Chapter 17

1958 Kata
Pagi ini Eros nampak tidak terlalu fresh seperti biasanya, mungkin karena efek dari dirinya yang kurang tidur semalaman. Bukan kurang tidur lagi, lebih tepatnya tidak tidur. Eros benar-benar sulit untuk tidur tanpa ada alasan yang jelas. Sungguh bukan kebiasaan Eros. Padahal sudah semalaman pula Eros mencoba memejamkan mata berharap akan bisa berangsur tidur, tapi kenyataannya tidak, mata Eros masing bening pake sekali, dan tidak ada sesi ngantuk-ngantuknya. Eros tentu bingung, dan tidak mau seperti itu. Dia bahkan juga berolahraga agar merasa lelah dan dapat tertidur. Sampai akhirnya pagi pun tiba, tapi Eros sadari dia harus pergi ke sekolah. Karena tidak ingin terlambat, Eros pun bersiap-siap untuk pergi ke sekolah saja. Alhasil, penampilan Eros terlihat seperti ini, wajahnya yang putih bersih menjadi memiliki sedikit kantung mata hitam. Namun meski begitu kantung mata Eros sama sekali tak mengurangi ketampanan yang Eros pancarkan. Eros menyisir rambutnya klimis ke bawah, tanpa berniat memberi model-model apalah seperti anak muda kebanyakan. Eros juga memakai seragam rapi nan licin setelah di setrika berjam-jam lamanya. Merasa sudah siap Eros pun berangkat sekolah, yang meski waktu masih menunjukkan pukul 6 lebih lima menit. Ia merasa kesiangan malah. Kalau boleh jujur sebenarnya semalaman Eros tidak dapat tidur itu juga karena Lili sebagai alasannya. Walaupun tidak hanya Lili saja, tapi sebagian besar juga mengacu pada Lili. Lili, Lili, dan Lili ..., Eros tidak tau ada apa dengan dirinya, tapi nama Lili begitu kuat menempel pada dinding otaknya. Sampai-sampai dia kesal. Dan hari ini berniat untuk mengabaikan semua yang berhubungan dengan Lili, semua. Dengan harapan kalau Eros melakukan itu, dia akan bisa kembali seperti Eros yang sebelumnya, cukup cuek dengan sekitar. By the way, mungkin ini bukan hal penting sih, tapi Eros semalam tidak jadi meninggalkan jaket bombernya di trotoar. Setelah mengambil motor rupanya Eros tetap membawa pulang lagi jaket itu, bukan masalah harga tapi masalah sayang saja kalau di tinggalkan. Lagipun dia juga sudah sedikit melupakan rasa malunya yang sebelumnya telah mendera. Saat ini Eros sudah duduk di dalam bus yang memang memiliki jadwal pemberangkatan pagi. Dan biasanya bus ke arah sekolah Eros akan ada lagi sekitar satu sampai satu setengah jam setelahnya. Jadi dari pada terlambat pun Eros memilih cepat berangkat saja. Seperti kebiasaan yang tidak pernah lenggang, Eros duduk dengan menyalakan earbuds pada telinganya tersebut, untuk membuat paginya rileks. Hanya saja mendapat tambahan semilir angin juga musik klasik yang memenuhi telinga, hal itu malah membuat mata Eros ingin terpejam saja. Baru sekarang Eros merasakan ngantuk. Cukup s**l memang. Jadi mau tak mau Eros harus menahan diri agar tak terpejam seharian ini. Okay, rileks dan tenang, sambil melihat keadaan sekitar. Akan tetapi tidak berselang lama setelah Eros mencoba menahan diri. Sayup-sayup Eros malah mendengar suara ribut dari sekitar, rupanya Eros tidak sadar, jika dirinya telah tertidur, mungkin memang hanya beberapa menit tapi meski begitu dia tetap menjadi orang yang linglung dengan keadaan sekitar, yang apalagi begitu ramai seperti ini. Eros berdehem dan menegakkan tubuhnya, tatapannya penuh kebingungan melihat sekitar. Dan detik berikutnya dia baru sadar jika bus yang dia tumpangi ini telah berhenti di pinggir jalan. Eh ... Eros melepas earbuds yang menempel di kedua sisi telinganya. Lagi, ia yang mencoba mencari jawaban pun sedikit menajamkan pendengarannya yang memang harusnya tidak perlu, sebab se isi bus tengah mencak-mencak kelimpungan sendiri, seperti protes pada si supir keras-keras. "Gimana sih pak, saya buru-buru ini." "Iya nih gimana pak." Dari kata itu saja Eros sudah dapat menyimpulkan jika bus ini tengah terjadi kendala, entah apa, yang pasti bus tidak dapat beroperasi. Eros yang notabene masih bocah di antara ibu-ibu dan bapak-bapak di sana. Alhasil Eros hanya diam saja. "Bapak dan ibu sekalian. Saya mohon maaf yang sebesar besarnya, karena bus ini memang mengalami kerusakan mesin, maaf tidak dapat melanjutkan perjalanan ibu dan bapak sekalian." Suara itu terdengar dari arah depan, yakni seorang supir bus ini. Dan karena itu makin ricuh saja keadaan di sana, meski tidak terlalu banyak orang, tapi tetap saja, the power of emak-emak anak selalu menggelegar tidak perduli betapa jumlah yang ada. "Yah, gimana sih, harusnya di cek dulu dong sebelum beroperasi." Mungkin seperti itu lah bentuk protes-an tidak terima kaum ibu-ibu yang kalau naik motor selalu nyalain sen kiri tapi belok kanan. "Sekali lagi saya mohon maaf. Ibu-ibu, dan bapak-bapak di perbolehkan turun untuk menunggu bus jadwal selanjutnya tiba." Tak ada pilihan lain, lagi pun bus berhenti bukan masalah besar bagi Eros, kayak nggak ada transparansi lain aja. Atau Eros bisa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selagi menunggu bus selanjutnya tiba. Semua orang turun dari bus dengan mulut yang tak henti-hentinya nyinyir. Ralat kecuali Eros tentunya yang diam saja. Tapi tunggu, Eros baru ingat jika jadwal bus selanjutnya akan tiba setengah jam lagi, dan karena itu Eros takut jika saat dia tiba di sekolah, sudah terlalu ramai siswa-siswi yang berdatangan. Tapi sebenarnya, memang kenapa kalau sekolah sudah ramai? Apa Eros lupa bahkan nama dirinya saja sudah di ketahui oleh seluruh penduduk sekolahnya kemarin. Tetap saja, hari ini Eros tidak ingin menjadi pusat perhatian. Bukannya lebih baik dia memesan ojol dari pada menunggu bus. Mengeluarkan kocek sedikit lebih banyak sepertinya tidak masalah, dari pada menanggung beban besar kan. Eros pun merogoh saku hoodie-nya untuk mengambil ponselnya. Walaupun ponsel Eros cenderung jadul, tapi Eros tetap berusaha agar tidak ketinggalan jaman, mencari aplikasi di mana ia bisa memesan ojek di sana. Namun belum sempat Eros melaksanakan niatannya itu. Panggilan dari samping sukses membuat Eros menghentikan langkah dan aktifitas lainnya _seperti membuka aplikasi_. "Eros," Itu Beni! Eros menoleh dan melihat sosok beni yang menggunakan pakaian seragam lengkap mengendarai motor _gede khas dilan_ pelan _seperti habis memutar arah motor_. Eros diam saja, menunggu Beni yang akan menghampiri. "Ada apa Ben?" tanya Eros langsung ketika Beni sudah tiba di sampingnya, sudah mengehentikan motor tapi tanpa turun dari atas sana. "Lo ngapain jalan kaki di sini?" bukannya menjawab pertanyaan Eros, Beni malah balik bertanya. Apalagi pertanyaan Eros terdengar sangat santai seperti mereka hanya berpapasan di koridor, padahal kenyataannya Eros tengah berjalan sendiri di trotoar pinggir jalan. "Itu ..." Eros menunjuk ke arah sampingnya, agak jauh di depan sana, masih terdapat angkutan umum yang tadi berhenti. "Busnya mogok." lanjut Eros. "Lah iya, ya. Yo dah yok bareng gue aja," Beni mengajaknya dengan riang, dia sendiri sudah paham betul kalau setiap harinya Eros selalu berangkat pagi menggunaan bus. Tapi kenyataannya Eros malah menggeleng, menolak ajakan Bei. "Gue mau pesen ojol Ben." "Ngapain? kan gue ada," Harusnya Eros senang dong, bisa hemat bajet, dari pada merogoh uang yang cukup hanya untuk membayar ojol, kan lebih baik mereka berangkat bersama. "Tapi ..." Eros hendak menolaknya lagi. Hanya saja Beni sudah kekeh untuk membawa Eros bersamanya saja. Ia malah senang kalau ada teman berangkat. Sebab biasanya Beni selalu sendirian. "Gue udah siap berangkat kok, mau berangkat pagi ini gue. Tapi gue pulang dulu ngambil tas." Melihat Eros yang masih sedikit ragu, Beni pun menjelaskan. Beni tahu kalau Eros itu selalu berangkat pagi, jadi mungkin yang Eros khawatirkan itu Beni malah akan membuat Eros ke sekolah sedikit siang. "Hm, okay." Beni tersenyum penuh kemenangan karena Eros akhirnya menerima. Beni sudah menganggap Eros sebagai temannya yang cukup dekat, walau mereka baru kenal dua bulan ini. "Cepet naik!" Perintah Beni pada Eros yang masih diam saja "Iya," Karena itu Eros menghampiri motor Beni, dan duduk di boncengan motor itu. Setelah merasa Eros siap, Beni langsung menjalankan motornya menuju rumah untuk mengambil tas yang seperti Beni kata tadi. Suasana pagi yang tak terlalu ramai kendaraan, tapi tetap suara angin keras yang terdengar membuat Eros yang bertanya pada Beni harus sedikit mengeraskan suaranya. "Btw, dari mana?" Eros bertanya seperti itu karena Eros tau, Beni jarang sekali siap-siap atau mau berangkat pagi seperti ini, dia cenderung suka mepet menjorok ke terlambat. Beni sedikit menoleh, "Hah, Rumah sepupu," "Ngeselin banget semalem nginep sepatunya ditinggal malah suruh anterin," lanjut Beni dengan nada menggebu-gebu yang kentara. Jadi Eros tau kalau Beni tengah sedikit emosi. Sebenarnya lagi, tidak heran kalau ia bisa bertemu dengan Beni di pinggir jalan, sebab Eros sudah pernah di beri tahu kalau Beni itu tinggal di daerah perumahan dekat sini. "Oh ..." "Lo nggak tanya, tumben gue rajin berangkat pagi?" tanya Beni dengan menolehkan kepalanya sedikit ke samping, tanpa melepas pandangan ke arah jalanan. "Hm," Eros mengangkat alisnya sebelah, untuk apa memang? Bukannya alasannya itu karena adik sepupunya? "Ya karena __" "Gue nggak tanya kok Ben." Eros tersenyum setengah detik setelah mengucapkan itu. Senyum tulus berniat ada candaan, tapi kalau orang lain melihat malah seperti senyum Psychopath menyeramkan. "Bangke, mulai ngeselin ya lo Ros." Mungkin Beni memang mengumpat, tapi dia tidak marah juga. Dia malah sedikit senang, akhir-akhir ini Eros terasa sedikit berbeda dari pada biasanya yang cenderung sangat pendiam dan tertutup. Entah efek dari apa. "Enggak kok." Lagi-lagi Eros tersenyum, dan senyumnya itu naik level menjadi satu detik penuh. Selama perjalanan yang tidak terlalu jauh itu Eros dan Beni saling bercakap, tidak, maksudnya Beni yang banyak bicara sedangkan Eros hanya menanggapi sebisanya. Dan setelah itu mereka tiba di pelataran depan rumah Beni. Rumah minimalis yang nampak sepi itu. "Udah sampe." Eros berinisiatif segera turun dari boncengan motor Beni, di ikuti sbag empu sendiri. "Yok masuk. Rumah gue sepi, nyokap bokap lagi ke rumah nenek soalnya," Ajakan Beni ternyata lagi-lagi di tolak dengan sebuah gelengan oleh Eros. "Nggak usah Ben, di sini aja, cuma ambil tas doang kan?" Em ... Awalnya mungkin Beni hendak tidak setuju. Tapi apa yang di kata Eros benar, dia hanya hendak mengambil tas lalu keluar kembali. "Iya sih, ya udah, bentar yak." Eros mengangguk lagi. Dan Beni yang melihat pun segera masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Eros yang berdiri di samping motor. Eros menunggu, tanpa sengaja tatapannya tertuju pada kaca sepion motor Beni. Dan di sana Eros melihat rambutnya yang sedikit berantakan karena tersapu angin jalanan yang cukup kencang tadi, apalagi dia tak memakai helm kan. Eros pun membenarkan rambutnya itu, rambut rapinya harus seperti ini, seraya menunggu Beni yang tak kunjung tiba. Lima menit ... Sepuluh menit ... Lima belas menit ... Dahi Eros makin berkerut sudah selama ini Eros menunggu tapi Beni tetap tak menunjukkan batang hidung besarnya itu. Padahal saat ini kalau di hitung dari mereka tiba sudah hampir dua puluh menit. Tunggu ... Apa mungkin telah terjadi apa-apa dengan Beni di dalam! Harusnya Eros mengeceknya? Baru saja pemikiran tersebut terlintas di benak Eros, rupanya Beni malah sudah tiba dengan senyum canggung, seperti Beni sadar jika Eros telah menunggu lumayan lama. Apalagi Eros hanya menatap dengan wajah tanpa ekspresi. "Ros ... Hehe sorry ya ..., Niatnya cuma ambil tas sih, tapi panggilan alam nge kode mendadak, jadi ya gitu deh." Tertebak. Eros sempat terpikir jika Beni tengah bab. Dan rupanya benar. Jadi Eros hanya mengiyakan saja. Lagi pun, dia di sini hanya 'nebeng' istilah. Jadi Eros harus terima saja bukan. "Iya," "Ros, lo ikhlaskan gue boker dulu tadi?" tanya Beni, sebab wajah Eros sangat datar, mungkin biasanya memang seperti ini, tapi kali ini tingkat datarnya terasa bertambah. "Iya Ben. Ayo berangkat." Mau tidak ikhlas bagaimana toh Beni sudah terlanjur. Eros sedikit menyesali sih kenapa dirinya tidak memesan ojol saja seperti niat awal dan meninggalkan Beni yang masih di dalam rumah. Tapi dia juga tidak enak, karena sudah mengiyakan untuk berangkat bersama. Jadi ya, bisa di bilang hari ini Eros harus terima. Dan hari ini adalah rekor terbesar untuknya setelah dua bulan lamanya bersekolah, baru berangkat cukup siang. Atau mungkin ini first experience bagi Eros. Dan kali ini dia akan merasakan bagaimana menjadi siswa normal di SMA Andara. Karena selama ini dia malas berangkat pagi sebab ramai, tapi kali ini kemalasan itu harus di buang jauh-jauh, ya mau bagaimana lagi, sudah terlanjur. "Hehe siap," Beni menyerahkan satu helm pada Eros, dan langsung di sambut oleh temannya itu. Siap dengan helm yang di pakai, juga sudah menaiki motor. Beni pun langsung menancap gas membelah jalanan komplek, menuju SMA Andara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN