Malam Dinas Panas

1100 Kata
Malam terakhir dinas, Thomas menghabiskan waktu di hotel bintang lima yang menjadi fasilitasnya sebagai manager di sebuah perusahaan asuransi terkemuka. Tapi, ia tidak sendiri, melainkan dengan sekretarisnya Brenda. PLAK! Pukulan nakal Thomas layangkan pada sebuah area menul milik Brenda yang langsung disambut efek lenguhan manja. "Ahh .... Kau nakal, Thom." "Oh, Bren. Teruskan bergerak jangan berhenti," pinta Thomas yang kini sedang melakukan penyatuan panas terlarang padahal jelas pria itu sudah memiliki istri dan bahkan baru saja kehilangan darah dagingnya. Bukan pulang, Thomas malah beradu nafsu. "Thom ... kamu tidak mau nelpon Eve lagi? Kasihan sekali dia baru kehilangan bayi kalian. Aku cukup prihatin." Brenda sempat memelankan goyangan maut memanjakan milik sang atasan dalam posisi duduk tanpa mengenakan sehelai benang. Ucapan Brenda sebenarnya sama sekali tidak mengandung keprihatinan melainkan bermaksud mencemooh. Sudah lama sekali Brenda mengincar Thomas, tapi Thomas malah menikah dengan Evelin, seorang yang dijodohkan dengan mendiang neneknya dua tahun yang lalu. "Errgh. Jangan bahas dia lagi. Salah Eve sendiri. Padahal, aku tadinya mau tobat jika memiliki anak. Lihat sekarang, wanita teledor itu malah melahirkan bayi prematur dan meninggal," kesal Thomas. Tak lama, tangan Thomas kembali meremat pinggang Brenda. "Dan kau tau aku harus menghilangkan stres dengan sebuah pelampiasan yang memuaskan. Lakukanlah tugasmu, Brend." Brenda pun tersenyum penuh kemenangan, meski hanya sebatas pelampiasan, ia yakin masih memiliki celah dengan di hati Thomas. Evelin memang memiliki waktu dan pernikahan dengan Thomas, tapi Brenda memiliki kunci kepuasan sang pria. "So, apa kau begitu ingin punya bayi? Bagaimana jika kita membuat bayi saja malam ini?" goda Brenda sembari lihai memainkan area sensitif Thomas. "Hmmm, do it Baby." Sang atasan yang terbuai oleh service Brenda lantas meracau pasrah karena ingin segera mencapai puncak. Keduanya kembali melakukan gerakan beringas, hingga akhirnya mencapai tujuan klimaks bersama. *** "Tarik pelatuknya dan bunuh saja aku!" tantang Eve tak gentar pada Alexei. Ya, bukannya takut, dibawah todongan pistol Eve malah menantang balik Alexei. Bukan berani, tapi lebih ke arah putus asa. Sorot tajam Eve mengisyaratkan seolah ia tidak ingin hidup di dunia ini lagi imbas beban yang dipikul terlalu berat. Sementara itu, merasa semakin tersulut Alexei pun mulai menarik pelatuknya. "LEX, STOP!" Nick kembali datang di waktu yang tepat sebelum Alexei benar-benar menekan pelatuk pistol, hampir membun*uh Eve. "She is innocent, Lex. Dia bukan ancaman!" Tubuh Nick menghadang gagah berani di depan Eve. Sementara Alexei menyeringai bringas, menahan emosi seraya memasukan kembali senjata ke belakang punggung. Setelah itu, tak lupa Nick menghadap Eve dan lalu meminta maaf perihal sikap sepupunya. "Maafkan kami, Nyonya. Sepupuku sedang terguncang. Istrinya belum sadarkan diri setelah melahirkan dan bayinya ... membutuhkan ASI alami," beber Nick merendah. Saat mendengar kata bayi, mendadak atensi Eve teralih. Sorot tajam pun beralih luluh. "Bayi?" "Ya, bayi laki-laki alias keponakanku memerlukan ASI sedangkan pihak rumah sakit bilang jika persedian ASIP sedang menipis," imbuh Nick lagi. "Sudahlah, Nick. Kita pergi dari sini sebelum aku bertambah murka." Alexei sudah tak sudi memohon lagi. Eve terlalu angkuh dan membuatnya ingin mengakhiri hidup sang puan. "Aku ... bersedia. Bawa aku pada bayi yang kalian maksud." Secara tak terduga, Eve berkata dengan pelan bahwa dia bersedia menyusui bayi Alexei. Raut sumringah seketika terbit dari wajah Nick sementara Alexei hanya diam, walau sebenarnya cukup terkesiap karena Eve berubah pikiran. Meski begitu, tiada yang penting selain kebutuhan Baby Zachary saat ini. Alexei pun mengesampingkan ego seraya mengekori Nick yang menunjukkan Eve arah ke ruang bayi dimana Baby Zachary berada. Beberapa saat kemudian. "Hey, baby boy," sapa Eve lembut sesaat setelah untuk pertama kalinya menyusui bayi milik orang lain. Kedua manik Eve kentara memancarkan kasih sayang yang sama saat pertama kali menyambut kelahiran Baby Damian yang hanya bertahan beberapa jam saja di dunia. Dad*nya campur aduk saat ini, membayangkan jika bayi yang sedang disusui adalah miliknya. "Bayiku pasti akan selucu dan semenggemaskan kau Baby Zach. Tumbuhlah menjadi putra yang sehat dan kuat, hiks." Terbawa suasana sendu di ruang khusus meng-ASI-hi, tak terasa air mata Eve pun luruh di pipi. Berharap bayi miliknya hidup bahagia meski di lain kehidupan. Di sisi lain, betapa beruntungnya Baby Zach, saat ini produksi ASI Eve sedang melimpah hingga bahkan sebelahnya sampai rembes. Sayangnya, Baby Zach sudah terlihat kenyang. Eve tak lupa memompa ASI di bagian gunung kembar miliknya yang sedang penuh untuk disumbangan ke Bank ASIP rumah sakit. DRTT! Tak lama selesai menyumbang ASI, ponsel Eve bergetar hebat. Nama kakak ipar, Kenan tertampil disana. Eve lantas menggeser layar berwarna hijau. "Kau dimana, Eve? Aku tidak menemukanmu di ruang rawat?" desak Kenan. "Aku sedang mencari udara segar. Kau tidak perlu khawatir, aku sedang dalam perjalanan ke sana," kilah Eve tak ingin membuat sang kakak ipar khawatir. "Baiklah. Aku menunggumu." Panggilan pun berakhir, Eve memutuskan untuk kembali ke ruang rawat. Namun, saat melewati ruang ICU, dari kaca besar yang terhalang oleh gorden selang seling, mata Eve dapat melihat sosok Alexei sedang berdiri dan menatap sendu sosok wanita yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis menompang tubuhnya. Eve pun berasumsi bahwa sosok tersebut adalah istrinya sesuai informasi yang dikatakan Nick. Meski pertemuan pertama Alexei terkesan buruk, akan tetapi Eve kini mengerti, Alexei sedang diambang duka. Eve pun berencana melupakan sikap Alexei tadi, walau ia tak tahu apa profesi sebenarnya pria yang kemana-mana selalu membawa senjata dan sejujurnya Eve tak ingin mengetahui terlalu dalam. DEG! Tiba-tiba, lamunan Eve buyar kala Alexei menyadari wanita itu melihatnya dari arah jendela. Gelagat canggung seketika melanda Eve. Tubuh langsing itu lantas memutuskan pergi dari sana tanpa tahu jika Alexei mengejar. Sesampainya di lorong sepi, Eve terus berjalan cepat menuju ruang rawat, diiringi kekhahawatiran Alexei mengikutinya. Setelah tidak merasakan aura Alexei, Eve memberanikan diri berhenti lalu menoleh ke arah belakang untuk memastikan. "Fyuhh." Eve menghela napas lega, nyatanya tak ada tanda-tanda presensi Alexei mengikuti. "Mencariku?" DEG! Jantung Eve serasa copot diiringi gerakan terhuyung mundur, nyaris terjatuh saat ternyata Alexei sudah ada di belakangnya. GREB! Beruntung, tangan kekar Alexei dengan cepat meraih tubuh Eve ke dalam dekap sebelum sang wanita tersungkur total. Dua pasang netra untuk pertama kalinya saling adu tatap dari jarak sangat dekat. Tak dapat dipungkiri, masing-masing individu tersebut merasakan getaran berbeda dari momen saat ini padahal keduanya sudah saling memiliki pasangan sah. "Eve!" seru seseorang yang langsung membuyar momen Eve dan Alexei. Dengan segera, Eve melerai dekapan Alexei kemudian bergerak mundur. "Kau kemana saja, Eve. Aku khawatir." Tanpa menghiraukan presensi Alexei, Kenan sang kakak ipar memeluk Eve erat imbas khawatir. Pelukan yang tak biasa di mata Alexei. "Aku ... baik-baik saja, Kakak Ipar," balas Eve yang entah mengapa tak ingin Alexei salah paham. Kakak ipar? Ch yang benar saja! Bahkan orang bodoh bisa merasakan jika pria ini naksir pada Eve, batin Alexei mentap curiga pada gelagat Kenan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN