Asing?

1376 Kata
"Tadi itu ya bukan apa-apa! Sana pergi! Pak Deden sudah menunggu kamu di kelas!" Dih, Pak Heri kenapa sih? Udah sukses bikin hatiku cenat-cenut barusan, eh dia ketus lagi, hadeuh! Asem memang! Aku bangun dan merapikan rokku. Lah, dia malah kembali anteng dengan bukunya. "Pak, kalau gitu saya ke kelas dulu ya?" ucapku. Kalau gak pamit gak enak kan? Kesannya gak sopan. "Hm," jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari buku. "Pak, makasih lho, udah ngajarin saya!" ucapku. Kali aja dia mau noleh dan bilang 'sama-sama' sambil memberikan senyum malaikatnya. Ugh! "Hm," jawabnya lagi masih tetap di posisi yang sama. Lah, jawabnya ham-hem gitu sih? Awas ya, kukerjain sekalian! "Pak, bapak suka sama saya ya?" "Hm." "Wah, serius, Pak?! Bapak suka sama saya?!" Pak Heri terkejut lalu mencebik kesal, "Kamu tuh ya? Ngerjain guru sendiri? Gak sopan tahu!" Kena lu! "Hehe, maaf lho Pak, saya cuma bercanda kok, habisnya Bapak jawabnya ham-hem terus sih," jawabku sambil cengengesan. "Sana pergi!" titahnya dengan nada galak. Kok malah bikin gemes sih, Pak? Hm, pengen uwel-uwel deh! "Pak," panggilku. Ngerjain dia seru ternyata. Eh, ada yang salah sama bukunya. "Apalagi sih, Put?" tanyanya menahan kesal. "Ngomong-ngomong itu bukunya kebalik lho?" Pak Heri baru sadar dan buru-buru membalikkan bukunya. "Saya sengaja. Sudah sana masuk kelas! Atau saya telpon papa kamu kalau anaknya ngerecokin saya terus!" "Eh jangan dong, Pak! Iya, iya, saya masuk sekarang!" Dih, main ancam aja bisanya! Emang bener kok tadi bukunya kebalik. Dasar aneh! Apa dia bilang? Merecokin? Lho, siapa yang duluan ngajak ngerjain tugas di ruangannya coba? Kenapa dia mendadak amnesia sih? Argh! menyebalkan! Aku keluar sambil misuh-misuh. "Kamu kenapa, Putri?" tanya seseorang seperti suara ... guru?! Sial, tanpa sadar aku sudah sampai di kelas. Dan menghentakkan kakiku dengan kesal. "Eh, Pak! Maaf, ini ada semut menyebalkan di kaki saya, hehe." "Cengengesan aja kamu! Mana tugasnya sudah selesai?" "Oh ini, Pak. Sudah kok!" Pak Deden menerima buku dariku. Kening beliau berkerut lalu melihat wajahku dengan seksama. "Bener semua ini. Coba kamu kerjakan di depan!" "Ha? Lagi, Pak?" "Iya, teman kamu pada udah itu! Tinggal kamu saja!" Oke, siapa takut! Pak Heri bilang kan tinggal pelajari soalnya dan masukkan rumusnya, gampang! Dengan terampil aku tulis soal dari Pak Deden berikut rumus-rumus yang kupelajari tadi. "Selesai," ucapku lalu mengembalikan spidol pada Pak Deden. Hening. Gak ada yang bicara termasuk Pak Deden. Kok pada bengong sih? "Pak? Kenapa? Ada yang salah?" Lha, pemilik lapangan bola di kepala ini kenapa? Keselek lalatkah? Kok melongo? Prok... prok... prok...! "Hebat kamu, Put! Saya senang dengan kemajuan kamu! Tidak sia-sia saya ngajarin kamu ternyata!" Semua mengikuti Pak Deden. Memujiku. Wuh, rasanya senang ternyata. Apa dia bilang? Diajari sama Pak Deden? Ho, salah besar, Pak! Kalau sama Bapak bukannya ngerti, tapi malah tertarik baca doa tidur. Dan ternyata sebuah fakta baru kutemukan. Bahwa untuk menyukai sebuah pelajaran yang tak kalah penting bukan hanya bagaimana caranya guru mengajar, tapi juga bagaimana guru bisa disukai murid agar mampu menjadi daya tarik bagi muridnya. Jangan sampai semua tertarik pada Pak Heri deh, cukup guru-guru itu saja! Kan bisa repot kalau sainganku terlalu banyak. Setidaknya di kelas cuma aku yang ngebet suka pake banget. Anak lain sukanya sama Pak Deden aja deh kalo bisa. Tapi kalau semua tertarik pada Pak Deden sih repot juga. Ntar rebutan minta ngelus kepala botaknya kan gak lucu. Hahaha. "Lo kenapa ketawa mulu sih, Put? Seneng ye, dapat pujian mujur dari Pak Deden!" Lisa menyikut lenganku. "Ck, sotoy lo! Bukan itu lah," jawabku sambil mesem-mesem. Pak Deden mengakhiri jam pelajaran. Anak-anak mulai ribut dan berhamburan keluar menuju kantin. Tadinya aku mau tidur, ngantuk. Tapi perut malah keroncongan. Ck, ikut ke kantin ajalah. "Tumben lo kemari, Put? Laper?" "Iya, kalau kebelet gak kemari gue." Asem banget sih punya teman. Mulut Lisa emang lebih tajam dari kapak. "Eh, Put gue penasaran tadi di kelas kenapa lo mesem-mesem meong gitu sih?" "Ah, itu. Gue dapet durian runtuh." "Jangan ngawur lo! Di sini mana ada pohon durian?" "Ish, lo! b**o suka dipiara ya? Kagak bakalan untung tahu! Mending piara ayam bisa dapat telor! Gue lagi seneng pokoknya." Tanganku mengambil kertas pembungkus gorengan dan mulai mencomot 2 bakwan, satu gorengan tempe, dan 2 lontong. Ah cabenya juga jangan sampe ketinggalan. "Put, cerita dong! Jangan bikin gue mati penasaran nih!" "Gaya lo, mau cepet mati aja, kayak udah banyak amal!" "Ya cepetan cerita!" "Okay, Nona! Gue cerita. Bentar deh, nyicip bakwan dulu satu. Duh masih anget nih!" "Ck, buruan ih!" "Baiklah, baiklah, jadi gini tadi itu gue ketemu sama Kak Bima." "What? Lo ketemu Bima? Terus dia nembak lo gitu?" "Ish, kagak! Lagian kalo iya juga gue gak mau!" "Kenapa? Bukannya lo naksir sama Kak Bima?" "Gue udah pindah haluan!" "Ah, ya. Terus-terus?" "Nah, kan dia bantuin gue tuh, eh tiba-tiba dateng... eh, orangnya ada! Orangnya ada!" seruku panik lalu pura-pura sibuk dengan bakwan. "Apaan sih lo?" "Itu yang bikin gue nyut-nyutan tadi! Udah ah, ntar dia denger kan berabe!" Lisa celingak-celinguk. Ngapain tuh bocah! Yang ada malah Pak Heri jadi curiga kalau aku lagi gibahin dia nanti! Lisa mendekatkan wajahnya padaku. "Oh, Pak Heri ya orangnya?" bisiknya pelan. Aku mengangguk lalu berbisik juga, "dia hampir kiss gue tadi." "Uhuk! Apa?! Kiss?!" k*****t! Si Lisa malah teriak! Secepat kilat aku menutup mulut embernya itu. Semua penghuni kantin serentak melihat kami. "Maaf, maaf, kami lagi bahas drama korea ini, hehe. Silahkan lanjutkan!" ucapku ramah. Gila! Nyari mati nih anak! "Hmph, lepas ih!" Lisa membuka bekapan tanganku dari mulutnya. "Lo sih ember! Pake rem dikit napa?" "Abis yang lo bilang kayak suara petir di pagi hari. Kaget gue." "Kaget kan? Gue juga. Abis gitu dia pake salting pura-pura baca buku eh kebalik tuh bukunya! Gimana gue gak mesem-mesem coba?" Lisa menatapku curiga, "bentar deh, jangan-jangan lo mimpi lagi ya?" "Ish, kagak! Beneran kok ini." "Kok gue gak percaya? Tuh lihat! Pak Heri biasa-biasa aja kelihatannya. Padahal kan lo ada di sini. Kalau bener dia suka, pasti udah nyamperin ke sini." "Ih benar kok, tadi tuh gak sengaja kita mungutin pakan ikan yang berserakan. Terus aku mau jatuh dia tahan dan hampir cium gue, suer!" "Halah, lo kalo mimpi jangan ketinggian napa?" Ih Lisa k*****t! "Lo gak percaya?" "Enggak. Coba kalau tadi benar, habis ini lo buktiin ke gue kalau Pak Heri hampir kiss lo!" "Caranya?" "Lo ikutin dia, terus ajakin ngobrol. Kalau dia respect berarti emang bener dia suka sama lo!" "Bukan suka Lis, cuma hampir kiss doang kok, jauh amat lo! Bikin gue makin mupeng aja ah!" "Ck, cowok mau kiss berarti dia ada rasa sama lo, dodol!" Wih, benarkah? Makin terbang aja deh aku hari ini. Ah, jadi penasaran. Pengen buktiin benarkah Pak Heri suka sama aku? Oke aku terima tantangan Lisa. "Oke, gue akan cari tahu. Lo lihat sendiri ya? Eh, itu Pak Heri udah mau pergi. Gue ikutin dia, lo ngintip di belakang gue, oke?" "Gue takut bintilan, anjir!" "Kagak, lo ngintip atas seijin yang diintip. Aman!" "Okeh. Mulai!" Aku bangkit dan merapikan bajuku. Duh, berasa mau masuk kontes nih. Pake deg-degan segala. "Ekhm, Pak. Makannya udah ya?" "Iya." Yah, kok singkat sih? Ck, ah gak asik. "Pak, jajannya kok dikit?" "Terserah saya." Anjir! Kok makin pahit sih? "Pak, Papa saya pasti suka sama pakan ikan dari Bapak." "Emang pesenannya, kok." Dih, mulutnya kok jadi cabe gendot pake aida begini sih? Pak Heri membayar jajannya dan berjalan meninggalkan kantin. "Pak, mau pulang ya?" "Bukan urusan kamu!" jawabnya tanpa melihatku. "Pak lagi datang bulan ya? Kok ketus amat?" "Kamu mau saya laporin ke Pak Ujang?" "Eh, enggak, Pak! Bapak pergi aja sok, gak apa-apa!" Aku panik. Jangan sampai deh, Papa tahu kelakuanku. Bisa gawat! Alamat diputus uang jajan selama sebulan! Pak Heri hanya geleng-geleng kepala lalu pergi meninggalkanku. "Bwahahahah... udah gue duga, hahaha!" Tawa menyebalkan Lisa langsung menggema begitu Pak Heri berlalu. "Apa lo? Seneng? Teman macam apa lo?" "Eh, justru gue sayang sama lo, Put! Gue gak mau lo ngayal terus, bisa gila tahu gak? Udah deh, lagian lo suka sama guru! Jauh amat, Put! Mending gue dukung lo sama Kak Bima aja. Cakep juga kok, Put!" "Ck, gue bukan mimpi! Gue juga heran. Kenapa sekarang Pak Heri jadi terasa asing begitu ya? Aneh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN