Bagas, papanya Dimas, menghela napas dalam. “Ajak cakon istrimu duduk.” Nada suara yang dingin, tapi menurut Wina masih lebih baik ketimbang mamanya Dimas yang bahkan sepertinya enggan untuk menatapnya. Santi, mamanya Dimas beringsut memberi tempat untuk Dimas dan Wina duduk, di kursi taman yang terbuat dari besi ukir itu. Wina tahu, tatapan mata Santi jelas sedang memindai dirinya, tapi Wina pura-pura tidak memperhatikan. “Kapan kalian akan menikah?” tanya Bagas tanpa basa-basi. “Tiga hari lagi, Pa.” Bagas geleng-geleng kepala. “Tiga hari lagi dan kamu baru bilang sekarang, Dimas? Sama saja seperti waktu kamu datang dan meminta izin menikah dengan istrimu yang sebelumnya, seminggu sebelumnya kami baru mengenal dia.” Bagas menoleh pada sang istri, seperti sedang meminta pendapat. “Yaa

