Tadi itu apa?

1163 Kata
Berjalan beriringan dengan Pak Heri membuatku berbunga-bunga. Ahihi, senang bukan main! Dan lagi dia bela-belain datang ke sekolah buat bertemu denganku. Asoy kan? Pak Heri masuk duluan. Dia memberi isyarat agar aku duduk. "Kerjakan di sini!" titahnya. Aku melongo. Lah, gak diajarin? Aku kan gak bisa diginiin? "Kenapa malah bengong?" "Eh, enggak, Pak. Saya cuma gak ngerti gimana ngerjainnya." Pak Heri menghembuskan nafas lelah, mungkin dia kesal karena otak lemotku? Aish, ini kan bukan mauku kayak gini! Tapi walau nampak kesal, Pak Heri bangkit dan duduk di sampingku. Aduh, kalau duduk berdampingan kayak gini, aku jadi merasa akan diresmikan. Jadi kekasih halal misalnya, eh. "Mana yang belum?" tanyanya dengan nada datar. "Ini Pak," telunjukku menunjuk nomor terakhir. "Nah, ini sudah setengah jalan. Tinggal kamu selesaikan!" "Bagaimana caranya?" "Itu ada rumusnya! Bima sudah menulis dengan lengkap. Tinggal kamu masukin angka-angkanya." Otakku berpikir keras. Mikir ayo mikir! Kok malah kleyengan sih? Ah, buntu! "Tapi ini kok beda, Pak?" "Coba kamu pelajari baik-baik! Dan ikuti rumusnya!" Duh, gimana ini? Kirain bakal ada kejadian luar biasa gitu, kayak hal-hal berbau romantis misalnya? Lah ini? Malah kleyengan suruh ngerjain sendiri! Mataku menyusuri setiap angka dan huruf di rumus itu. Ya, sedikit menemukan jalan keluar! Tanganku mulai menorehkan isi kepalaku. Tapi apa bener ini isinya? "Pak," ucapku ragu. "Ya?" "Isinya, gini bukan?" Aku memperlihatkan hasil perjuanganku barusan. Pak Heri mengulum senyum, "nah akhirnya kamu bisa juga kan?" Mataku langsung berbinar, "wah, serius, Pak? Ya ampun ternyata saya bisa juga ya?" "Tentu saja, karena saya yakin kamu sebenarnya pintar hanya kurang rajin saja." "Maksud Pak Heri?" "Gini deh, Put. Kamu suka sama saya?" "Bapak jangan nanya itu lagi, saya malu!" jawabku dengan tersipu. "Kamu tahu tipe wanita yang saya sukai?" "Eh?" tentu saja aku mau tahu Pak! Tapi aku gak berani bilang, a***y! Malu lah! Pak Heri menatapku lama, dia kayak berpikir mau ngomong apa. Lalu tangannya meraba dahiku. Duh, mau diapain sih ini? Aku kan gak sakit! Deg-degan stadium 4 ini! "Dengar! Saya suka wanita dengan otak yang cerdas. Pakai ini dalam tindakan kamu!" ucapnya. Lalu menurunkan tangan dari dahiku. Oh, nyuruh mikir kali ya? "Iya, Pak. Saya tahu otak saya gak seencer itu." "Put, di dunia ini gak ada orang yang bodoh atau otaknya gak encer seperti yang kamu bilang barusan." "Apa?" "Ya, yang ada adalah orang rajin dan orang malas. Nah, kamu pilih mau jadi yang mana?" "Rajin atau malas?" "Benar. Dan pilihan kamu saat ini menentukan masa depan kamu. Mau jadi apa nanti?" Aku diam. Otakku bekerja sekarang. Wait, mau jadi apa? "Saya mau jadi ibu rumah tangga yang baik, ya, itu saja!" Pak Heri melongo, "itu cita-cita kamu?" "Hehe, iya, Pak." "Ck, kenapa kamu pilih itu?" "Ya, kan biar dapat pahala kayak mama. Terus gak usah mikir berat-berat juga." "Kamu ini! Denger ya, jadi ibu rumah tangga juga butuh ilmu!" "O ya? Masa sih, Pak?" "Tentu saja! Nanti kalau kamu jadi ibu rumah tangga, kamu kudu pinter didik anak kamu. Dan itu butuh ilmu juga. Ilmu psikologi, ilmu parenting, dan banyak lagi." "Ah, mendinglah, Pak. Gak ketemu sama matematika kan?" "Haha, Putri-putri! Kamu pikir mama kamu ngurus uang gak pake ilmu matematika?" Aku melongo, "maksud Pak Heri?" "Coba kamu pikir. Mama kamu dikasih uang bulanan sama papa kamu. Nah, di sana ilmu matematikanya dipake. Gimana caranya membagi kebutuhan buat sekolah, makan, jajan, dan kebutuhan dapur selama satu bulan ke depan." "Woah, iya bener juga, Pak! Bahkan Papa muji Mama karena pinter ngatur uang." "Nah itu! Jadi?" "Jadi apa, Pak?" "Kamu mau jadi apa?" Istri Bapak! Aeh, maunya! "Ya, jadi yang rajin aja deh, Pak!" "Nah, begitu! Rajin belajar yang bener! Harus punya target juga kamu!" "Ah, iya, baiklah Pak!" "Bagus. Sekarang target kamu apa?" tanya Pak Heri. Duh, berasa sedang ditanya siap nikah nih. Matanya itu lho, bikin dug-dug ser wadaw! Nikah sama Bapak! Eh tuh kan ke sana lagi otaknya! Hadeuh! "Target saya... mm, apa ya?" "Kamu gak punya target?" Aku nyengir. Bingung mau jawab apa. "Target tahun ini gitu, Pak?" "Ya iya, terserah kamu. Misal kamu punya target tiap tahun. Nah, tentukan apa saja." "Mm, target lulus aja deh, Pak!" "Kamu kan masih kelas XI?" "Ya maksud saya nanti saya targetnya dapat nilai bagus sampai saya lulus." "Baguslah! Nah, mulai sekarang kejar target kamu! Belajar lebih rajin lagi, oke?" "Siap, Pak!" "Kamu nih, dasar!" ucapnya sambil mengacak rambutku! Haduh, tolong Pak! Itu kelakuan tangannya bikin nari India dalam hatiku makin kenceng ini! Lalu setelah itu Pak Heri bangkit dan kembali ke kursinya. "Kalau sudah beres, kembali ke kelas lalu bawa ini untuk Papa kamu!" ucap Pak Heri sambil mengeluarkan kantong plastik hitam berukuran sedang. "Ini apaan, Pak?" "Kepo kamu! Udah bawa saja! Papa kamu sudah tahu, kok!" Aku mengambilnya dari tangan Pak Heri. Cuma dasar lagi apes, maksud hati hendak berbalik pergi, eh, tuh kantong kresek malah nyangkut tangkai bunga yang ada di atas meja Pak Heri. Alhasil, kantongnya sobek lalu isinya berhamburan keluar. Ternyata pakan ikan. "Duh, maaf, Pak! Saya gak sengaja!" "Ck, makanya hati-hati!" Aku jongkok dan mulai membersihkan pakan ikan yang bertebaran di kolong meja Pak Heri. Tanpa diduga, Pak Heri ikut jongkok dan membantuku. "Sini kantongnya!" ucapnya. Tangan Pak Heri sudah penuh dengan pakan yang ia ambil. "Ini, Pak!" Pak Heri menatapku sambil tersenyum kecil. "Bapak kenapa?" Duh, kok gemesin sih Pak! Jangan tersenyum kek gitu dong! Bikin aku gak bisa tidur nanti! "Kamu lucu sekali!" Anjay! What? Apa dia bilang? Aku gak tuli kan? Dia bilang aku lucu? Aw, aw! Aku tersandung! Eh, tersanjung! "Ehehe, Ba-bapak bisa aja!" Pak Heri hanya tersenyum lalu tangannya kembali sibuk mengambil pakan. Begitu pun denganku. Oke, kolong meja Pak Heri sudah bersih. Sekarang tinggal yang berserakan di dekat rak buku. Aku hendak berbalik untuk membersihkan rak buku. Dan posisiku masih jongkok seperti tadi. Tapi saat berbalik, alangkah terkejutnya aku. Pak Heri berada tepat di belakangku. Alhasil aku hampir saja jatuh. Pak Heri menahan punggungku agar tidak terjengkang ke belakang. Jarak wajah kami tak lebih dari 2 sentimeter. Ya ampun! Apa ini?! Wajah Pak Heri dari dekat! Bahkan harum parfumnya bisa kucium. Mata Pak Heri seolah memaku membuatku diam. "Pu-putri..." bisiknya pelan. Matanya masih fokus ke mataku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Sepertinya ribuan kembang api sudah meletus-letus di hatiku dari tadi. Pandangan Pak Heri kemana itu? Matanya mengarah ke... bibirku? Alamak! Apa ini akan terjadi? Seperti di drama-drama romantis? Apa dia akan menciumku? Ya Tuhan! Aku belum pernah merasakannya! Tatapan Pak Heri kok agak lain dari biasanya! Dia menatapku dengan tatapan yang... argh! Aku tidak mengerti! Tapi yang jelas hal itu malah membuat jantungku semakin gencar melakukan konser dangdut! Bahkan telingaku sendiri bisa mendengar suara dag-dig-dug dari jantungku. Saat tatapan kami kembali bertemu sepersekian detik kami diam. Tak ada yang bersuara. Lalu tiba-tiba Pak Heri mengerjap dan bangkit melepaskan pegangan tangannya di punggungku. "Lain kali hati-hati!" ucapnya lalu kembali duduk dan beberapa kali mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan. "Tadi itu... apa, Pak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN