Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Serasa baru kemarin aku naik kelas XI, eh sekarang udah mau ujian lagi. Masa ujian seperti ini, Papa dan Mama dengan tega mengurungku di kamar ditemani tumpukan buku yang harus k****a. Pernah aku protes, kubilang sistem kebut semalam kan gak baik, tapi Papa bilang ini salahku kenapa gak pernah baca buku pelajaran tiap hari. Jadi ya kena tumpuk gini.
Seperti saat ini, seabrek buku sudah tertata rapi di depanku. Huft, dari mana mulainya ini? Banyak sekali!
Cklek. Suara pintu kamarku berbunyi. Halah, mesti Mama deh yang kontrol tuh!
"Kok bengong!"
Weh, suara siapa itu? Merdu sekali! Aku menoleh, tada...! Wajah ganteng Pak Heri sudah memenuhi penglihatanku. Demi apa coba, Pak Heri masuk kamarku! Berasa ketiban durian runtuh deh!
"Eh, Pak Heri? Ini Pak, saya lagi menghapal buat ujian besok. Tapi banyak banget, pasti lama beresnya."
Pak Heri duduk di atas tikar yang kugelar di kamarku. Ia mengambil buku yang paling atas.
"Kalau kamu cuma bengong dan lihatin bukunya, pasti lama lah, mulai saja, pasti beres kok."
"Tapi kan memahami satu buku aja susah, Pak!" jawabku sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal dengan gemas.
"Put, buka buku baca!"
"Ha?" aku menatap Pak Heri dengan heran.
"Ayo, buka buku baca! Udah gitu aja. Pasti bisa!" ucap Pak Heri dengan nada semangat. Wih, disemangatin sama orang ganteng sih aku mau aja!
Aku ambil buku satu dan mulai membacanya. Fisika. Tetap saja membuat sakit kepala. Aku menyesal dulu kenapa masuk jurusan IPA, hampir setiap hari ngurusin angka dan huruf yang harus dihitung.
Ekor mataku melirik Pak Heri yang dengan santainya duduk selonjoran bersandar ke dinding. Tangannya memegang buku juga.
"O ya, Pak. Kalau boleh saya tahu, Pak Heri kok bisa masuk kemari? Padahal nih ya, kalau musim ujian begini, mana ada teman yang dibolehin masuk kamar saya. Bahkan hanya sekedar belajar bersama juga gak boleh. Katanya saya dan teman saya kalau belajar bersama malah berbelok arah jadi ngerumpi," tanyaku hati-hati. Sumpah, dari tadi aku penasaran banget, kenapa Pak Heri ujug-ujug masuk ke kamarku?
"Bisa, ayah kamu yang nyuruh kok," jawabnya masih santai tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.
"Papa? Nyuruh Pak Heri masuk kamar anak gadisnya?!" Sumpah, aku gak percaya ini!
Pak Heri menunjuk jidatku dan mencebik kesal, "Ck, kamu tuh ya? Pikirannya udah kotor! Saya ini guru kamu, inget? Pak Ujang nyuruh saya buat ngajarin kamu!"
Aku mengerjap malu. Eh tapi bentar deh, mumpung dia lagi bahas kutanyakan saja.
"Ah, Pak Heri benar juga. Saya ini kan muridnya Pak Heri. Lalu kejadian di gang itu apa?" tanyaku pelan dan hati-hati. Takut Mama sama Papa mendengar pertanyaanku.
Pak Heri mengerjap, "ekhm, itu kesalahan teknis!" jawabnya tanpa melihatku.
"Emang ada kesalahan teknis sampai kayak gitu?" tanyaku jujur. Beneran lho, aku gagal faham tentang teori salah teknisnya Pak Heri.
"Y-ya, ada lah! Udah ah, baca lagi, sono! Nanti kalau ada yang gak faham, kamu tanyakan saja!"
Bibirku mengerucut kesal. Ih, gak jelas banget sih penjelasannnya. Kan bikin penasaran!
Karena Pak Heri kembali serius dengan bukunya, akhirnya aku juga fokus lagi pada bukuku.
Yang terjadi selanjutnya adalah kami belajar normal seperti biasa. Yah, walaupun sesekali aku hanya asyik menatap wajah tampannya itu. Akibatnya entah berapa kali jidatku kena korban toyoran pelannya.
"Nah, belajarnya sudah dulu. Saya kira kamu cukup faham untuk mata pelajaran besok," ucap Pak Heri lalu membereskan barang-barang miliknya.
"Yah, kok udahan sih, Pak?" ucapku sedikit kecewa. Padahal aku masih betah berduaan sama Pak Heri.
"Ck, kenapa? Masih pengen belajar?" tanya Pak Heri sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Iya, Pak, hehe. Seru juga ya kalau udah bisa, sepuluh menit lagi ya? Ah, jangan! 30 menit lagi, gimana?"
"Kamu tuh ya? Masih mau belajar atau berduaan sama saya?" jawab Pak Heri berhasil membuatku malu semalu-malunya.
"Pak Heri kok gitu," kalau ngomong suka bener, lanjutku dalam hati.
Lagi-lagi telunjuk Pak Heri mendarat di dahiku, "sekarang mandi, bersihkan otakmu yang sudah terkontaminasi ini!"
Ih, kok dia tahu ya? Kalau otakku mulai bergeser saat berada di dekatnya?
"Tatapan kamu menyiratkan kalau saya jadi korban halusinasimu!" ucapnya lagi sebelum keluar kamar dan melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum mengejek.
Ish, menyebalkan!
***
Ternyata benar, Pak Heri memang diminta Papa untuk mengajariku selama ujian berlangsung. Ini terjadi akibat obrolan Papa dan ayahnya Pak Heri. Papa mengeluh dengan nilaiku yang kebanyakan jebloknya. Dan yah, jadilah Pak Heri guru privat dadakan buatku.
Senang sih, tapi dia kalau lagi kesal serem juga. Maklum, otakku bekerja sedikit lambat untuk menangkap pelajaran dari wajah gantengnya. Dia bilang aku kurang fokus. Lha, mau fokus gimana coba, tiap dia menjelaskan materi yang ku dengar hanya suara seksinya yang melekat dan mengundang haluku makin liar. Ampun deh!
Kalau sudah seperti ini, dia akan marah. Ah sudahlah, yang penting nilaiku akhirnya membaik.
***
Hari ini cuaca cukup cerah. Aku pulang lebih cepat. Ya, masa ujian telah berakhir. Tinggal menjemput masa libur akhir semester setelah pembagian laporan hasil belajar. Papa dan Mama nampak sangat bahagia melihat hasil belajarku di akhir semester ini. Dan kalian tahu siapa yang dibanggakan? Bukan aku! Tapi Pak Heri!
Hampir ke semua orang Papa membanggakan hasil mengajarnya Pak Heri yang cukup memuaskan. Lah, apa aku gak punya andil tuh? Kan yang ngerjain soal-soal itu aku? Yah, emang sih, Pak Heri yang mengajarkan.
"Put!" Seseorang memanggilku. Aku menoleh, pria bertopi putih menghampiriku.
"Wow, Kak Bima? Aku hampir tidak mengenalimu, Kak!" seruku saat tahu ternyata pria bertopi putih ini Kak Bima.
"Masa? Haha, iya sih. Kamu mau pulang? Orang tuamu mana?" tanya Kak Bima.
"Papa sama Mama masih sibuk ngobrol tuh, bosan nungguinnya, lama. Ya udah, aku pulang duluan aja," jawabku dengan sedikit kesal.
"Wajar kali, Put. Mereka kan jarang ngumpul di sekolah. Biasanya saling membanggakan tuh," kata Kak Bima lagi. Ia ikut berjalan beriringan denganku.
"Ya, mungkin. O ya, Kak Bima dari mana dan mau ke mana nih?" tanyaku lalu kami duduk di bangku tempat biasa menunggu angkutan umum.
"Aku sengaja kemari aja, nyari kamu," jawabnya sambil tersenyum. Duh, jadi GR kan aku?
"Kak Bima ngapain cari aku? Kangen ya?" tanyaku dengan nada menggoda.
Kak Bima tersenyum lagi, "kalau iya, bagaimana?"
"Waduh jangan kak, kangen itu berat biar Si Dilan aja yang nanggung!"
"Haha, kamu bisa aja, Put. Aku memang sengaja ke sekolah. Ya, emang nyari kamu. Mau ngasih tahu kalau aku diterima di salah satu universitas Jakarta."
"Wah, hebat dong! Selamat ya?"
"Iya, makasih! Mungkin mulai besok aku akan jarang nemuin kamu. Aku kost di sana."
"Ya gak apa-apa kali, Kak. Aku senang Kak Bima kuliah di sana. Inget, jangan sombong kalo udah sukses, ya?"
Kak Bima mengangguk dengan semangat, "tentu saja. Kamu juga, jangan lupakan aku ya? Wah, kayaknya aku bakal kangen masa-masa dibuntutin sama kamu deh!"
"Dih, Kak. Jangan bahas itu, malu kali! Kan dulu aku belum kenal sama Kak Bima, hehe."
Duh kok jadi gak enak ya? Tolong seseorang sadarkan aku kalau hatiku udah pindah haluan!
Kak Bima diam cukup lama. Ia menatapku tanpa kedip. Apalagi ini?
"Put, serius deh, sejak kamu buntutin aku kemana-mana, aku jadi kepikiran kamu terus."
"Ha?"
"Iya, kelakuan anehmu malah membuatku ketagihan dibuntutin lagi."
"Eh jangan dong Kak, kan sekarang kita udah kenal, ya kan? Hehe," aku tersenyum garing. Eh Kak Bima kok malah geser duduknya? Mau ngapain itu?
"Put, besok aku akan pergi. Ijinkan aku kasih salam perpisahan sama kamu."
"Eh?" belum lagi aku ngomong, Kak Bima tiba-tiba memelukku. Duh, ini tempat umum, Bang!
"Kamu baik-baik di sini ya, Put? Aku janji orang yang pertama aku temui saat aku kembali adalah kamu."
Aku menelan ludah. Apaan deh ini?
"Hei! Ngapain kalian di sana?! Bubar-bubar! Atau saya panggilkan satpol PP?!" teriak suara yang sangat ku kenal. Sontak Kak Bima melepaskan pelukannya.
Pak Heri nampak berdiri menatap tak suka pada kami.
"Eh, Pak Heri, maaf! Kami hanya...," Kak Bima menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ngapain kamu di sini, Put? Sana pergi! Papa dan Mama kamu nungguin dari tadi!"
"Pak Heri jangan marah! Kak Bima hanya mengucapkan salam perpisahan aja kok," jawabku dengan sedikit takut. Sudah kubilang kan? Wajah Pak Heri menyeramkan saat marah!
"Hanya perpisahan katamu? Gak usah pake pelukan segala! Ingat kamu masih kecil!" jawab Pak Heri lalu meninggalkan kami berdua yang masih duduk dengan canggung.