya pelan. Karena, kalau Stara benar-benar kaget, dia bisa bercahaya dan pingsan sekarang juga.
Laki-laki itu mendekat pada Stara, meneliti wajah gadis itu dengan serius, sebelum berkata, “Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” tanya laki-laki itu.
Tubuh Stara menegang begitu mendengar suaranya, dia menengadahkan wajahnya hanya untuk menemukan wajah seorang laki-laki yang membuat jantungnya berdegup kencang secara tiba-tiba, Stara tidak paham, tapi ini nyata.
Stara bertanya lirih, “Kamu ... siapa?”
“Park Jisung. Kalau lo?” Jisung mengulurkan tangannya ke arah Stara.
Kedua mata Stara sontak membulat ketika mendengar namanya, laki-laki ini, yang sudah membuat perasaannya tidak karuan kemarin. “Pa-Park ... Jisung?” tanya Stara tidak percaya, bahkan dia mengabaikan uluran tangan Jisung di depannya.
Jisung terkekeh begitu melihat wajah terkejut Stara. Lucu, pikirnya.
“Nama lo? Kalau gue boleh tau?” Jisung mengulang pertanyaannya, dia terlalu penasaran dengan nama gadis di depannya ini.
“Stara, aku Bintang yang jatuh dari langit.” Ditengah kebingungannya, Stara tetap menjawab pelan.
“Bintang?” Sebelah alis Jisung terangkat. “Well, nama lo cantik, secantik orangnya.”
“Aku bukan orang, aku Bintang.”
Jisung terkekeh lagi, baru saja dia ingin bicara lagi tapi suara dering ponsel di sakunya lebih dulu menginterupsi. Dia melihat sekilas nama si penelpon sebelum akhirnya kembali fokus pada Stara.
“Gue harus pergi sekarang.” Jisung menghela napas pelan, seperti menimang suatu sebelum akhirnya dengan gerakan secepat kilat dia mengusap puncak kepala Stara dengan lembut. “Maaf, tapi hati gue bilang, gue harus lakuin ini.”
“Semoga kita enggak ketemu lagi,” ujar Jisung pelan, sebelum akhirnya dia berbalik lalu menghilang dalam sekejap mata.
Haechan hampir memekik ketika Stara tiba-tiba saja bersinar, Jaemin buru-buru membekap mulut Haechan agar Jisung tidak mendengar teriakannya. Jaemin takut Jisung akan melihat cahaya Stara. Walaupun kemungkinan besar laki-laki itu masih berada di sini.
Jaemin ingat sekali bahwa Stara tidak bisa dibuat terlalu terkejut. Karena kalau tidak, gadis itu akan pingsan.
Stara yang terlalu terkejut dengan tindakan Jisung langsung bersinar, dan kini cahayanya sudah mulai meredup. Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, dia teringat dengan kalimat terakhir yang Jisung katakan sebelum pergi.
Semoga kita enggak ketemu lagi.
Kedua matanya tertutup bersamaan dengan sebuah kalimat jawaban yang terucap dalam hatinya.
Tapi sayangnya, aku yakin kalau kita akan ketemu lagi, Jisung.