Semesta mungkin saja tidak bicara,
tapi ketahuilah,
baik buruknya setiap hal yang kita perbuat,
tentu tidak pernah luput dari pengawasannya.
∞
Satu jam.
Apakah satu jam termasuk waktu yang cepat dalam menunggu?
Mungkin untuk sebagian orang, satu jam adalah hal yang patut dipermasalahkan dalam hal menunggu. Tapi untuk sebagian orang lagi─terutama Lucas, mungkin kata menunggu bisa menjadi toleransi, mau seberapa lamapun waktunya. Apalagi jika seseorang yang ditunggu merupakan seseorang yang bisa terbilang penting dalam hidupnya.
Satu jam yang lalu, dua kopi Americano yang Lucas pesan masih mengeluarkan kepulan uap panas, tapi sekarang isi dari satu cangkir miliknya sudah kandas tidak tersisa, sedangkan satu cangkir milik Jisung sudah mendingin karena tidak tersentuh sama sekali.
Terhitung dua hari setelah Jisung menerima tugasnya, laki-laki itu menghilang tanpa kabar apa pun. Mungkin hal seperti itu sudah biasa terjadi tiap kali Jisung melaksanakan tugas darinya, tapi kali ini ada yang berbeda. Wajah datar yang selalu Jisung tampakkan kini tergantikan dengan raut gelisah yang kentara sekali.
Jisung yang mengajaknya bertemu, bertepatan dengannya yang juga ingin memberikan tugas baru. Tapi, setelah melihat bagaimana raut wajah Jisung saat ini, Lucas jadi enggan berkata, hingga memilih untuk menunggu Jisung saja yang memulai pembicaraan.
“Cas, gue gagal.”
Lucas mengembuskan napas lega. “Gila. Gue kira lo disihir jadi bisu sama keluarga Zhong, karena mau bunuh anaknya.” Lucas mengusap dadanya lega, tidak bisa dipungkiri bahwa dia juga khawatir, walaupun Lucas selalu memberikan tugas mengerikan kepada Jisung, tapi Jisung juga sudah dianggap seperti adik oleh Lucas.
“Gue gagal,” ulang Jisung, lalu kepalanya tertunduk merasa bersalah. Baru kali ini dia gagal melaksanakan tugas dari Lucas.
“Enggak apa-apa.” Lucas menepuk pelan bahu Jisung. “Gue udah duga tugas itu enggak bakal mudah, apalagi kabarnya anak tunggal Zhong itu punya kemampuan khusus kayak lo.”
Ya, Cas. Dia seorang magician yang juga bisa telekinesis.
Entah apa yang terjadi pada Jisung, biasanya dia selalu menceritakan apa pun pada Lucas. Tapi kali ini, setelah bertemu dengan orang-orang baru itu, rasanya berbeda.
Jisung menggeleng frustrasi begitu kalimat Stara kembali terngiang di kepalanya, malam itu─malam di mana Stara berbicara dengan Haechan, Jisung mendengar semuanya. Jisung tidak benar-benar mendekam di dalam kamar, dia sesekali masuk ke kamar Chenle─yang tentunya saat dia mengaktifkan mode tak terlihatnya─untuk mengecek keadaan laki-laki yang hampir dia bunuh.
Untuk alasan yang tidak Jisung ketahui, Jisung juga merasa aneh, kenapa dia mendadak peduli dengan orang lain?
Sampai ketika dia tidak sengaja melihat Haechan dan Stara, lalu mendengar pembicaraan mereka yang membawa-bawa namanya. Untuk sesaat Jisung seperti terlempar pada luka lama, karena teringat semua masa lalu yang sudah Haechan ceritakan pada Stara. Tapi setelah mendengar janji yang terucap dari bibir Stara langsung─
“Sama kayak Bintang lain yang nemenin Fomalhaut di atas sana, aku juga pingin nemenin Jisung biar dia enggak sendirian lagi.”
─Jisung merasa lebih baik.
“Lucas.” Jisung meremas jemarinya di bawah meja. “Gue mau ... berhenti.”
Melihat keterkejutan dari wajah Lucas, Jisung buru-buru menambahi. “Lo yang nemuin gue dijalanan waktu gue umur enam tahun, dan dengan baiknya lo ngejadiin gue adik angkat. Lo tau, Cas? Dari kecil gue enggak pernah ngerasain apa yang namanya kasih sayang, tapi setelah ketemu lo, gue bisa ngerasain itu. Walaupun lo mendidik gue dengan cara─ya, bisa di bilang buruk. Tapi gue berterima kasih sama lo. Buat sekarang, gue rasa udah cukup, Cas. Gue pingin hidup tenang dan ... gue pingin hidup sesuai dengan jalan yang gue pilih.”
Jisung kira, Lucas akan langsung beranjak dan pergi meninggalkannya─atau yang paling buruk, mungkin laki-laki itu akan memukulinya sekarang. Tapi di luar dugaan, Lucas justru tersenyum lebar seraya berkata, “Oke,” dengan mudahnya.
“Semudah itu?!” seru Jisung tak percaya.
Anggukan Lucas mengantarkan kelegaan yang luar biasa di d**a Jisung, tapi tak selang berapa lama, Lucas kembali melontarkan kalimat yang membuat Jisung terdiam seketika.
“Dengan satu syarat, lo harus berhasil melakukan tugas terakhir ini.”
Sebuah map coklat terlempar ke arah Jisung, map yang berisi data diri korban jika Jisung harus melakukan pembunuhan.
“La-lagi?” Jisung tercekat, ayolah, padahal dia sangat berharap tugas Chenle adalah yang terakhir.
“Sebenernya, udah lama gue nunggu lo bilang gini. Gue juga enggak tega ngelihat lo terus-terusan jadi penjahat, gue pingin lo ngerasain hidup yang semestinya. Jadi, gue bakal izinin lo berhenti, tapi berhubung gue baru aja dapet tugas baru, gue serahin ini sebagai tugas terakhir lo─tenang, tugas ini mudah.”
Jisung membuka map tersebut, kedua bola matanya membulat sempurna tak kala melihat sebaris nama yang tertulis di sana.
Lee Jeno.
“Aktor kelas atas Korea, Lee Jeno. Tiga hari lagi, lo harus membunuhnya.”
Tentu, Jisung tau siapa Jeno. Siapa yang tidak mengenal aktor itu? Semua orang Korea pun pasti tau siapa dia. Karirnya sukses, namanya mendunia, tapi di balik semua itu, siapa seseorang yang berniat membunuhnya?
Lucas berdiri, untung saja Cafe ini sepi, sehingga memudahkan pembicaraan mereka. “Kalau lo berpikir ada seseorang yang mau membunuhnya, lo salah. Karena seperti apa yang gue bilang, tugas terakhir lo kali ini mudah.” Lucas tersenyum tipis. “Tiga hari lagi, lo harus membunuhnya. Bukan karena permintaan orang lain, tapi karena ini permintaan Lee Jeno sendiri.”