Rahasia dan masalah.
Di luar seberapa hebat atau jahatnya setiap orang di dunia,
mereka pasti memiliki keduanya.
∞
Stara mengetuk pelan pintu kamar yang di tempati oleh Jisung untuk sementara ini. Sudah lewat lima jam sejak kejadian terakhir di Aula Shanghai, sekarang Stara baru berani menemui laki-laki itu. Dan saat ini mereka sudah berada di rumah Haechan, karena menurut Stara hanya tempat ini yang bisa mereka jadikan tempat berkumpul, lagi pula Haechan tidak mempermasalahkannya.
Pintu terkuak lebar. Karena tidak mendapat jawaban, akhirnya Stara berinisiatif untuk langsung membukanya. Melihat masih adanya siluet Jisung yang sedang duduk di pinggir ranjang—membelakanginya, diam-diam membuat Stara mengembuskan napas lega.
“Park Jisung, aku perlu bicara sama kamu.”
Hening, Jisung mengabaikan Stara.
“Aku tau kamu pasti bertanya-tanya, kenapa kamu enggak bisa kabur dari tempat ini. Jawabannya, karena tempat ini udah aku kunci dengan cahayaku, jadi enggak bakal ada kemampuan lain yang bisa masuk atau keluar dari tempat ini tanpa izin dari aku. Dan kalau kamu mau mencoba minta izin untuk pergi, maaf aku enggak akan izinin kamu, karena aku tau ....” Stara terdiam sebentar sebelum melanjutkan. “Ketika kamu pergi dari sini, kecil kemungkinan untuk bisa membuat kamu kembali dengan kemampuan aku. Kecuali, kalau kamu sendiri yang berniat untuk kembali.”
“Kalau kamu mau mencoba melarikan diri dari tempat ini, silakan tunggu ketika aku lengah. Tapi masalahnya, aku enggak akan pernah lengah sedikit pun.”
Jisung masih membisu di tempatnya.
“Sejak pertama kali ketemu kamu─ah, bukan, sejak pertama kali dengar nama kamu. Aku juga pingin banget mempertanyakan hal yang sama, kayak waktu pertama kali kamu bicara sama aku, di jalan itu.” Stara masih berdiri di depan pintu, seraya mengingat pertemuan pertamanya dengan laki-laki ini ... atau mungkin bukan yang pertama? Yang jelas, pertanyaan yang sempat Jisung tanyakan padanya, akan ditanyakan kembali oleh Stara.
“Park Jisung, apa kita pernah ketemu sebelumnya? Sebelum hari ini, dan sebelum kamu mempertanyakan hal yang sama waktu itu ... di masa lalu kamu, apa aku pernah menjadi bagian di dalamnya?”
Percuma, sebanyak apa pun Stara berbicara, Jisung tetap tidak akan menjawabnya. Maka, dengan perasaan kecewa gadis itu berbalik, meraih kenop pintu lalu membukanya. Sebelum benar-benar keluar, dia sempat mengatakan sesuatu pada Jisung.
“Maaf karena permintaan kamu buat enggak ketemu lagi enggak bisa aku sanggupi. Karena kenyataannya, mulai dari hari ini dan sampai waktu yang sudah ditentukan ... kamu akan berjalan di dalam takdirku, bersama dengan enam Bintang lainnya.”
*
“Haechan?”
Haechan menoleh begitu mendengar namanya terpanggil. Ada Stara yang sedang berjalan menghampirinya dan langsung mengambil tempat untuk duduk di sebelahnya. Stara melirik laki-laki itu sebentar, sebelum mengikuti apa yang sedang Haechan lakukan, yaitu, memperhatikan langit-langit malam.
“Kamu ngapain duduk di luar sendirian?”
“Ngapain, ya?” Haechan mengetuk-ngetuk dagunya tanda berpikir, “cari angin?” Haechan justru mengatakannya dengan nada bertanya, tak yakin.
Embusan napas panjang terdengar dari bibir Stara. “Chenle belum sadar sampai sekarang, dan Renjun milih buat balik ke Hotel dulu entah karena apa—ah, tapi dia udah janji, sih, sama aku kalau bakal balik lagi. Jaemin tidur, terus Jisung ....”
Haechan menoleh. “Dia enggak mau ngomong sampai sekarang?”
Stara mengangguk lemah. “Ini hari kedua aku di Jeju, dan aku udah nemuin Lima Bintang Pendamping yang aku butuhin. Menurut kamu ... apa sampai akhir semuanya bakal berjalan semudah ini? Maksud aku, bahkan aku masih punya waktu sekitar sembilan bulan lagi untuk bersinar. Tapi kalau pencarian aku berjalan semudah ini sekarang ... aku jadi khawatir.”
“Apa yang lo khawatirin?”
Stara mendongak, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul di hati kecilnya. “Apa aku bakal berhasil? Karena aku rasa ada sesuatu yang menunggu aku di depan sana.”
Hening mendominasi selama beberapa menit ke depan, keduanya sibuk memperhatikan langit dalam diam, karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Stara tadi. Sampai ketika Stara mengangkat sebelah tangannya, lalu menunjuk satu-satunya bintang yang hadir di langit malam.
“Fomalhaut.” Panggil Stara pelan, lebih terdengar seperti bisikan. Namun, karena Haechan duduk di sebelahnya, kalimat tadi masih terdengar jelas olehnya.
Haechan dibuat terperangah sepersekian detik kemudian, Bintang yang Stara sebut sebagai Fomalhaut itu langsung bersinar dengan terang secara tiba-tiba.
Stara tersenyum lebar. “Fomalhaut baru aja jawab panggilan aku,” jelasnya, menyadari kalau ekspresi takjub Haechan bercampur dengan ekspresi bingung. “Bintang selalu berkomunikasi dengan cahaya. Tapi, karena aku lagi dalam wujud manusia sekarang, bakal aneh rasanya kalau aku harus bersinar tiba-tiba. Makanya aku tadi sebut nama dia buat berkomunikasi.”
“Kalau dilihat-lihat, Formallaut?─eh, bukan. Fembalut ... Aish! Apalah itu namanya, yang penting Bintang itu mirip sama Jisung.”
“Mirip Jisung?” Kening Stara berkerut samar. "Ya, enggaklah, Echan! Udah jelas Fomalhaut bentuknya bintang, nah, Jisung aja kepalanya bulat. Dari mana miripnya?!” tanya Stara ngotot.
Haechan mengibaskan tangannya di udara. “Serah lo, serah!”
Tawa kecil Stara terdengar di keheningan malam, membuat Haechan langsung menoleh ke arahnya dan tanpa sadar tersenyum tipis.
“Gue seneng lihat lo ketawa. Apalagi karena gue,” ujar Haechan jujur, bahkan senyum tipis laki-laki itu sudah berubah menjadi senyum lebar.
Senang bukan dalam artian romantis.
Tapi, yang penting orang-orang tertawa karenanya, Haechan pasti akan merasa senang.
“Ngomong-ngomong, maksud kamu bilang Fomalhaut mirip sama Jisung apa?”
Haechan kembali melihat langit, jarinya menunjuk keberadaan Fomalhaut di atas sana. “Lihat, deh, dalam gelap dia sendirian. Enggak ada cahaya lain selain cahaya dia sendiri, dia berusaha hidup dalam gelapnya malam hanya dengan bantuan cahaya dia sendiri. Sama kayak Jisung—gue udah pernah bilang sama lo, kalau sekarang Jisung tersesat dalam lingkungan kehidupannya ... dan dia sendirian. Ketika hidupnya mulai berantakan, akhirnya dia mulai masuk ke dalam kehidupan yang salah. Enggak ada orang lain yang coba menyelamatkan dia atau berusaha keluarin dia dari dunia itu. Jadi, dia cuma bisa mengandalkan kemampuannya sendiri buat bertahan hidup dalam kerasnya dunia gelap itu.”
“Jisung, ya?” Stara menerawang. Setelah mendengar penjelasan panjang Haechan, senyum sedihnya sontak terukir. “Kamu salah soal sesuatu,” katanya. “Fomalhaut enggak pernah sendirian di atas sana. Dia cuma lebih bersinar dari Bintang yang lain, sehingga cahaya dari Bintang lain enggak terlihat karena cahaya dia yang terlalu terang. Jadi, bukan karena dia sendirian di atas sana, tapi karena dia salah satu Bintang spesial yang diberikan cahaya lebih terang oleh Tuhan.”
“Dan soal Jisung ... aku enggak tau apa yang terjadi sama dia di masa lalu. Tapi, saat ngelihat dia, hm, yang sekarang?” Stara terlihat bingung untuk menyusun kalimatnya, karena apa yang dia rasakan sekarang memang sungguh membingungkan.
Sebelum Stara sempat melanjutkan kalimatnya, Haechan buru-buru memotong. “Yang sekarang? Maksud lo, dia salah satu bagian dari masa lalu lo?”
“Aku enggak yakin. Tapi, dia bener-bener enggak asing. Bahkan saat pertama kali Jaemin sebut namanya, aku ngerasa ... dia seperti punya peran penting dalam kehidupan aku sebelumnya.” Stara menghela napas lelah. “Yang penting, setelah denger penjelasan kamu tadi, aku jadi pingin janji sama diri aku sendiri.”
“Janji apa?”
“Untuk suatu alasan yang bahkan aku juga enggak tau itu apa─aku pingin janji mulai sekarang. Sama kayak Bintang lain yang nemenin Fomalhaut di atas sana, aku juga pingin nemenin Jisung biar dia enggak sendirian lagi.”
Haechan tertegun. “Gue harap, kita bisa lebih cepat mengungkap masa lalu lo. Karena jujur aja ... gue penasaran.”
Stara mengangguk, menyetujui ucapan Haechan. “Seenggaknya, setelah semua masalah selesai. Tentang kenapa Jisung harus membunuh Chenle, masa lalu Jaemin, atau masalah apa pun yang lagi menunggu kita di depan sana. Aku mau semua masalah dari kalian dulu yang selesai, baru kita cari tau tentang masa lalu aku ... karena kebahagiaan kalian lebih penting daripada kebahagiaan aku sendiri.”
Haechan berdecak kagum. “Sekarang gue ngerti kenapa lo bisa jadi Rasi Bintang Ara. Sesuai sama artinya, Bintang yang paling suci. Hati lo bener-bener suci, enggak ada hal lain yang gue lihat dari lo selain ketulusan.”
Stara mengembuskan napas berat. “Tapi masalahnya ....” kalimatnya menggantung selama beberapa detik. “… kamu bahkan belum tau seperti apa aku di masa lalu, jadi jangan terlalu melebih-lebihkan apa yang ada di diri aku. Karena, belum tentu yang terlihat baik di masa depan, pernah menjadi baik juga di masa lalu.”
“Aku bahkan enggak ingat apa pun. Yang aku tau, aku dipilih menjadi penerus Rasi Bintang, lalu diberi tugas dan enggak boleh gagal, dan setelahnya? Takdir akhir hidupku tinggal aku yang menentukan.”
“Itu masalah dan rahasia lo,” sela Haechan tenang. “Semua orang di dunia ini juga pasti punya masalah dan rahasia yang cuma dia sendiri yang tau, atau cuma orang-orang terdekatnya aja. Contohnya Jaemin, dia punya masalah dan rahasianya sendiri, dan itu menyangkut Jeno—lo ingat, kan? Laki-laki yang pernah muncul di televisi waktu itu, dia teman SMA gue sama Jaemin, walaupun gue enggak yakin, sih, Jaemin menganggap dia teman atau bukan,” jelas Haechan.
“Dan ada juga masalah yang gue tau. Di masa lalunya, Jaemin pernah punya teman masa kecil yang akhirnya menghilang, kalau enggak salah namanya Raiz.”
“Raiz?” tanya Stara.
“Iya, Raiz. Dia teman masa kecilnya Jaemin.” Karena pembahasan Jaemin tidak penting menurut Haechan, jadi dia kembali membelokkan pembicaraan kepada sosok yang lain. “Dan soal Chenle sama Renjun ... sebenernya gue enggak boleh ngomong ini, tapi dari apa yang gue lihat di antara mereka berdua, masalah mereka berdua bener-bener rumit.”
“Maksud kamu?”
“Mereka berdua bisa dibilang keluarga yang berada. Tapi, ada cerita yang berbeda dari masing-masing kehidupan mereka. Dan kali ini gue harus bilang lagi, itu rahasia dan masalah mereka. Gue enggak berhak buat ceritain apa pun.” Haechan berkata dengan wajah bersalah, melihat bagaimana kecewanya Stara.
Tapi Haechan tau, pasti Stara mengerti akan tindakannya barusan. Apalagi mereka belum lama mengenal, jadi mereka memang tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah apa pun yang tidak melibatkan mereka.
“Mau gue kasih tau satu rahasia dan satu masalah gue?” tanya Haechan tiba-tiba. Tidak, dia tidak terpaksa, dia memang ingin memberitahunya pada Stara.
Tawaran yang sungguh mengejutkan dari seorang Haechan, karena selama ini dari apa yang Stara lihat, laki-laki itu terlihat netral-netral saja dengan hidupnya. Haechan itu seperti arus air, yang hidupnya terus saja mengalir tanpa takut tentang hari esok. Tapi, ternyata Haechan punya rahasia dan masalah juga?
Stara ragu, apa dia harus mengetahuinya juga?
“Mau tau enggak?” tanyanya ulang, gemas dengan respon Stara.
“Apa enggak apa-apa kalau aku tau tentang itu? Bukannya kamu bilang semua orang pasti punya rahasia dan masalah yang dia enggak mau kalau ada orang lain yang tau.”
Haechan tersenyum tipis. “Enggak apa-apa, kan, gue sendiri yang nawarin buat kasih tau.”
“Yaudah, kalau gitu, apa?”
Haechan tersenyum lebar. “Rahasianya ... gue enggak cuma bisa membaca karakter seseorang, tapi gue juga bisa melihat masa lalu—kecuali masa lalu lo. Gue udah pernah coba melihat ketika pertama kali kita ketemu, tapi ternyata gue enggak menemukan apa pun.”
“Retrokognision!” gumam Stara penuh keterkejutan, pantas saja selama ini Haechan selalu tau seluk-beluk masalah keluarga dari setiap orang, dan bagaimana cara Haechan mengetahui kehidupan Jisung, Renjun dan Chenle ... kenapa Stara tidak berpikir sampai ke sana?!
“Kenapa kamu enggak ju─”
Haechan meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, menyuruh Stara diam. “Masalahnya ....” Haechan bersyukur karena setelah sekian lama dia hanya diam, akhirnya dia bisa membagi masalah ini dengan orang lain selain ibunya. Selama ini dia menjadi ceria di depan orang-orang banyak, hanya sebagai topeng palsu karena Haechan ingin dikenang sebagai sosok yang menyenangkan─
“Gue sakit.”
─bukan sebagai sosok yang menyedihkan.