Pagi hari adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi hari ini ada jadwalnya Pak Heri. Whoah, semangat 45 ini, pake baju paling rapi dengan setrika ulang plus pewangi. Dan jangan lupakan nyisir rambut biar gak kusut.
Aku mematut diriku di depan cermin. Oke, sempurna!
"Rapi bener anak Mama," Mama menyapa di halaman rumah. Beliau sedang nyiram bunga dan si kecil Anggi asyik main air.
"Iya, nih, Ma. Eh, mana ongkosnya Ma?"
"Ah iya, sampe lupa, bentar," Mama merogoh sakunya. Mengeluarkan uang lembar 20ribuan dan menyerahkannya padaku. Weh, tumbenan uang jajannya gede?
"Ini serius buat aku semua, Ma?"
"Enak aja! Jatah kamu seperti biasa, 15 ribu. Nah nanti kembaliannya beliin es cendol sepulang sekolah."
"Yah, kirain!" jawabku lesu.
"Eh, gak boleh gitu, Nak! Bersyukur kamu masih bisa jajan! Tuh lihat Si Mardi anaknya Pak Udin, boro-boro bisa jajan, sekolah aja putus toh? Mau kamu?"
"Ish, Mama! Ya enggaklah, Ma!"
"Makanya bersyukur aja udah!"
Ya, ya, ya. Tiap hari dapat ceramah gratis. Mama bukan sekali dua kali mengajarkan aku tentang syukur. Hanya melihat dan menikmati rezeki yang Allah beri pada kami. Kalau mau lihat orang, harus sama mereka yang nasibnya berada di bawah kita. Biar syukurnya selalu ada. Kata Mama, kalau lihat ke atas malah bikin sakit hati dan jauh dari rasa syukur. Iya sih, secara logika juga ada benarnya. Kalau lagi jalan lihatnya tuh ke bawah, kalau ke atas kan bisa jatoh atau kesandung.
Aku mengambil sepedaku. Setiap hari memang seperti ini. Pergi ke sekolah dengan sepeda kesayangan.
Baru setengah jalan, tapi kenapa rasanya kok ban sepeda belakang kayak kempes ya? Duh, mana di tengah jalan sepi kek gini lagi! Masa iya harus dorong sepeda sampe sekolah? Masih jauh ini!
Walau bagaimana pun aku harus sampai ke sekolah tepat waktu. Gak lucu kan kalau aku kesiangan saat jamnya Pak Heri! Duh, alamat gak dimasukin ke kelas kalau kayak gini ceritanya!
Tin-tin!
Weh, mobil siapa tuh? Kayak kenal? Kok melambat sih? Apa mau berhenti di depanku ya? Misalnya menawarkan tumpangan gitu?
"Put! Sepedanya kenapa?" seseorang keluar dari mobil. Eh, Kak Bima!
"Hehe, ini Kak, bannya kempes. Mana jauh ke bengkel lagi!"
"Ya udah, kamu ikut saya aja," ajak Kak Bima.
"Mau sih, Kak. Tapi sepedanya gimana?"
Kak Bima nampak berpikir. Lalu ia melirik sopirnya yang diam dari tadi.
"Mang, bisa tungguin sepedanya Putri di sini? Nanti saya telpon orang untuk jemput!" perintah Kak Bima. Weh, keren ya, bisa nyuruh-nyuruh gitu! Aku sih bukannya nyuruh, tapi disuruh tiap hari. Aeh, syukur Put, bersyukur! Hadeuh!
"Tapi Den Bima berangkatnya gimana?"
"Saya yang nyetir!"
"Den Bima gak apa-apa? Saya takut Tuan marah nanti kalau mengijinkan Den Bima nyetir sendiri!"
"Gak apa-apa, Mang! Lagian nanti kalau sepedanya udah ada yang ngambil, Mang Juned langsung aja ke sekolah ambil mobilnya. Ya?"
"Em, iya deh, baik Den!"
"Yuk, Put!"
Dengan wajah berseri akhirnya aku masuk ke mobil Kak Bima. Mang Juned manut dan langsung berdiri di samping sepedaku. Sebelum mobil melaju, aku harus memastikan sepedaku aman.
"Mang, titip sepeda saya ya? Sepeda keramat ini!"
"Iya, Neng!"
Kak Bima nampak tersenyum geli, lalu melirikku yang duduk di sampingnya.
"Kamu tenang saja! Nanti pas pulang sekolah, sepedamu sudah kembali dengan selamat."
"Duh, jadi ngerepotin Kak Bima nih!"
"Santai saja, cuma hal kecil, kok."
Sekolah sudah ramai saat kami sampai. Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Aku keluar dari mobil Kak Bima.
"Makasih ya, Kak!"
"Ya, sama-sama!"
Huff, akhirnya aku sampai ke depan kelasku tanpa kesiangan.
"Tumben kamu gak pakai sepeda?"
Hah, siapa tuh? Weh, pujaan hati sudah menyapa. Pak Heri berdiri di belakangku dengan beberapa buku di tangannya.
"Ah, iya, Pak! Anu, sepeda saya bannya kempes."
"Tadi kamu dianterin siapa?" tanya Pak Heri.
"Saya nebeng sama Kak Bima, Pak!" Kebetulan dia lewat pas saya lagi bingung di tengah jalan."
"Oh, ya udah masuk!"
Pak Heri masuk duluan. Ini percakapan normal antara kami setelah insiden di ruangan Pak Heri itu. Sebab sebelumnya, Pak Heri seperti menghindar dariku. Ah, atau cuma aku yang terlalu perasa ya? Buktinya barusan Pak Heri biasa-biasa saja.
"Put, tumben lo barengan sama Pak Heri. Jangan bilang lo nguntil dia sampe ke rumahnya?" tanya Lisa penuh curiga.
"Ck, gaklah! Gue gak segila itu, Lis!"
"Lo beneran berangkat bareng sama Pak Heri?"
"Enggak, gue tadi ke sini sama Kak Bima."
"Apa?!"
"Ayo semuanya, kita berdoa dulu! Pelajaran akan dimulai!"
Intruksi Pak Heri membuat Lisa diam. Ilham memimpin doa seperti biasa. Ah, hari ini aku sangat bersemangat sekali. Tahu kenapa? Karena semalam aku berjuang mati-matian memperlajari rumus-rumus kimia yang bikin sakit mata itu. Lumayanlah, ada yang nyangkut dikit-dikit.
"Put, tumbenan lo gak mohes hari ini?"
"Tidur gue full," jawabku asal. Mataku masih tertuju pada pria tampan yang sedang menjelaskan pelajaran dengan sangat gagah.
"Faham semuanya?"
"Faham, Pak!"
"Oke, saya kasih contoh soal. Siapa yang bisa menyelesaikan?"
"Saya, Pak!"
Semua mata menatap kaget padaku. Hoho, untuk pertama kalinya dalam sejarah Putri Si Tukang Tidur ini mengacungkan tangan untuk unjuk gigi di depan kelas.
Setelah hening beberapa saat, Pak Heri lalu memberikan spidol padaku.
"Ini, kerjakan!"
"Siap, Pak!"
Haha, jangan salah! Ini hasil kerja kerasku semalam! Gampang!
Lagi-lagi semua terpana dengan apa yang kulakukan.
"Selesai," jawabku mantap.
Pak Heri menelaah hasil kerjaku di papan tulis.
"Oke, good Putri! Ada pertanyaan?"
"Pak, tumben Si Puput otaknya nyambung!"
"Iya tuh, biasanya jam segini ileran lo, Put!"
"Hahaha, lagi dapat wangsit kali!"
Anjay! Emang teman sableng semua ya? Mau ngegas lawan mereka kagak bisa, ada pujaan hati di depan. Ntar dia takut kalo aku keluarin tanduk.
"Siapa yang membuat otak kalian atau Putri atau siapa pun itu menjadi lebih jernih?!"
Tanggapan tegas Pak Heri membuat semua mulut k*****t itu diam. Ya, baru kali ini Pak Heri mengeluarkan nada yang tinggi beberapa oktav. Oke, ini membuat kaget terus terang saja. Sebab, Pak Heri emang gak galak, tapi tegas. Salah ya dihukum tapi gak pake bentakan.
Kelas jadi senyap. Pak Heri mendekat ke arah anak-anak yang tadi meledekku. Rasain lu!
"Apa kalian merasa lebih baik dari Putri? Ingat, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jika seseorang berubah ke arah yang lebih baik, apa harus ditertawakan? Bagaimana jika posisi itu berada pada kalian?"
Sumpah! Aku terhuraa... eh, terharuu. Duh dibelain pujaan hati coba? Gimana gak mupeng aku!
"Dan kamu Putri!" Walakadalah! Aku kena juga!
"Eh, apa, Pak?"
"Saya senang dengan perubahan kamu. Kamu tahu apa yang membuat teman-temanmu seperti ini?"
"Ha?" Aku melongo.
"Kamu sendiri. Coba ubah cara belajar kamu itu! Hilangkan kebiasaan tidur di kelas!"
Aku mencebik kesal melihat seisi kelas menahan tawa melihatku. k*****t!
"Baik, Pak!"
"Oke, bagus! Saya harap semangat Putri dapat menular pada yang lain."
Aku tersipu. Ya ampun, seneng banget dipuji Pak Heri, ahiw!
Pelajaran telah usai, anak-anak mulai berhamburan keluar menuju kantin.
"Lo gak ke kantin, Put?"
"Enggak, ah! Ngantuk gue! Titip gorengan aja ya?"
"Ck. Dasar lo! Baru aja dipuji gak tidur di jam belajar, udah ngantuk lagi!"
"Udah ah, sono! Gue mau mimpiin Pak Heri dulu!"
"Awas ntar ileran!" Lisa ngeloyor pergi meninggalkanku.
Kantuk benar-benar menyerangku sekarang. Mati-matian aku menahan kantuk saat pelajaran Pak Heri tadi. Kata-katanya dulu masih terngiang bahwa dia suka wanita yang cerdas.
"Hai, Put!" Weh, siapa lagi ini? Aku menguap pelan dan melihat ke pintu.
"Kak Bima?"
"Sepeda kamu sudah selesai diperbaiki."
"Oh ya? Duh, aku tidak bawa uang lebih. Nanti ongkos bengkelnya aku ganti besok aja ya, Kak?"
"Gak usah, lagian gak seberapa kok. Cuma ganti ban aja. Lihat sepeda kamu yuk?"
Bah, alamat kagak tidur ini! Kak Bima malah ngajak keluar. Tapi menolak juga rasanya tidak enak. Lagi pula dia sudah baik hati memperbaiki sepedaku.
"Boleh, Kak!"
Kami berjalan beriringan ke depan. Benar saja ternyata, sepedaku sudah terparkir manis di depan. Widih, bannya juga jadi baru!
"Duh, jadi ngerepotin gini, Kak!"
"Gak apa-apa kali, Put! Asal jangan tiap hari aja!"
"Hehe, iya sih. Makasih ya? Gimana caranya aku ngebales kebaikan Kak Bima ya?"
"Gimana kalau kamu temenin aku nge-mall?"
"Wow, Kak Bima suka ke tempat gitu juga?"
"Emang kenapa?"
"Ya, aku kira orang pinter kayak Kak Bima doyannya ke perpustakaan atau museum gitu."
"Haha, kamu lucu! Aku juga manusia kali, Put! Butuh hiburan juga."
"Eh, iya, ya. Bolehlah, nanti aku bilang dulu sama Mama."
"Jam 4 sore gimana? Nanti aku jemput!"
"Boleh, nanti aku kasih kabar kalo Mama kasih ijin."
"Okay!" Kak Bima pergi ke kelasnya lagi. Bell masuk juga sudah berbunyi.
Entah perasaanku saja atau bukan, aku merasa ada yang mengawasiku dari kantor guru. Siapa ya? Penasaran jadinya. Aku pura-pura berjalan cuek sambil sedikit melipir ke arah kantor.
Eh itu kan Pak Heri? Dia yang lihatin aku dari tadi? Aish, dia juga senyum tuh! Apa aku samperin saja ya? Tangan Pak Heri melambai, apa itu ditujukan padaku? Aku celingukan. Tidak ada orang. Ah, Pak Heri manggil aku?
Bibirku melengkungkan senyum termanis dan segera mengambil langkah untuk mendekat.
"Ada ap-" ucapanku terpotong. Seseorang datang dari belakangku.
"Hai, Pak Heri! Sudah lama menunggu?" Wanita dengan penampilan sangat rapi. Ah, seperti seragam sekretaris kantoran mungkin? Dan yang pasti sangat cantik.
Glek.
Sumpah, kalau saja ada lubang di sini, rasanya ingin masuk saja! Malu ya ampun!
"Tidak, kebetulan saya ada jadwal ngajar hari ini. Mari masuk!" ajak Pak Heri pada wanita itu.
Pak Heri melirikku sekilas, "ada apa, Put?"
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, "eh, hehe saya cuma lewat kok, Pak!"
Koplak! Sue banget sih hari ini! Eh Si Ibu itu juga malah ikut senyum padaku. Ngejek ya, Bu? Huhu. Aku malu!
Balik kanan dan segera masuk ke kelas. Ambyar sudah rasa kantukku. Gimana caranya aku bisa menemui Pak Heri lagi? Aku malu!
Alhasil, aku menjeduk-jedukkan kepala ke atas meja.
"Lo kenapa sih, Put?"
"Malu! Malu! Malu!"
"Lah, tumben? Biasanya juga malu-maluin kali, Put!"
"Lis, gue malu! Huhu, Mama!"
"Ini anak kenapa, sih? Put, lo gak salah minum obat kan? Pagi tadi lo bikin heboh sekelas dengan kemampuan belajar lo yang tiba-tiba jadi cerah. Dan sekarang lo jadi aneh gini?"
"Gue malu, anjir!"
"Cerita deh, kenapa?" Lisa menatapku bingung. Dengan menggigit jari, aku ceritakan semuanya.
"Bwahahah! Makanya Put! Lo tuh jangan ketinggian deh kalo mimpi! Jatoh kan jadinya?"
"Jahat lo! Kan mana gue tahu! Orang dia kayak senyum ke gue kayak gitu juga!"
"Eh, tapi cerita lo yang diajak sama Kak Bima itu beneran?"
"Iya, masa gue bohong!"
"Wah, kalo menurut gue sih, Put! Mending lo sama Kak Bima aja lagi, kan udah ada signal tuh!"
"Telat! Gue udah pindah haluan! Lagian gue mau jalan sama dia juga karena dia udah benerin sepeda gue. Yah, hitung-hitung balas budi lah!"
***
"Sama siapa? Laki-laki atau perempuan? Kemana? Sampai jam berapa?"
Duh, gini nih! Baru aja bilang mau main ke mall, udah kena interogasi habis-habisan. Mama emang kayak gini. Tapi Papa jauh lebih serem ding! Bisa-bisa Papa ikutan jalan juga ngawasin aku.
"Sama Kak Bima, Ma! Orangnya baik, kok. Dia kakak kelas aku. Kemarin sepedaku dibenerin sama dia!"
Mama menatap curiga padaku.
"Bau-baunya itu trik dia deh! Biar bisa deket sama kamu ya kan?"
Trik dari mana, Ma? Andai Mama tahu kalau akulah yang sering nempelin Kak Bima kemana-mana waktu kelas satu.
"Enggak, kok. Mana ada, Ma! Aku gak enak, Ma! Ban sepedaku kempes. Katanya bocor. Nah, dia ganti dengan ban yang baru. Mana bagus lagi!"
"Beneran?"
"Iya, Ma. Masa aku bohong?"
"Waduh, iya juga ya? Emang dia gak mau kamu ganti aja gitu uangnya?"
"Dia gak mau, Ma. Lagian Kak Bima itu orang kaya, Ma. Uang segitu gak seberapa kayaknya!"
Mama memegang bahuku. Eh ada apa ini?
"Dengar Put! Walau dia sekaya apapun! Setajir apapun! Ingat, jangan pernah merendahkan harga diri kamu hanya demi hartanya!"
"Eh, apaan sih, Ma? Aku cuma mau jalan doang, kok! Bukan pacaran!"
"Weh, ada yang ngajakin lo jalan, Put?"
Nah ini dia nih! Abang somplakku yang nyebelinnya minta ampun!
"Apaan sih, Bang? Cuma mau bilang makasih doang kok! Dan dia pengen ditemenin katanya!"
Bang Ilham mendekat, "eh, dia udah ada tuh di depan! Pepet aja, Put! Anak holkay keknya!"
"Ilham! Sana bantuin Papa di belakang!" Mama mengusir Bang Ilham.
"Ck, cuma ngajarin adekku ini, Ma. Eh, Put! Perempuan kalo gak matre dapat apa?"
"Ilham! Jangan kasih racun sama adekmu!"
Bang Ilham malah cengengesan lalu pergi ke belakang.
"Jangan dengerin abangmu!"
"Iya, enggak kok, Ma. Jadi boleh ya? Kak Bima udah di depan katanya!"
"Ya udah, eh bentar. Ada yang mau Mama sampein ke temen kamu itu."
Mama ikut ke depan bersamaku. Ternyata benar kata Bang Ilham, Kak Bima sudah menungguku dengan motor gedenya.
"Ini Bima ya?" Sapa Mama.
"Iya, Tante! Saya mau ngajak Putri jalan, boleh Tante?"
"Boleh sih, tapi Tante titip Putri ya? Dia suka ngantuk di jalan kalau naik motor terlalu jauh. Jadi kalau bisa mainnya yang deket-deket aja, ya?"
"Siap, Tante!" Kak Bima memberikan helm padaku. Dia menyalakan motornya dan bersiap pergi.
"Eh, satu lagi! Pulangnya jangan terlalu lama ya?"
"Siap, Tante!"
Akhirnya kami berangkat menuju salah satu mall di kota ini. Di Tasik mall belum banyak seperti di kota besar. Hanya ada beberapa. Tapi gak kalah rame kok sama kota lain.
"Nyari buku yuk, Put!"
"Oh, boleh!"
Tuh bener kan? Orang kayak Kak Bima emang sobatnya buku. Aku membayangkan otaknya mungkin udah berderet buku-buku yang sudah ia baca. Hm, gak pusing apa ya? Katanya sih Kak Bima mau kuliah ke luar negeri. Keren ya?
Kak Bima asyik banget sih kalau sama buku? Jadi ngantuk deh! Ah mending merem bentar deh, sambil nungguin yang asyik sama buku.
"Put! Putri! Jangan tidur di sini!" Aku mendongak.
"Ha?" Kaget asli! Serius! Eh, dua rius malah! Pak Heri ada di depan wajahku sambil tersenyum miring.
"Kamu pikir ini mimpi?"
"Saya mimpi tentang Pak Heri lagi?" ucapku tak percaya. Sumpah! Ini beneran kan?
"Haha, berarti kamu sering mimpiin saya ya?"
Aku celingak-celinguk. Eh ini beneran, coy! Kak Bima menghampiriku dan Pak Heri.
"Weh, saya gak mimpi ternyata! Pak Heri ngapain di sini?"
"Eh, apa kabar Pak Heri?" sapa Kak Bima sambil mencium punggung tangan Pak Heri. Aku ngikutin jangan ya? Baru saja aku berpikir untuk mengikuti tindakan Kak Bima, tahu-tahu tangan Pak Heri sudah lebih dulu terulur di depan mata.
Langsung saja kucium punggung tangannya. Kulirik sekilas, Pak Heri tersenyum kecil.
"Baik, kalian lagi apa berduaan seperti ini?" tanya Pak Heri pada kami.
Kak Bima mengusap hidungnya sambil tersipu.
"Kalian pacaran?" tanya Pak Heri lagi.
"Tidak kok," jawabku cepat.
"Kami sedang main aja, Pak," tambah Kak Bima.
"Lain kali, jangan suka tidur di mana saja, gak baik! Dan kamu Bima, lihat temen kamu ini! Tidur di mana saja. Kalau ada orang jahat gimana?"
"Oh, maaf, Pak. Saya terlalu asyik baca tadi. Sorry ya Put? Gimana kalau kita makan aja, Put?"
"Makan? Boleh. Aku juga udah lapar," jawabku. Emang bener sih, perut dari tadi sudah demo minta isi.
"Kalian makan di mana?"
"Kamu mau di mana, Put?"
"Di mana aja deh, Kak. Asal jangan yang terlalu mahal! Soalnya Mama ngasih uang jajannya juga gak gede, hehe."
Kak Bima tersenyum gemas, "kamu lucu banget!" ucapnya. Tangannya terulur hendak mencubit hidungku. Tapi tak jadi sebab Pak Heri menginterupsi.
"Eh, itu tangannya mau ngapain?" sahut Pak Heri.
Sontak Kak Bima menurunkannya sambil tersipu malu, "maaf, Pak!"
"Ya sudah, kita makan bakso saja! Saya punya tempat yang bagus."
Kak Bima menatap Pak Heri tak percaya, "Pak Heri mau makan bareng kita?"
"Ya, sekalian saya pulang."
Mataku langsung berbinar cerah, "boleh Pak, hehe."
"Ayo!"
Pak Heri bangkit dan berjalan lebih dulu. Aku dan Kak Bima ngekor di belakangnya.
Kami memasuki salah satu gang di belakang mall ini. Lah kok sepi?
"Pak yakin tempatnya ke sini?" tanya Kak Bima.
"Iya, oh ya. Kamu bawa motor kemari?"
"Iya, Pak!"
"Ah, saya lupa! Kalau gitu ambil motormu dulu gih! Nanti masuk ke gang ini ya? Tinggal lurus aja kok!"
"Oh, siap, Pak!"
Kak Bima berbalik arah. Dan Pak Heri menungguku untuk berjalan beriringan dengannya. Gang ini agak luas. Cukup untuk dua motor kayaknya.
"Heri!"
Seseorang berteriak dari kejauhan. Tiba-tiba Pak Heri menarik tanganku dan kami bersembunyi di gang yang lebih kecil. Bahkan badan kami hampir saling bersentuhan.
"Siapa, Pak?" bisikku pelan. Sumpah! Aku penasaran, kenapa Pak Heri panik dan langsung bersembunyi? Aku berniat melihatnya, tapi tanganku ditahan Pak Heri. Ia menariknya hingga tubuhku merapat padanya. Wow, jantungku kembali menggila!
"Sst, diamlah! Dia tunanganku."
Aku nurut. Kami diam beberapa saat. Mata kami bertemu. Tatapan itu. Sama seperti saat insiden pakan ikan yang berserakan. Sebut aku gila jika aku merasa wajah Pak Heri makin mendekat. Harum nafasnya menyebar di wajahku.
Kakiku lemas saat kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirku. Hanya sekilas dan sangat sebentar.
"Jangan pacaran dulu! Kamu masih sekolah!" bisiknya pelan.
Antara percaya atau tidak, aku bengong. Bingung harus bagaimana. Apa tadi itu nyata? Lalu jika nyata yang barusan itu apa? Dan kenapa Pak Heri berbuat begitu jika memang sudah punya tunangan?
Aku bingung!