15 - Five Stars

1034 Kata
Lima dari tujuh Bintang, aku sudah berhasil menemukannya. ∞   Untuk ukuran sebuah tempat yang biasa disebut rumah, tempat ini lebih cocok dikatakan sebagai mansion atau mungkin istana. Sebagai salah satu bangunan besar di Cina, tempat ini menjadi idaman untuk semua orang, untuk berkunjung dan bahkan sekedar bermimpi untuk menempatinya. Namun, berbeda dengan apa yang dikatakan orang-orang di luar sana. Sang putra tunggal justru merasakan hal yang sebaliknya. Daripada menyebut tempat ini sebagai istana, baginya, tempat ini lebih cocok disebut sebagai neraka. “Ih! Tua Bangka s****n. Dia kira gue robot apa, bisa diperlakukan seenak jidat!” Putra tunggal keluarga Zhong—Chenle namanya, mendengkus keras-keras seraya melemparkan kembali kertas yang baru saja dia baca. Chenle berjalan mondar-mandir di kamarnya sambil memijat pelipis. Satu jam lagi, dia harus datang ke acara amal yang sudah dia persiapkan sejak satu bulan yang lalu. Tapi entah bagaimana caranya, sepertinya tua bangka itu─ayahnya─mengetahui acara tersebut, sehingga dia membuat kesepakatan yang membuat Chenle pusing seketika. Chenle tidak diperbolehkan pergi jika keinginan ayahnya pada kertas itu tidak terpenuhi. “Ih!” Chenle menjambak rambutnya keras-keras dengan kaki yang menghentak-hentak ke lantai. “PELAYAN!” Panggilnya berteriak. Salah satu wanita memasuki kamar Chenle dengan tergopoh-gopoh, wajahnya tak pernah luput dari raut ketakutan, tidak hanya dirinya, tapi semua pelayan di tempat ini segan terhadap Chenle. “A-ada apa, Tuan Muda?” Chenle mengangkat salah satu tangannya dan mengarahkannya pada kertas yang berada di atas meja. Tanpa perlu beranjak, kertas itu sudah lebih dulu melayang dan berakhir pada genggaman Chenle. Chenle celingak-celinguk, mencari benda yang sedang dibutuhkannya sekarang. “Duh, pulpen gue mana, sih?!” “Sa-saya tidak tahu─” “Gue enggak ngomong sama lo!” “Lo enggak perlu sekasar itu sama pelayan, Chenle.” Seorang laki-laki memasuki kamar Chenle tiba-tiba, menggunakan gerakan tangannya dia menyuruh para pelayan untuk keluar dari kamar ini. Meninggalkan dirinya dan Chenle hanya berdua saja. Chenle melirik sekilas padanya, lalu kembali fokus pada kertas di tangan kanannya. Dalam sekejap, sebelah tangan Chenle yang lain baru saja memunculkan sebuah pulpen yang entah datang dari mana. “Apa gue harus kasar juga sama lo?” Chenle bertanya sarkas pada laki-laki itu. “Karena secara enggak langsung, lo juga pelayan ... Winwin.” Laki-laki bernama Winwin itu terkekeh samar. “Gue salah satu orang penting di sini—kalau lo lupa.” “Orang penting?” Chenle menoleh lagi padanya. “Lo lebih cocok disebut babysitter gue daripada orang penting.” “Udah menjadi tugas gue buat mengurus dan menjaga lo, Chenle.” “Terserah.” Chenle tidak mau berdebat lagi, karena percuma saja dia tidak akan menang jika melawan Winwin. Chenle mulai mencoret-coret kertas itu, lalu setelah selesai diberikannya kertas itu kepada Winwin. “Bilang sama tua bang—ah, maksudnya, ayah gue atau yang biasa lo sebut sebagai tuan itu. Setelah selesai acara amal, gue bakal kabulin semua permintaannya.” Sebelum Chenle beranjak, dia kembali menoleh pada Winwin. “Bilang juga sama dia—dia enggak perlu memperingatkan apa pun ke gue, karena gue bisa jaga diri.” Setelah mengatakan itu, Chenle keluar dari kamarnya dengan menenteng sebuah jas yang entah datang dari mana. Chenle harus pergi ke acara amal hari ini juga, karena anak-anak yang datang pada acara amal tersebut adalah rumahnya. Karena mendengar kalimat Chenle tadi, Winwin akhirnya membaca kalimat terakhir pada kertas di genggamannya. Sebuah senyum tipis terukir di sana. “Pada akhirnya semua hal memang berakhir sesuai dengan apa yang pernah dia katakan.” * “Chenle, Astaga! Akhirnya lo datang juga!” Ten bernapas lega begitu menemukan siluet Chenle di daun pintu, pianis kesayangannya itu benar-benar datang hari ini. “Chenle, ingkar janji? Apa kata dunia!” jawab Chenle asal, dia segera melangkah masuk ke ruang tunggu yang berada di belakang aula. Ten adalah guru musik yang selama ini melatihnya bermain piano, juga mengurus semua acara yang ingin Chenle lakukan. Ten seperti seseorang di balik layar yang memiliki peran penting bagi Chenle. “Gue belum pesan makan buat mereka, soalnya lo bilang enggak perlu. Tapi lo aja dateng telat, ini gimana coba?” “Total anak yatimnya berapa?” tanya Chenle. “Ada seratus anak yang datang.” “Oke, sinian lo.” Chenle menarik Ten mendekat kearahnya, lalu tangannya terangkat lagi. Dalam sekejap, seratus tumpuk nasi kotak tersusun rapi di ujung ruangan, tampak seperti baru saja diantar. Sebuah kemampuan spesial yang Chenle miliki, dapat mengendalikan dan menciptakan apa pun—kecuali manusia. Ten berdecak kagum. “Memang murid gue yang paling the best, dah, lo ini!” Chenle tersenyum bangga, lalu menepuk bahu Ten santai. “Makanannya tolong lo yang urus, ya, gue mau masuk ke dalam.” Sebelum Chenle sempat membuka pintu, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka dari luar. Ada seorang laki-laki bertopeng yang berdiri dengan jarak kurang dari dua meter di hadapan Chenle. Kedua mata Chenle sontak membulat begitu menyadari siapa seseorang yang ada di hadapannya ini. Ada seseorang yang ditugaskan oleh Huang untuk membunuhmu, jadi kamu harus berhati-hati hari ini. Kalimat terakhir yang sempat Chenle baca dari kertas pemberian ayahnya, ternyata laki-laki itu benar. Chenle menghindar dengan cepat ketika tangan itu berusaha menjangkau lehernya. “TEN! KELUAR!” teriak Chenle. Tangannya memunculkan sebuah pistol lalu dengan cepat ditodongkan ke depan laki-laki itu. “Mundur. Atau. Gue. Tembak,” ujarnya penuh penekanan. “Wow!” Laki-laki itu melepaskan topengnya lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Apa lo punya kekuatan khusus?” tanyanya penuh rasa penasaran, seringaian muncul dari bibirnya begitu Chenle semakin menodongkan pistol ke arahnya. “Kalau iya, berarti kita sama.” Dalam sekejap, laki-laki itu menghilang dan berpindah tempat ke belakang Chenle. Pistol di genggaman Chenle sontak terjatuh ketika laki-laki itu mencekiknya dari belakang, Chenle sulit bernapas, tapi diam-diam dia bersyukur karena Ten sudah lebih dulu keluar dari ruangan ini. “Ada kalimat terakhir, Zhong Chenle?” Alih-alih takut karena mendengar nada dingin dari suara laki-laki itu, Chenle justru terkekeh tertahan. “L-lo sia ... pa? Se ... seenggaknya ka-kalau gue ma-mati, gu ... gue tau, siapa yang bu-bunuh gue.” Jadi hidupnya sudah sampai di sini, ya? Chenle tertawa miris di dalam hati. Setidaknya, jika dia mati sekarang, semua penderitaan dan rasa sakitnya akan menghilang, jadi Chenle bisa pergi dengan te─ BRAK! “PARK JISUNG!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN