27 : Window of The World

1581 Kata
Berhati-hatilah terhadap mata, dia bisa menjadi salah satu indera yang mampu berbohong, karena dia hanya bisa melihat keindahan yang tampak dari luar, tanpa bisa mengenal apa yang sebenarnya ada di dalamnya. ∞   “Itu apa?” Stara yang pertama kali buka suara, setelah lima menit saling diam. Ketiga laki-laki itu bertukar tatap, bingung bagaimana caranya menjelaskan pada Stara. Renjun mengusap tengkuknya. “Jujur aja, gue enggak pinter yang kayak ginian.” “Apalagi gue!” Haechan membalas cepat. “Walaupun waktu itu gue pernah bilang, lebih baik nyelesain soal fisika yang bertumpuk-tumpuk daripada ngertiin penjelasan Stara tentang Bintang, tapi sekarang gue berubah pikiran lagi—Fisika, Matematika, dan teman-temannya. Gue nyerah! Mendingan gue belajar mengenal anggota keluarga Budi dipelajaran Bahasa, ini Ibu Budi ... ini Bapak Budi─seenggaknya Budi masih punya bapak, enggak kayak Khong Guan yang─” “Diem, Chan! Kalau enggak gue lem─nah! Lo mau gue lempar?!” Jaemin sudah mengambil ancang-ancang untuk melemparkan bantal ke arah Haechan, namun Stara bergerak lebih gesit hingga berakhir berdiri di depan Haechan, seolah menjadi tameng. Tangannya terkepal di udara, lalu di arahkan ke arah Jaemin. “Tonjok, nih,” katanya dengan wajah galak yang dibuat-buat. Haechan langsung terbahak, begitupula dengan Renjun. Wajah Stara sungguh tidak cocok untuk dikategorikan dalam nominasi galak, karena Stara terlalu menggemaskan untuk menjadi galak. Alih-alih disebut galak, bagi Haechan, Stara lebih cocok disebut bodoh. Iya, bodoh karena percaya dengan mengikuti setiap ucapannya. Jaemin kembali menyenderkan tubuhnya ke sofa. “Terserah Kakanda dan budaknya aja, terserah.” Pasrahnya, tidak mau peduli lagi akan meningkatnya tingkat kebodohan Stara akibat ulah Haechan. “Jadi, itu apa?” Stara kembali melemparkan pertanyaan yang sama, suasana kembali hening beberapa detik. Jaemin yang merasa kasihan karena Stara terus diabaikan, akhirnya menjawab dengan ogah-ogahan. “Itu pesan yang berbentuk kode, Chenle kirim ini ke Renjun, dan lo enggak usah sok mikir tentang jawabannya. Karena kami yang manusia aja pusing, apalagi lo yang cuma ... benda langit.” Bibir Stara mengerucut, merasa kesal tiap kali Jaemin menyebutnya sebagai benda langit. Tapi bukan itu yang membuatnya lebih kesal, melainkan perintah laki-laki itu─oh, atau mungkin bisa Stara artikan sebagai ejekan? Nggak usah sok mikir tentang jawabannya. “Aku pinter, tau!” Stara berteriak tiba-tiba, membuat ketiga laki-laki itu terkesiap kaget. “Pinter gimana?” Haechan bertanya. “Kita aja enggak tau kisah masa lalu lo dulu, tapi kalau dilihat-lihat ... kayaknya lo ini tipe-tipe siswi yang sering kena bully.” “Renjun!” Stara merajuk, mendekat pada Renjun. “Aku enggak paham arti sebenernya, tapi setau aku bully itu perlakuan yang jahat.” “DAN JUGA, KOK, KAMU BILANG GITU, SIH?! KATANYA KITA TEMEN SEPERBODOHAN!” Lagi, Stara membuat mereka bertiga terkesiap kaget karena teriakannya yang terlalu tiba-tiba. Tapi apa katanya tadi? Teman seperbodohan? Jika dilihat dari arah pandangnya, kini Stara sedang menatap Haechan dengan kesal. Sedangkan Haechan yang ditatap seperti itu langsung kicep seketika. “Gue bercanda, loh, Ra!” Haechan berusaha membela dirinya. Stara bersidekap d**a, lalu membuang muka. Perlakuan yang sama seperti yang dilakukannya pada Jaemin beberapa menit lalu. “Bodo.” “Udah, dong, berantemnya.” Renjun menengahi dengan putus asa. “Gue datang ke sini buat minta bantuan soal pesan ini, bukannya mau lihat kalian berantem terus.” “Jadi, dari mana kita mulai pecahin kode ini?” Sepertinya mereka memang tidak punya waktu lagi untuk bermain-main, hingga akhirnya mereka berempat saling mendekat─duduk melingkar seraya memperhatikan kertas kecil yang berada di tengah-tengah mereka. 90° dan 180° = 135° “Pendapat pertama?” Renjun bertanya. Melihat Haechan dan Jaemin yang hanya diam, membuat Renjun sudah bisa menebak bahwa keduanya lemah soal angka. Hampir diambang putus asa, Renjun ingin buka suara menyudahi saja rapat tak berguna ini, sebelum suara Stara terdengar di sela-sela keputusasaannya. “Ini Matematika bukan, sih? Sin Cos Tan? Apa ada hubungannya?” “Wah,” gumam Haechan takjub karena gadis itu bisa berpikir sampai ke sana. Apa hilangnya ingatan masa lalu tidak mempengaruhi seluruh kerja otak? Sudah bisa ditebak, Stara dulu pintar─sepertinya. “Kalau Sin Cos Tan enggak mungkin, jawabannya enggak jauh-jauh dari angka satu dan setengah-setengah lainnya. Jadi kayaknya enggak mungkin,” sanggah Renjun. “Sudut? Kayak semacam arah sudut gitu?” celetuk Jaemin asal-asalan. Entahlah dia hanya mengucapkan apa yang muncul di kepalanya. “90° itu siku-siku, 180° itu lurus. Apa hubunga─” “Sebentar.” Stara menyela perkataan Renjun dengan cepat, terpikirkan dengan kata yang sempat terucap dari bibir Jaemin. “Arah,” sambungnya seolah mengerti sesuatu. “Arah mata angin!” Seluruh pasang mata langsung menatap ke arah Haechan, Stara juga sampai bertepuk tangan untuknya, karena ternyata Haechan bisa berguna juga. “Empat pusat mata angin itu ada empat. Utara, Timur, Selatan dan Barat. Kalau kita membaca arah mata angin sesuai sudut, arti pesan 90° berarti Timur sedangkan 180° berarti Selatan, tapi apa maksud dari kata dan, ya?” Stara berpikir keras, dia baru saja menjelaskan tentang arah-arah mata angin yang entah mengapa sangat dia pahami. “TENGGARA! arah mata angin yang berada di antara Timur sama Selatan itu Tenggara, dan benar kalau kita baca sesuai sudut, Tenggara itu berada di titik 135°.” “Tapi maksud dari Tenggara sendiri itu apa?” Haechan bertanya dengan raut kebingungan. Kembali hening selama beberapa detik, sebelum Renjun buka suara dengan nada ragu, “Gue enggak yakin, sih ... tapi, apa mungkin itu menunjukkan sebuah tempat? Di mana Chenle ngajak kita ketemu?” “Buka peta Cina!” perintah Jaemin cepat. Stara langsung mengernyit bingung. “Kenapa peta Cina?” “Chenle dari Cina, dia enggak ngerti letak tempat di Korea, pasti yang dia maksud itu semacam kota atau tempat di Cina yang ada di bagian Tenggara.” “Shenzhen.” Ketiganya langsung menoleh ke arah Renjun─yang kini sedang menatap kosong udara di depannya. Helaan napas Renjun terdengar berat sebelum dia kembali mengulang kalimatnya, kini disertai dengan sedikit penjelasan. “Shenzhen, kota itu berada di sebelah Tenggara dari negara Cina. Dan kayaknya gue tau tempat yang dimaksud sama Chenle.” * Shenzhen, Cina. Salah satu kota yang berada di provinsi Guangdong, Cina bagian tenggara. Pada awalnya, kota tersebut hanya dikenal sebagai wilayah perbatasan antara Cina dengan Hong Kong. Senantiasa dibangun dalam rangka menyaingi kemajuan ekonomi Hong Kong, yang pada waktu itu sedang berkembang pesat. Zhong Yi Xing─pemegang saham Shanghai terbesar pada masanya, turut andil dalam pengembangannya, agar kota ini bisa menjadi daya saing yang lebih baik dibanding Hong Kong. Zhong Chenle hanya bisa menatap kosong jalan raya lewat tembusnya kaca mobil. Sejak tiga puluh menit yang lalu sampai di kota ini, yang ada di pikirannya hanya kenangan-kenangan masa lalu saat dia baru pertama kali mengunjungi Cina, lalu diangkat menjadi putra tunggal keluarga Zhong. Tempat ini banyak menyimpan kenangan indah semasa hidupnya beberapa tahun yang lalu. Tentang ayah, ibu, bahkan ... tentang Renjun. Sebagai anak dari seorang yang berpengaruh, Chenle tentu tidak diperbolehkan memilih teman secara sembarangan, hingga dirinya merasa kesepian karena menjadi anak tunggal, hingga akhirnya dia bertemu dengan Renjun. Mereka dipertemukan pertama kali pada rapat pertama pembagian kekuasaan, di tempat ini. Pertemuan pertama sebagai sepasang sahabat dan tentunya juga sebagai rival. Di umur yang masih muda, mereka tentu tidak mau mempermasalahkan tentang tahta kekuasaan yang diperebutkan oleh ayah mereka. Mereka tetap berteman dengan bantuan kemampuan yang mereka punya. Chenle yang mengetahui kemampuannya lebih dulu akhirnya membuat sebuah sarana pesan burung merpati untuk mempermudah komunikasinya dengan Renjun. Kemudian, semuanya lebih dipermudah ketika Renjun sudah mengetahui kemampuan pembuka portalnya. Hingga mereka sering bertemu secara diam-diam, menghabiskan waktu bersama sebagai sahabat─di tempat ini, Shenzhen. “Kita sudah sampai.” Suara salah satu pengawal mengembalikan kesadaran Chenle, laki-laki itu menegakkan tubuhnya bersiap turun dari mobil untuk menyambut satu lagi tempat kenangan, yang juga merupakan arti tersembunyi dari kode tertulis yang dikirimkannya untuk Renjun. Window Of The World. Tempat wisata sekaligus sumber keindahan dari kota Shenzhen─juga tempat persembunyian Chenle dan Renjun ketika ingin bertemu. Tempat ini merupakan taman miniatur dari berbagai negara di dunia, sebut saja Menara Eiffel, Air Terjun Niagara, Piramid Mesir, Taj Mahal, Candi Borobudur dan bahkan Taman Jurassic Park juga ada di tempat ini. Tapi, tujuan Chenle datang ke tempat ini hanya untuk mendatangi Air Terjun Niagara. Di balik indahnya jutaan tetes air yang jatuh di sana, tidak pernah ada yang menyangka bahwa ada penjara rahasia di baliknya. Jangan pernah tertipu mata, karena apa yang terlihat indah belum tentu sama dengan fakta yang ada di dalamnya. “Winwin, buka jalannya,” perintah Chenle. Winwin mengangkat kedua tangannya di udara, lalu membuat sebuah gerakan membuka tangan hingga Air Terjun yang berada di depan mereka terbelah dan menciptakan jalan terbuka dibagian tengahnya. Winwin menjentikkan jari. “Jalan.” Kini bukan hanya air terjun saja yang terbelah, melainkan air yang berada di bawahnya juga ikut terbelah, menciptakan jalan lurus yang bisa mereka lalui menuju pintu penjara tersembunyi di depan sana. Chenle melangkah lebih dulu, memimpin jalan. Diam-diam dia mengambil lalu mengembuskan napas dengan berat. Embusan itu bukan untuk kemampuan Winwin, karena sejujurnya dia sudah lama mengetahui kalau Winwin juga memiliki kemampuan yang hampir sama sepertinya─Telekinesis, yang bedanya Chenle hanya bisa menggerakan benda mati, sedangkan Winwin bisa menggerakan benda hidup. Lupakan soal kemampuan Winwin. Seseorang yang akan Chenle temui lebih penting sekarang, sudah lama rasanya sejak terakhir kali dia mendatangi penjara ini. Ketika terakhir kali dia berkunjung hanya untuk menuntut kebahagiaannya yang sempat terenggut paksa oleh keluarga wanita ini. Keluarga Huang. Ya, Chenle akan menemui Huang Sena, tahanannya yang juga merupakan ibu kandung dari Huang Renjun, sahabatnya dulu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN