Apa aku pingsan saja, ya?

1854 Kata
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jakun Pak Heri juga nampak naik turun. Yang tadi itu sungguh membuatku terkejut. Aku hampir jatuh jika tangan Pak Heri tidak menahanku. Lemas ya ampun! Dan sialnya ini yang pertama bagiku. Hello?! Aku dapat first kiss dari guruku. Bukan pacar apalagi suami. Huft, hidup memang penuh dengan kejutan. Pak Heri menengok ke jalan, "dia sudah pergi," ucapnya, lalu melepaskan cekalan tangannya dari tanganku. Aku masih diam. Jantungku belum normal lagi setelah peristiwa barusan. Kami berjalan dalam diam. Hingga kami masuk ke salah satu kedai bakso yang cukup ramai pengunjung. Padahal posisinya berada di gang yang tidak luas. Tapi pengunjungnya cukup banyak. "Pak! Put! Sebelah sini!" aku melihat Kak Bima melambaikan tangannya di meja paling ujung. Tanpa ada percakapan lagi, kami langsung menghampiri Kak Bima. "Kok Pak Heri sama Putri lama. Kemana dulu?" "Ada sesuatu yang menghalangi jalan. Jadi kami agak terhambat kemari," jawab Pak Heri dengan nada santai. Aku hanya diam. Mana berani aku bilang ke Kak Bima tentang apa yang terjadi pada kami di gang tadi. "Oh, mari kita pesan dulu!" Pak Heri melambaikan tangan pada pelayan. Aku melirik Pak Heri. Duh kok dia biasa aja gitu ya? Yang tadi itu urusannya bagaimana? "Put, kamu pesan apa?" Pak Heri! Please! Kenapa bersikap sesantai itu? "Put! Putri!" tangan Kak Bima melambai-lambai di depan mataku. Kaget kan jadinya! "Eh, iya, kenapa, Kak?" "Kamu mau pesan apa?" "Ah, menunya apa saja?" aku mengambil daftar menu yang ada di atas meja. "Hm, yang ini. Bakso larva, kayaknya enak!" "Kamu yakin akan kuat? Ini paling pedas lho?" "Dia memang suka pedas," jawab Pak Heri. Aku hanya mesem sambil meliriknya sekilas. Duh baper lagi aku! Masih ingat ternyata. "Kok Pak Heri tahu?" Kak Bima menatap Pak Heri dengan curiga. "Saya pernah lihat dia makan pedas," jawab Pak Heri dengan santai. "Owh." Hanya menunggu lima menit saja, pesanan kami sudah datang. "Wah, mantap nih!" seruku sambil mengambil bagianku. "Pak Heri kok gak pake saos?" "Pak Heri tidak suka pedas!" jawabku. "Ha? Kamu tahu juga, Put?" "Ah, itu ..." "Dia pernah saya suruh beli makanan untuk saya di sekolah." "Oh, pantesan! Haha," Kak Bima tertawa garing. Entah kenapa dia seperti tidak suka sama Pak Heri. Selanjutnya kami asyik dengan mangkuk masing-masing. Makan bakso pedas saat sudah puyeng nungguin Kak Bima sama bukunya otakku terasa hidup lagi. Aku mengambil air minum dan sekali teguk langsung tandas. Kak Bima melongo, mungkin melihatku makan seperti orang kelaparan. Bodo ah, aku tidak peduli. .Toh, aku dikasih uang jajan sama mama, bayar sendiri juga. "Kenyang, Put?" tanya Pak Heri sambil menahan tawa. "Kenyang, Pak. Segar sekali rasanya." "Segar itu kalau minum jus, makan pedes mana ada segar-segarnya!" ucap Pak Heri lagi. "Kak Bima juga suka pedes tuh, Pak!" "Ya gak segila kamu lah, dia makan pedas sewajarnya." Kak Bima tersenyum, "bagi pria makan pedas itu kayak tantangan." Pak Heri diam. Aku meliriknya. Sekalian komporin gitu ya? "Wah, iya juga sih. Aku aja kalau lihat pria makan pedas itu kesannya kuat banget. Ya gak sih?" "Iya dong," jawab Kak Bima lagi. Pak Heri mulai gelisah tuh kayaknya. Haha, malu kali! Masa pria gak doyan pedas sih? "Saya bukannya gak kuat, cuma ya lebih ke jaga kesehatan aja." "Bapak emang kuat kalau kuah baksonya pake pedas?" "Cabe atau saos? Kalau saos saya gak mau. Saya ragu itu saosnya dibuat dari bahan apa." "Cabe lah, Pak. Kayak Kak Bima tuh, gak pake saos tapi pake sambel cabe." "Saya kuat, kok. Kamu gak percaya?" "Belum lihat sih, Pak." Pak Heri berdecak sebal, "kamu mau melihat saya makan pedas, Put?" "Kalau Pak Heri mau sih." "Eh gak usah, Pak. Put, kamu kenapa sih? Kalau yang gak biasa makan pedas ya gak bakalan kuat lah!" Aku diam menunggu reaksi Pak Heri. Apa Pak Heri tersinggung ya? Kami kan cuma bercanda, lagi pula yang kami bahas itu makanan kan? Tanpa diduga, Pak Heri mengambil satu sendok sambal dan menuangkan ke mangkuknya. "Sepertinya ini enak," ucap Pak Heri lalu menyuapkan kuah bakso yang sudah dicampur sambal itu. Aku dan Kak Bima saling melempar pandangan. Satu suap, 2 suap, 3 suap, wow! Pak Heri malah nampak ketagihan tuh! "Pak Heri baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir. Bibir merahnya sudah makin merah tuh. "Shh ... hah! Enak, Put! Tolong pesankan hah, jus buat saja, huh!" Ucap Pak Heri sambil mengipasi mulutnya dengan tangan. Buru-buru aku pesankan untuknya. "Ini, Pak! Minumlah!" Jus jeruk itu tandas dalam sekali sedot. Waduh, celaka! Pak Heri nampak payah. Wajahnya juga memerah! "Sebaiknya Pak Heri minum air teh hangat punya saya. Coba deh, biar sensasi pedasnya cepat ilang!" Kak Bima menyodorkan teh hangat miliknya. Awalnya Pak Heri ragu, tapi kemudian mengambilnya. "Hm, ini lebih baik, terima kasih ya?" "Iya, Pak. Sama-sama! Padahal gak usah nyoba Pak. Kami hanya bercanda tadi." "Gak apa-apa, lihat kalian yang nampak nikmat makan pedas, saya jadi tertarik. Dan ternyata tidak buruk." "Memang Pak, rasa pedas justru menambah nafsu makan." "Ya, bisa jadi." Aku melirik jam tangan, "duh udah jam 4 sore. Saya bisa kena marah mama kalau gak pulang sekarang." "Ah, iya. Tapi aku mau mampir dulu ke toko buku. Gak apa-apa kan?" "Kamu pulang bareng saya aja, Put! Sekalian ada pesanan Papa kamu." "Oh, baiklah! Kak Bima gak apa-apa kan?" "Ya sudah, gak apa-apa. Kamu duluan aja!" Aku dan Pak Heri bangkit hendak ke kasir. Tapi Kak Bima mencegah kami. "Gak usah, Put! Pak! Saya yang bayar kok." "Ya sudah, terima kasih ya Bim?" "Ya, Pak. Sama-sama." Selama perjalanan di gang, kami hanya diam. Pak Heri juga sama. Entah karena masih kepedasan atau apa. Yang jelas tak ada perbincangan di antara kami. "Put, kamu tunggu di sini ya? Saya ngambil mobil dulu!" "Eh, iya, Pak." Semoga saja Pak Heri gak apa-apa. Ngomong-ngomong saat dia makan pedas, kok bibirnya tambah seksi aja ya? Duh jadi ingat kejadian di gang tadi. Apa Pak Heri lupa ya? Kok dia biasa saja sih? Sebuah mobil yang kukenal berhenti di depanku. "Masuk, Put!" Aku mengangguk dan hendak menuju kursi belakang. "Kemana kamu? Sini!" "Di depan, Pak?" "Iya, kosong kok." Dengan sedikit kikuk, aku duduk di samping Pak Heri yang sedang menyetir. Tuh, deg-degan lagi kan jadinya! "Kamu dekat banget ya sama Bima?" "Dulu iya, bukan dekat sih, tapi saya nya aja yang sering ngikutin Kak Bima." "Apa? Ngapain ngikutin Bima?" Ups, keceplosan! "Ah, itu ... anu ... Kak Bima kan ... itu ... apa, ketua OSIS. Ah ya itu." "Gak usah muter-muter, bilang saja kamu suka sama Bima?" Aku tersipu, malu mama! Kulirik Pak Heri tersenyum kecil. "Sudah saya duga. Kamu pasti suka sama dia. Ya kan? Dia anak yang cerdas, Put. Kalau kamu suka dia, kamu juga harus pinter kayak dia." Waduh, jadi salah sangka nih! Kalau dibiarkan, nanti Pak Heri bisa menjauh dari jangkauan. "Eh, siapa bilang? Enggak kok, Pak! Dulu sempat kagum, sekarang gak lagi kok, Pak. Sumpah!" "Jangan bohong! Kayaknya Bima juga suka tuh sama kamu!" "Saya gak peduli, Pak. Lagian sekarang saya udah pindah haluan!" "Kamu beneran gak suka sama Bima?" "Enggak!" "Gak bohong?" "Enggak!" "Masih kagum sama dia?" "Enggak!" "Mau jadi pacar saya?" "Enggak! Eh? Maskud Pak Heri?" "Haha, kamu lucu!" Lah, kenapa dia? Kok tertawa? Ih nih mulut gak bisa diajak kerja sama! Apa dia nembak aku barusan?! Tapi Pak Heri hanya terus tertawa. Menyebalkan! Apa dia gak tahu kalau pertanyaan terakhirnya membuatku bingung. Kami berhenti di depan sebuah rumah besar. Di pinggir rumah itu terdapat bangunan cukup besar dan luas. "Pak, itu apa?" "Itu pabrik kecil-kecilan milik saya," jawab Pak Heri. "Pabrik pakan ikan?" "Yah, semacam itu. Pakan ikan, kucing, anjing. Saya buat di pabrik ini." "Lho, Pak Heri kan ngajar?" "Iya, ada karyawan saya. Bukan saya yang buat sendiri. Ayo masuk!" Aku mengikuti langkah Pak Heri. Seorang wanita yang cantik menyambut kami. "Udah pulang, Her? Lho, siapa ini?" tanyanya dengan nada tak suka. "Ah, ini siswi saya. Yang ayahnya sering memesan pakan ikan." Mimik wanita itu langsung berubah, jadi cerah dan tersenyum. Dih, dasar wanita aneh! "Oh, ini putrinya Pak Ujang itu ya?" "Iya, Geo mana?" "Geo udah tidur. Tadi nangis nanyain kamu." "Maaf, saya tadi mampir ke kedai bakso dulu." "Ah, Fitri juga cerita. Katanya dia lihat kamu. Tapi kehilangan jejak." "Oh ya? Saya gak lihat! Ayo Put!" Aku mengikuti langkah Pak Heri. Fitri? Jangan-jangan yang di gang itu! Tunangannya Pak Heri?! Kami menuju ruangan belakang yang ternyata tembus ke pabrik. Ada banyak karyawan di sini. Mungkin sekitar 50 orang. Pak Heri membawaku ke ruangan khusus. "Ini ruangan apa, Pak?" "Ini ruangan saya." "Oh, yang tadi itu ibu tiri Pak Heri?" "Iya, dia istri ayah saya." "Kalo ayah Pak Heri kemana?" "Kerja di kantor migas." "Oh," jawabku lagi. Sebenarnya aku ingin bertanya mengenai banyak hal. Tentang di gang itu, tentang tunangannya kenapa Pak Heri menghindar dan satu lagi tentang di mobil tadi. Pak Heri mengambil kardus kecil yang sudah disiapkan pegawainya. Di atas kardus itu ada tulisan : pesanan Pak Ujang "Ini pesanan papa kamu." "Ah, iya, Pak." Pak Heri nampak meringis pelan. "Kenapa, Pak?" "Perut saya sakit sekali!" "Duh, maaf, Pak! Apa karena bakso tadi?" "Mungkin. Kamu tunggu sebentar ya?" Pak Heri lari ke belakang. Aku jadi merasa bersalah. Ia nampak kepayahan. Selang 15 menit, Pak Heri muncul dengan langkah lemas. Ia duduk di sofa sambil memejamkan matanya. "Pak, ada yang bisa saya bantu?" ucapku hati-hati. Sumpah! Aku merasa berdosa sekarang. Aku gak tahu kalau efeknya akan begini. "Ambilkan minyak kayu putih di kotak p3k, Put!" "Ah, baik, Pak!" mataku segera mencari letak kotak itu. Setelah ketemu, aku langsung mengambilnya. "Oleskan!" "Ha?" "Olesakan ke perut dan punggung saya!" Alamak! Gak salah ini? Tapi kan ... "Cepat, Put!" Ah bodo amat! Yang penting Pak Heri membaik! Pelan aku membuka kaos bawah Pak Heri. Dan mulai mengusapkan kayu putih ke perutnya. Hatiku ketar-ketir gak karuan. Apa ini yang namanya roti sobek? Mama tolong! Tanganku tak suci lagi! "Jangan di situ aja, Put! Ke pinggir!" "Ah, i-iya, Pak!" Aku menelan ludah dengan susah payah. Seseorang tolong bersihkan otak mesumku! Yakinkan aku kalau Pak Heri hanya minta tolong! Tak lebih! Pak Heri membalikkan badannya, "punggungnya, Put! "I-iya, Pak!" Setelah selesai, Pak Heri menarik nafas lega lalu menurunkan kaosnya lagi. Huft, akhirnya aku bisa bernafas. "Makasih, ya?" "Sama-sama, Pak!" "Pipi kamu memerah lagi," ucap Pak Heri menahan tawa. "Ha? E-enggak kok!" jawabku sambil buru-buru menangkup kedua pipiku yang memanas. "Saya gak percaya! Sini saya lihat!" "Enggak, Pak!" ucapku bangkit dan menjauhinya. Pak Heri tertawa lepas, "sini! Saya mau tahu pipi kamu panas atau enggak?" "Enggak, Pak!" "Kamu takut ketahuan ya? Haha!" Ish, nyebelin! Aku segera mundur saat Pak Heri mendekat. "Si-siapa bilang? Saya gak merona kok!" Sial, aku terjebak sekarang! Pak Heri menyeringai jahat. Dia membuka tanganku yang melindungi pipi yang makin panas ini. Tiba-tiba Pak Heri menyimpan kedua telapak tangan lebarnya di pipiku. "Ya, pipi kamu memanas, Put!" Glek. Apalagi ini? Tatapan itu lagi. Hening. Kami hanya saling menatap dalam diam. "Apa ... Pak Heri suka ... sama saya?" tanyaku dengan terbata-bata. Tatapan Pak Heri belum berubah. Lalu setelah aku menunggu beberapa detik, ia mengerjap dan melepaskan tangannya dari pipiku. "Kamu masih kecil," jawabnya sambil mengacak rambutku. Apa aku pingsan saja ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN