26 - Order A Dove

1947 Kata
Mereka seperti langit dan bumi. Walaupun ditakdirkan menjauh, tetapi tetap saling melengkapi satu sama lain. ∞   “Tuan Muda, Tuan Besar sudah memanggil anda.” Untuk yang kesekian kalinya, Chenle menatap pantulan dirinya dicermin. Fokusnya bukan pada wajah, melainkan pada kedua telapak tangannya, telapak tangan yang dianugerahkan kemampuan khusus untuk memunculkan sesuatu yang Chenle inginkan. Kemampuan sebagai Magician yang Stara sebut sebagai keberuntungan, justru menjadi sebuah kehancuran untuk Chenle sendiri. Karena kemampuan ini hidupnya menderita. Karena kemampuan ini Chenle kehilangan segalanya. “Tuan─” “Sebentar lagi. Tinggalin gue sebentar aja.” Sesuai perintah, kedua pelayan yang ada di kamar Chenle segera beranjak keluar. Seusai kepergian mereka. Chenle memunculkan burung merpati dengan kemampuannya, salah satu hewan yang menjadi alat komunikasi dengan sahabatnya ... dulu. Sudah lama Chenle tidak memunculkannya, tapi kali ini, setelah semua hal yang telah terjadi kemarin malam, akhirnya Chenle membuat sebuah keputusan. Chenle menuliskankan sesuatu dalam sebuah kertas kecil, yang kemudian diletakkan pada genggaman burung merpati itu. Chenle mengusap pelan kepala burung itu sambil tersenyum lembut, sebelum waktunya habis, Chenle segera membawanya ke jendela terdekat. Chenle sempat mengucapkan sesuatu sebelum membiarkan burung itu pergi ke tempat tujuannya. * Sebuah pintu terbuka, Chenle berjalan masuk ke dalam dengan wajah dingin─wajah yang hanya dia tunjukkan setiap kali bertemu dengan ayahnya─atau lebih tepatnya, ayah angkatnya. Pria itu duduk membelakanginya di sebuah kursi besar, hingga ketika pintu tertutup pria itu langsung berbalik. Prang! Chenle terkesiap ketika sebatang emas terlempar ke arahnya, untungnya refleksnya cepat bekerja sehingga dia lebih dulu mengendalikan benda itu dan melemparnya hingga kini terjatuh di lantai. “Kamu masih pintar ternyata.” Pria itu tersenyum sinis menatap Chenle. “Tapi kamu tidak cukup pintar untuk kabur dari saya.” “Saya tidak kabur.” Chenle menjawab dengan nada dingin. “Kalau saya kabur, mana mungkin saya mau dibawa pulang dan berakhir berada di sini sekarang, bukan?” “Lalu apa yang kamu lakukan di Jeju?” Chenle terdiam, tidak menjawab. Pria itu menghela napas, sadar bahwa dia tidak bisa terlalu memaksa Chenle. Lagipula tanpa Chenle beritahu pun dia bisa mencari tau sendiri apa yang dilakukan oleh laki-laki itu. “Tapi kamu sudah melanggar janjimu.” “Tidak.” Chenle menjawab cepat. “Saya akan menepatinya sekarang, tapi dengan satu syarat.” Chenle mengangkat tangan, mengarahkannya pada ruang kosong di sisi ruangan. Dalam sekejap, ruang kosong itu penuh dengan uang yang bertumpuk-tumpuk sesuai dengan permintaan pria itu di dalam kertas yang beberapa hari lalu diberikan kepada Chenle. Chenle bukan anaknya. Chenle hanya mesin uang untuknya. “Saya sudah menepati janji saya, dan sekarang satu syarat yang harusAnda lakukan atau saya akan pergi dari sini.” Bola mata pria itu berbinar melihat setumpukan uang di pojok kosong dalam ruangannya. Chenle hampir saja mengumpat melihatnya, bagaimana cara pria itu menatap uang-uang darinya, dasar Tua Bangka yang haus harta! umpat Chenle dalam hati. “Apa syaratnya?” Chenle tersenyum miring, sedikit tidak menyangka bahwa pria itu akan langsung setuju. Namun, setelah mendengar pertanyaan itu Chenle langsung mengucapkan dua hal yang berbeda, satu kalimat langsung untuk pria itu, dan satu lagi kalimat dari hatinya untuk si penerima pesan. “Saya ingin bertemu Huang Sena.” Renjun, semoga lo mengerti arti pesannya. * “Stara mana?” Suara serak nan halus itu menyapa telinga Jaemin ketika dirinya baru saja masuk ke dalam rumah Haechan, dia menoleh ke arah Renjun yang sudah menunjukkan raut tanya akan keberadaan Stara. Masih dengan sisa senyum yang mendadak dirinya sembunyikan, Jaemin langsung menunjuk ke arah pintu tepat di mana Stara muncul dengan ekspresi yang sangat sulit diartikan. “Jaemin!” Mendengar seruan Stara, Jaemin refleks berbalik lalu berjalan cepat menuju dapur. “Gue ambil minum dulu!” kata Jaemin cepat. Sedangkan Stara sudah misuh-misuh seraya menghampiri Renjun yang sudah duduk manis di sofa. “Lo kenapa?” Renjun bertanya, penasaran. Wajah Stara yang tadinya terlihat kusut kini mendadak berbinar kembali setelah bertemu pandang dengan Renjun. Gadis itu sempat tertawa kecil sebentar sebelum melontarkan perintah untuk laki-laki itu. “Jun, senyum dong.” Kedua alis Renjun terangkat bersamaan. “Lo kenapa, sih? Sakit?” “Ish! Senyum dulu coba!” perintahnya lagi. Awalnya terasa canggung, namun setelah memperhatikan bagaimana lucunya ekspresi Stara ketika memintanya tersenyum. Perlahan, kedua sudut bibir Renjun terangkat membentuk sebuah senyuman manis. “Jangan senyum kayak gitu!” Stara mengibas-ngibaskan tangannya di udara. “Gini, nih ....” Kemudian gadis itu tersenyum lebar, hingga memperlihatkan jejeran gigi putihnya yang tertata rapi. Masih mempertahankan senyum lebarnya, Stara kembali berucap dengan suara yang terdengar aneh. “Senyumnya harus kelihatan gigi.” Terdengar suara tawa mengejek, bukan dari Renjun melainkan dari Jaemin yang baru saja muncul dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. “Sekali blo’on tetap aja blo’on,” gumam Jaemin entah untuk yang keberapa kalinya. Sudah bisa ditebak, perlakuan Stara yang aneh-aneh itu pasti ajaran Haechan. “Kamu, kok,suka banget, sih, bilang aku bloon! Haechan, kan, ngajarin aku hal yang baik-baik, enggak kayak kamu!” Stara membalas sewot. Benar, kan? Ini semua ajaran Haechan. Jaemin menjatuhkan dirinya di samping Renjun, atau lebih tepatnya berseberangan dengan Stara. Wajah gadis itu sudah dongkol setengah mati, karena sudah dua kali mendengar Jaemin mengucapkan k********r kepadanya, walaupun Stara tidak begitu paham apa arti sesungguhnya. Tapi jujur saja, Stara sering mendengar kalimat itu jika dia sedang berjaga di langit. Semua aktivitas di bumi tentu tidak pernah terlewat oleh matanya, Stara sering memperhatikan, walaupun dia memang tidak begitu paham. “Enggak kayak gue? Kayak mana yang lo maksud?” Jaemin mengangkat dagunya, dengan mata yang memicing lurus pada Stara. “Waktu itu, waktu kita pertama kali ketemu Haechan. Kamu bohong soal Haechan yang punya kepribadian aneh. Gini-gini juga ingatan aku masih berfungsi dengan baik, ya! Dan lagi, waktu pertama kali kita ketemu, kamu itu jahat banget mukul aku pake sapu! Mau makan aja dibentak-bentak terus sampe akunya pingsan! Jadi coba kasih tau aku, kamu itu─bentar!” Stara merebut gelas dari tangan Jaemin dengan cepat, menegak isinya hingga habis tak tersisa. “... aku lupa, kapan, ya, terakhir kali aku minum─pokoknya! Coba kasih tau aku, kamu itu baik dari mananya?!” “Stara─” “Bodo, aku kesel sama kamu,” sela Stara ketus. Gadis itu langsung membuang muka lalu bersidekap d**a, tidak mau menatap Jaemin. Renjun yang berada di tengah perkelahian panas ini hanya bisa menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Dia memilih diam dan menunggu hingga perkelahian ini mereda. Beda Renjun, beda pula Jaemin. Laki-laki justru terlihat kaget setelah mendengar kalimat Stara barusan. Untuk yang kesekian kalinya, Jaemin menemukan sisi Stara yang berbeda. Pertama kali bertemu dengannya, gadis itu seperti seorang gelandangan yang tidak makan berhari-hari, ditambah dengan keluhan akan lapar dan haus yang semakin meyakinkan Jaemin bahwa Stara itu seorang gelandangan. Lalu, semua dugaan Jaemin berubah ketika dengan mata kepalanya sendiri, Stara menunjukkan cahayanya, malam itu─malam yang tidak akan Jaemin lupakan, akhirnya dia bisa mempercayai siapa Stara yang sebenarnya. Namun lagi-lagi, setelah melihat kejadian Chenle waktu itu, Stara berubah menjadi sosok yang hangat dan penuh simpati seolah semua beban yang ditanggung oleh Chenle dapat di rasakan juga oleh gadis itu. Belum lagi sifat cerianya yang selalu Jaemin jumpai selama berada di dekat gadis itu. Dan sekarang.... ... Stara punya sisi menggemaskan juga? Oke, mungkin kalimat panjang tadi bisa kalian sebut sebagai kegalakan dari seorang Stara. Tapi bagi Jaemin, melihat bagaimana ekspresi gadis itu ketika membentaknya, sampai sekarang yang berubah menahan kesal hingga membuang muka, kenapa semuanya terasa begitu lucu di mata Jaemin? Lupakan soal Bintang, kemampuan, atau apa pun yang di miliki Stara. Hari ini, detik ini juga, tolong jelaskan ... kenapa Jaemin melihat Stara seperti seorang manusia yang sesungguhnya? “Gue ke sini mau nyampein satu hal, dan itu penting. Jadi, apa sesi marah-marah ini bisa di tunda dulu?” Suara Renjun mengembalikan semua kesadaran Jaemin, sadar jika selama itu dia memperhatikan Stara─yang sialnya, gadis itu juga ternyata melihat ke arahnya, sehingga lagi-lagi Jaemin terkena semprot kalimat pedasnya. “Apa lihat-lihat!” Stara masih dendam rupanya. “Dengerin dulu, dong ...” Renjun frustrasi sendiri, bingung bagaimana caranya mengembalikan suasana. Andai di sini ada Haechan, pasti semuanya akan terasa lebih mudah. “Maaf, Jun.” Stara menghela napas panjang. “Aku kesel, sih, sama Nana bolong satu itu!” Stara menunjuk Jaemin sambil memasang wajah memelas, meminta dikasihani. “Blo─” “Jaemin, udah!” Renjun menyela cepat, jadi ikut memarahi sebelum Jaemin berhasil menyelesaikan kalimatnya. Laki-laki itu langsung berdecak kesal, dan memilih menyenderkan tubuhnya pada sofa selagi mendengar cerita Renjun. “Mungkin kalian udah tau, hubungan gue sama Chenle itu enggak baik. Sejak kami berumur lima tahun, perebutan tahta kekuasaan itu udah ada, kalian pasti ngerti gimana kejamnya dunia yang diisi oleh orang-orang berkuasa, kan? Kalau boleh milih, gue lebih pingin jadi orang biasa da─” “Jangan ngomong gitu, ntar lo nyesel kalau udah bener-bener ngerasain hidup biasa kayak gue.” Haechan tiba-tiba muncul dari daun pintu, mengambil langkah lebar menghampiri mereka bertiga seraya tersenyum lebar. “Apakah para budakku merindukan kakanda yang tampan ini?” “Echan!” Stara berseru girang, namun tiba-tiba gadis itu menunduk seraya berkata. “Saya merindukan kakanda yang tampan.” Renjun terkesiap, sedangkan Jaemin hanya bisa memutar kedua bola matanya. “Sama-sama gila,” gumamnya pelan. Virus kebodohan Haechan sudah memenuhi sebagian otak Stara. Haechan tertawa melihat kelakuan Stara, merasa heran juga karena gadis itu sangat mudah dipengaruhi olehnya, padahal dia hanya memberikan ajaran-ajaran yang tidak bermanfaat. Biarkan sajalah, setidaknya Haechan jadi bisa punya teman untuk melakukan hal-hal bodoh. Kini tatapannya beralih pada Renjun, merasa tidak enak karena sudah memotong kalimatnya, Haechan langsung cengengesan. “Hehe, maaf, ya, Jun, gue muncul di saat yang tidak tepat. Lanjutin aja sekarang, kita semua dengerin.” Stara mengangguk setuju. Jaemin? Tentu saja hanya diam, menyimak. Renjun menatap ketiganya bergantian, tidak mau berbasa-basi lagi. “Tadi pagi, gue dapet pesan dari burung merpati.” Renjun terlihat ragu untuk melanjutkan. “Kenapa, Jun? Ngomong aja enggak apa-apa.” Haechan yang mengerti kegelisahan itu langsung menyela, sebagai psikometri dia tentu bisa membaca dengan cepat gelagat Renjun. Maka, sebisa mungkin Haechan memberi dorongan semangat agar Renjun mau mengatakan kalimatnya yang sempat terpotong. “Gue rasa ... pesan itu dari Chenle.” Jaemin terkesiap kaget, begitupula dengan Stara, tapi tidak dengan Haechan yang justru diam-diam tersenyum. Renjun yang menyadari itu hanya bisa menghela napas kasar, dia harus menjelaskan sesuatu untuk menghilangkan kebingungan Stara dan Jaemin. Renjun melirik Haechan, meminta bantuan, karena jujur saja dia tidak bisa menceritakan semuanya sendiri. Menceritakannya sama saja membuka lembaran luka lama yang bertahun-tahun sudah Renjun simpan. “Dulu, Renjun sama Chenle itu sahabatan. Karena sama-sama berasal dari keluarga terpandang─yang sialnya adalah rival, mereka jadi susah buat ketemu. Persahabatan mereka tidak diperbolehkan ada, karena suatu saat nanti mereka berdua bakal jadi penerus yang artinya bakal jadi rival juga. Karena Chenle udah bisa ngendaliin kemampuannya sejak kecil, jadi dia menciptakan pesan burung merpati untuk berkomunikasi sama Renjun.” Haechan menjelaskan dengan tenang, menceritakan hal yang perlu diceritakan, dan tetap merahasiakan apa yang perlu dirahasiakan. “Makasih, Chan.” Haechan hanya mengangguk menanggapi. “Tapi masalahnya, pesan itu aneh. Gue enggak ngerti kenapa Chenle ngirim pesan itu pake kode segala, padahal udah lewat pesan burung merpati yang jelas-jelas rahasia.” Renjun melanjutkan. Jaemin tampak berpikir sebentar sebelum berkata, “Mungkin, dia menghindari mata-mata. Karena pesan itu penting?” Semuanya terdiam, tampak sibuk dengan pikirannya masing-masing, sebelum akhirnya Stara bertanya dengan rasa penasaran yang sudah dia tahan sejak tadi. “Memang apa isi pesannya?” Renjun mengeluarkan sebuah kertas kecil dari sakunya, membuka lipatannya lalu dengan cepat lalu menyodorkan kertas itu kepada mereka bertiga. 90° dan 180° = 135°             Benar saja, mereka semua kompak menghela napas panjang karena tidak ada yang mengerti arti dari pesan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN