Takdir,
kita tidak pernah tahu bagaimana dia akan bekerja,
yang kita bisa hanya menunggu,
hingga kapan dia akan tiba pada waktunya.
∞
Setelah melewati diskusi panjang bersama Jaemin kemarin, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke Jeju esok harinya─yaitu hari ini. Mereka berangkat sekitar jam lima pagi dan sampai di Jeju pukul sembilan pagi. Sangat berbeda dengan latar waktu yang terjadi di dalam mimpi Jaemin─dan karena adanya perbedaan waktu tersebut, diam-diam Jaemin berharap bahwa mereka tidak akan bertemu dengan Park Jisung.
Stara tetaplah Stara, walaupun kemarin dia sempat dibuat bingung dengan pikirannya sendiri ... tentang siapa itu Park Jisung. Hari ini pribadinya berubah lagi, dia kembali menjadi Stara saat pertama kali jatuh ke bumi─Stara yang menyebalkan dan terus saja berkata wah setiap kali ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Sebelum berangkat, Jaemin sempat pergi pagi-pagi sekali ke tiga tempat di mana dia bekerja. Lalu, dia meminta izin untuk tidak pergi bekerja selama seminggu dengan alasan harus menjenguk temannya yang sedang sekarat di Jeju. Karena kalau tidak berasalan seperti itu, mana mungkin Jaemin akan diizinkan. Selain meminta izin, dia juga mengambil seluruh gajinya di bulan ini untuk biaya perjalanan.
Walaupun Stara masih menjadi tanda tanya untuknya, tapi Jaemin tetap rela melakukan semuanya, agar Stara bisa bertemu dengan Haechan.
“Ini ... kita mau berdiri di sini aja sampai malam?”
Jaemin mencibir ketika mendengar pertanyaan Stara yang terdengar seperti menyindir karena dia telah melamun. Merasa kesal, akhirnya Jaemin berjalan masuk lebih dulu ke pekarangan rumah Haechan, Stara lantas mengekor di belakangnya. “Jangan ditinggalin, dong.”
Jaemin berdiri di depan pintu, membunyikan bel sampai tiga kali, dan pada bel ke empat ... sebuah suara yang terdengar familiar langsung menyahut dari dalam sana.
“Siap─NA JAEMIN?!” Laki-laki yang membuka pintu langsung berseru kaget, “kok, lo enggak bilang-bilang mau ke sini?!”
Jaemin nyengir lebar. “Maaf enggak ngabarin dulu, tapi gue ke sini juga karena ada sesuatu yang penting, Chan.”
“Apaan, tuh?”
“Ada yang mau─”
“SIAPA,CHAN?!” suara wanita paruh baya─yang di duga adalah Ibu Haechan─terdengar dari dalam, Haechan lantas berbalik untuk menjawab pertanyaan Ibunya.
“NA JAEMIN, BU. TEMEN SMA ECHAN. YANG SENYUMNYA KAYAK GULA AREN ITU, BU!” Haechan kembali menatap Jaemin. “Hehe, tadi kenapa?”
Tidak heran kenapa Haechan hobi berteriak seperti itu, karena nyatanya Ibunya pun sama sepertinya.
Jaemin tidak menjawab, dia justru bergeser sehingga Stara─yang sedari tadi berdiri di belakangnya─langsung terlihat oleh Haechan. “Gue mau kenalin lo sama ... Stara.”
Ada jeda sepuluh detik sebelum akhirnya suara Haechan terdengar menggema di telinga Jaemin dan Srara.
“NA, TAMPAR GUE SEKARANG COBA, NA!” Haechan berseru tiba-tiba, dia menoleh cepat pada Jaemin yang sudah terkejut karena teriakannya barusan. “LO─ANJIR! LO KETEMU SAMA CEWEK INI DI MANA?! DIA BUKAN MA—hmph!”
“Jangan teriak-teriak!” Jaemin dengan cepat membekap mulut Haechan, karena mereka tidak sendiri di sini, mengingat bahwa Ibu Haechan ada di dalam sana. Akan gawat jadinya jika wanita itu bertanya tentang apa maksud dari kalimat yang akan Haechan lontarkan tadi. Tapi diam-diam Jaemin tersenyum kecil ketika menyadari Haechan tidak pernah berubah, bahkan laki-laki itu masih memanggilnya dengan panggilan Nana.
“Memang siapa yang bilang kalau dia manusia?” Jaemin bertanya sambil melepaskan bekapannya, dan Haechan langsung dibuat merinding seketika.
“Gila.” Haechan mengumpat frustrasi, dia geleng-geleng tak percaya sambil memperhatikan Stara yang saat ini hanya menunjukkan ekspresi polos.
“Heh, Benda Langit. Kenapa lo bisa nyasar sampe sini?!”
Stara mengerjap cepat, menoleh pada Jaemin yang ternyata sedang memperhatikannya juga. “Jaem, dia tau kalau aku Bintang?” tanyanya setengah tak percaya.
“Kayak apa yang udah gue bilang. Dia bisa tau siapa lo, gimana karakter sampai seluk beluk kehidupan lo. Namanya Lee Haechan, kenalan dulu coba.”
“Nanti aja kenalannya.” Haechan menyela cepat. “Gue lagi cuci baju bantuin ibu gue, dan di rumah gue enggak ada makanan. Mending lo berdua duduk dulu di dalem, setelah gue selesai nyuci, kita cari makan sekalian denger semua cerita lo.”
Jaemin menghela napas saat Haechan sudah masuk lagi ke dalam rumah, dia menepuk pundak Stara pelan, membuat gadis itu langsung menoleh padanya.
“Enggak usah bingung. Haechan emang gitu orangnya.”
*
“Stara, kapan-kapan ajak gue ke langit, ya?”
Mendengar Haechan mengucapkan kalimat itu dengan nada riang, Jaemin langsung gemas sendiri. Dengan nada sarkas laki-laki itu mewakili Stara untuk menjawab, “Gue paham, Chan, hidup lo memang semengenaskan itu, tapi gue enggak nyangka kalau lo udah mau buru-buru mati aja.”
Stara tertawa kecil, menoleh pada Jaemin, lantas bertanya, “Memang hidup Echan kayak gimana, sih, Jaem?”
“Waktu SMA enggak pernah punya pacar─biar gue kasih tau sini, Haechan itu kena azab buat jomblo selama sekolah. Terus lulus SMA nilainya pas-pasan, satu angkatan udah ada yang kuliah dan kerja tapi dia malah jadi pengangguran. Tiap hari, bukannya kasih Ibunya uang buat belanja, ini malah dikasih jokes-an garing, dan─”
Kalimat Jaemin terputus oleh pergerakan jari telunjuk Haechan yang sekarang berada tepat dibibirnya. “Kamu salah tentang satu hal, Nana,” kata Haechan, ekspresinya ditunjukkan seolah-olah terlihat bahwa dia sedang kecewa.
Stara kontan terbahak oleh drama dadakan tersebut, sedangkan Jaemin sempat shock di tempatnya, untung saja mereka berada di jalan yang sepi sehingga tidak akan ada banyak orang yang melihat tingkah aneh dari sahabatnya itu.
Haechan menarik salah satu tangan Stara agar gadis itu mendekat. “Stara, biar Echan kasih tau satu hal, ya. Echan itu enggak kena azab buat jomblo selama masa sekolah. Tapi ….”
“Tapi?” Stara mempertanyakan kalimat Haechan yang menggantung.
“… Echan kenanya azab buat jomblo seumur hidup.”
Jaemin tertawa geli mendengar jawaban santai dengan penuh percaya diri dari Haechan. Matanya tak sengaja menangkap genggaman tangan antara Haechan dan Stara, dengan cepat Jaemin mengambil alih tangan Stara yang bebas lalu menariknya agar sedikit menjauh dari Haechan.
“Mending kita lanjut cari makan.” Mengabaikan kalimat protes dari Haechan di belakang sana, Jaemin tetap berjalan menjauh seraya menggandeng Stara.
Stara menoleh kebelakang beberapa kali ketika menyadari bahwa langkah kaki mereka semakin cepat. “Kok kita ninggalin Haechan, sih?” Bibirnya mengerucut lucu, membuat Jaemin menahan keras tindakannya yang ingin sekali mencubit pipi gadis itu.
“Lo enggak boleh terlalu dekat sama Haechan, soalnya dia punya banyak kepribadian.”
Stara mengerjap bingung. “Aku enggak ngerti.” Gadis itu menggeleng pelan, tidak paham dengan maksud kalimat Jaemin tadi.
Masih dengan tatapan matanya yang mengedar untuk mencari tempat makan, Jaemin menjawab, “Haechan punya banyak kepribadian. Diantaranya; kepribadian aneh kayak tadi, kepribadiannya yang bisa tiba-tiba ada di luar kendali, atau bisa lo sebut dengan gila. Dan yang terakhir, dia punya kepribadian yang suka sama anak kecil.”
Kedua mata Stara membulat. “Kamu serius?!”
“Ya, enggaklah. Gue cuma bercanda.”
“Ih, Jaemin!” Stara ingin memukul kepala laki-laki di sampingnya ini, namun niatnya langsung terurung begitu menyadari ada sesuatu yang salah.
“Kita mau nyebrang, ya?”
Jaemin langsung menoleh, kedua alisnya bertaut, bingung. “Hah?”
“Ini.” Stara mengangkat tangannya yang masih digenggam oleh laki-laki itu. “Kamu gandeng aku terus. Kita mau nyebrang?”
Sontak saja Jaemin langsung melepaskan genggaman itu, dalam hati dia mengumpat kesal, karena tindakan refleks tadi membuatnya jadi malu sendiri. Haechan datang menghampiri mereka, dan Jaemin langsung bersyukur karena kehadirannya.