“Demi pengawal yang telah mengabdi kepada Yang Mulia selama lima tahun ini, saya mohon, percayakan masalah ini kepada saya...”
─Gavin─
***
Musuhnya seorang yang terlatih.
Prang
Prang
Helen maju untuk melawan, tapi pedangnya ditangkis dengan mudah oleh mata-mata.
Pertukaran hunusan pedang dan belati pun tak terelakkan. Helen kesulitan memojokkan si mata-mata meski sebenarnya si mata-mata sudah terpojok di jalan buntu itu.
Akhirnya si mata-mata berhasil merusak topeng kucing di wajah Helen. Itu topeng yang dipilihkan pelayan kecilnya. Helen masih ingat wajah bahagia Darian ketika memilih topeng itu, tapi orang ini berani sekali merusak hadiah dari pelayan kecilnya. Seketika amarahnya mencapai ubun-ubun. Sakitnya pun kumat.
Gerakan Helen semakin gesit, cepat dan terampil. Dia berhasil membuat tangan lawan cedera. Meski begitu, kekuatan orang di depannya ini hampir menyamai Rezvan, dan Helen cuma anak kecil yang bisa membunuh orang ketika marah, itu pun hanya karena Gavin selalu memperingatkan orang-orang untuk tidak menyakitinya. Di medan perang, dia memang dikenal buas, tapi semua itu karena ada Gavin yang membantunya. Di hadapan mata-mata yang tidak peduli Helen hidup atau mati ini, dia yang dalam mode 'sakit' pun masih bisa kalah.
Prang
Mata-mata berhasil menjatuhkan pedang Helen dan menebas ikatan rambut Helen yang tergulung di atas kepala. Beberapa helaian rambut putihnya ikut terpotong.
Mata-mata langsung menekan Helen ke dinding. Dia menahan kedua tangan gadis itu di atas kepalanya menggunakan satu tangan, sementara tangan lainnya menekan belati ke leher Helen. Kedua kaki gadis itu pun ditahan dengan kakinya.
Napas mereka beradu. Netra hijau dan biru bertemu dalam tatapan tajam. Tidak ada yang mau mengalah.
Mata-mata terkejut melihat kecantikan wajah Helen dari jarak yang sangat dekat. Dia juga mengagumi rambut putih bergelombang yang terurai indah itu. Dia tidak menduga akan mengeluarkan keringat sebanyak ini saat melawan seorang gadis.
"Siapa namamu?" Suara bariton milik si mata-mata terdengar sangat seksi, tapi Helen tidak terpengaruh sama sekali.
Helen mendongak untuk menatap tajam si mata-mata. Dadanya naik turun karena pernapasan tidak stabil paska bertarung. Dia berusaha berontak, tapi tidak berdaya di bawah kekuasaan si mata-mata. Reaksi gadis ini hanya membuat si mata-mata semakin tertarik.
"Katakan namamu."
Srat
Mata-mata menyayat lengan Helen.
Helen menggigit bibir bawahnya untuk menahan sakit, tapi tatapan mata itu tetap tajam. Benaknya masih dipenuhi kalimat 'bunuh dia!'.
Mata-mata semakin memperdalam belatinya yang menyayat lengan Helen. Entah mengapa, dia sangat ingin mendengar suara gadis di depannya.
Helen masih keras kepala tidak mau mengatakan namanya. Lagipula, dalam mode 'sakit' ini, sebuah kesia-siaan untuk berbicara dengan gadis itu.
Mata-mata sudah memperdalam tancapan belati, bahkan darah sudah mengalir dari tangan Helen, sampai ke sebagaian wajah dan pakaian biru tuanya, tapi gadis itu masih belum mengubah ekspresinya.
"Kerajaan Griffin ternyata memiliki orang menarik sepertimu."
Karena mata-mata sedikit lengah, Helen menendang pusaka di s**********n orang itu, dan langsung bisa membebaskan diri. Dia segera berlari ke arah pedangnya terjatuh, mengambilnya, kemudian tanpa ada keraguan sedikit pun mengunuskan ke arah mata-mata yang masih kesakitan. Gadis itu seolah tidak merasakan sakit di lengan kirinya yang berdarah.
Meskipun dalam keadaan kesakitan, mata-mata berhasil berkelit, dan menyelamatkan kepalanya dari tebasan pedang Helen. Sayangnya, kalung di leher terputus karena tebasan pedang itu. Dia gagal mendapatkan kembali kalung karena dalam gerak yang sangat cepat ini, Helen telah berhasil menjatuhkannya. Gadis itu kini mengarahkan pedang ke lehernya.
Mata-mata terpukau dengan gerakan gesit Helen. Padahal beberapa detik lalu, gadis ini masih dalam kendalinya, tapi kini keadaan sudah berbalik. Dia tidak seharusnya lengah hanya karena mengagumi kekeraskepalaan gadis ini─yang terus bungkam dan menatap tajam seolah ingin mengulitinya. Meski penuh penyesalan karena lengah, mata-mata tidak menyesal telah bertemu gadis cantik yang lihai bermain pedang. Coba pikir, berapa banyak gadis yang bisa memainkan pedang sehebat itu? Rata-rata gadis yang dia kenal hanya tahu cara minum teh atau menyulam. Jadi, bahkan jika dia mati di tangan gadis ini, itu tidak akan terlalu memalukan.
Helen menggerakkan pedangnya tanpa keraguan, dan jelas sekali niat membunuh di netranya. Mata-mata itu tidak pernah melihat seseorang yang tanpa ragu menghabisi seorang mata-mata. Bukankah dia seharusnya menangkap mata-mata hidup-hidup untuk mencari tahu informasi yang ada padanya? Tapi gadis ini hanya dipenuhi keinginan membunuh. Itu agak mengerikan.
Saat mata-mata berpikir nyawanya akan hilang malam ini, dia dikejutkan dengan pedang Helen yang terjatuh. Detik berikutnya, gadis itu yang terjatuh.
Mata-mata menangkap Helen yang pingsan. Dia tidak menyangka kalau tubuh Helen sudah dingin dan wajahnya sangat pucat. Dia sedikit menyesal memakai belati beracun itu.
Dengan sigap, si mata-mata memangku Helen. Pada saat ini, dia masih sempat-sempatnya mengagumi wajah Helen yang seperti boneka, bibir tipis semerah ceri, bulu mata lentik, dan wangi tubuh gadis itu yang merangsangnya. Dia masih sempat melirik leher Helen yang ramping dan jenjang, berpikir untuk memberikan tanda kepemilikan di sana. Dia pasti sudah gila.
Setelah mengagumi Helen dalam dua detik, mata-mata segera merobek lengan baju Helen. Kulit putih yang agak kasar ini terekspose. Itu tidak seperti kulit lembut para gadis pada umumnya, tapi ada obsesi aneh di kerlipan mata biru si mata-mata. Dia tidak memebenci lengan gadis ini.
Mata-mata membuka penutup wajahnya, memamerkan wajah tampan bak dewa Yunani─wajah yang simetris, alis hitam tebal, hidung mancung, bibir penuh, rahang tegas dan sorot mata sedalam samudera yang bisa menghanyutkan orang saat memandangnya. Dia kemudian mengangkat tangan Helen, menghisap darah hitam di sepanjang lengan yang tadi dilukainya, lalu memuntahkan darah hitam tersebut. Dia lakukan beberapa kali penghisapan, dengan hati-hati mengeluarkan racun, juga berusaha keras untuk tidak menelan racun di mulutnya.
Mata-mata berhasil mengeluarkan beberapa darah hitam, tapi Helen masih perlu detoksifikasi lanjutan untuk mengeluarkan racun yang telanjur menyebar ke tubuhnya. Dia baru akan membalut luka di lengan Helen untuk mencegah pendarahan lebih parah, ketika teriakan Gavin terdengar.
"Yang Mulia?!"
Mata-mata buru-buru meletakkan gadis yang pingsan itu ke tanah. Ingin mengambil kembali kalungnya, tapi kepalanya tiba-tiba pusing. Khawatir tertangkap, dia tergesa-gesa meloncati tembok tanpa sempat mengambil kembali kalung yang bisa menguak identitasnya.
Gavin menemukan Helen dalam kondisi mengenaskan; tergeletak dengan darah mengalir dari lengannya, di dekatnya ada darah hitam. Dia segera melepaskan suar merah ke udara untuk memberi tahu lokasinya kepada prajurit, kemudian merobek sebagian bajunya sendiri untuk membalut lengan Helen yang terluka.
***
Mata-mata berhasil melarikan diri sampai tiba di bagian belakang sebuah rumah b****l. Seorang wanita malam bercadar menemukannya berjalan sempoyongan, lalu segera membopong mata-mata yang tampak pucat itu ke dalam salah satu ruangan.
"Bagaimana Yang Mulia Hadden bisa terluka seperti ini?" tanya wanita malam bercadar. Namanya Olina Aubrey.
Mata-mata, atau Hadden Khagan, mengerang sakit sambil menunjuk bagian tenggorokannya. Meski begitu sulit bicara, dia memaksakan suara seraknya mengucapkan kalimat, "Aku menelan racun."
Olina segera keluar kamar untuk mencari obat bagi Hadden, tapi malah menemukan dua orang berpakaian hitam di lorong. Salah satunya terluka sayatan pedang di d**a, dan sedang dibopong oleh yang lain. Olin membantu membopong orang yang terluka, memasukkan ke kamar yang sama dengan Hadden.
"Apa yang terjadi dengan Onyx?"
Pria yang terluka merupakan saudara kembar Olin, Onyx Aubrey. Pria satu lagi bernama Ferdian.
Ferdian membuka pakaian Onyx yang berdarah. Wajahnya tetap tenang saat mengobati pria yang mengerang kesakitan.
Ferdian bilang, "Setelah memberikan surat di tempat perjanjian sebelumnya kepada Yang Mulia, kami menunggu orang itu seperti perintah Yang Mulia. Tapi orang itu tidak pernah datang. Onyx nekad masuk ke istana untuk mencari orang itu melalui jalan belakang, tapi ketahuan prajurit yang patroli malam."
***