"Kau mau apa?"
"Menuliskan keinginan saya di lentera, Tuan Yang Mulia."
Helen pikir Darian ingin memanjatkan doa kepada ibunya yang telah meninggal karena beberapa waktu lalu anak ini mengingat ibunya, maka dia tidak merasa keberatan. "Tulis saja."
Gavin tanggap situasi dan segera menyerahkan alat tulis kepada Darian.
Darian agak menunduk malu ketika berkata, "Saya buta huruf, Tuan Yang Mulia."
Helen tersentak dengan pengakuan Darian. Dia lupa aturan di kerajaan kalau b***k rendahan dan pelayan tingkat rendah tidak boleh baca-tulis karena dikhawatirkan lebih pintar dari majikannya. Bahkan, anak perempuan bangsawan saja tidak terlalu dipaksa harus melek huruf. Anak perempuan bangsawan hanya wajib mengetahui tata krama, dan cara melayani suaminya kelak. Pendidikan hanya bisa didapat oleh anak-anak lelaki kaum bangsawan. Inilah alasan lain mengapa ratu terdahulu menyembunyikan identitas Helen sebagai wanita.
Mengambil alat tulis yang diberikan Gavin, Helen lantas berkata, "Besok kita akan belajar."
Darian mendongak, menatap terkejut Helen. Pengetahuan adalah hal mahal bagi orang-orang seperti Darian. Kalau Helen bersedia mengajarinya, itu hanya berarti dua hal; kalau bukan karena Helen yang sangat murah hati, maka karena Helen ingin Darian menjadi pelayan terdekatnya. Dikatakan bahwa hanya pelayan terdekat dari majikan yang diizinkan melek huruf karena akan menjadi kepercayaan si majikan. Mana pun alasannya, Darian sangat senang, tapi juga sedikit tidak percaya.
“Tuan Yang Mulia...?”
“Kau tidak mau?”
Darian menggeleng. “Bukan begitu, Tuan Yang Mulia. Pelayan ini hanya sangat senang.” Anak itu tersenyum, lalu membungkuk hormat di depan Helen. “Terima kasih banyak, Tuan Yang Mulia.”
Helen tersenyum kecil, lantas meminta lentera dari Darian.
Gavin membantu memegangi lentera Helen ketika gadis itu terlihat kesulitan, sesekali melirik Darian dengan tatapan yang rumit. Dia pikir Helen ingin menjadikan Darian sebagai pelayan kepercayaannya, makanya berniat mengajari baca-tulis. Itu membuat Gavin sedikit kesal karena Helen dapat memercayai anak itu dalam dua bulan.
Gavin sadar kalau Darian satu-satunya pelayan yang bisa bertahan hidup di dekat Helen, tapi tetap saja, dia cemburu karena Darian bisa memenangkan kepercayaan Helen dalam waktu singkat, sementara saat bersama Gavin, Helen harus menunggu waktu satu tahun.
Helen agak membungkuk ketika di depan lentera yang dipegang Darian. Bertanya, "Apa keinginanmu?"
Darian melihat sekitar mereka, ada dua prajurit dan Gavin. Dia agak malu mengatakan keinginannya kuat-kuat.
"Eum, Tuan Yang Mulia, saya dengar, kita tidak boleh mengatakan keinginan kita kepada orang lain. Nanti sulit tercapai."
Helen mengehela napas, tampaknya menahan kesal. Tiga pria dewasa di sana siaga kalau-kalau 'sakit' Helen kumat.
Ternyata Helen tidak lepas kendali.
"Kalau kau tidak mengatakannya, bagaimana aku menuliskannya?"
Darian mencondongkan badannya ke depan. "Aku akan membisikkannya."
Gavin memerhatikan Darian mencondongkan badan ke arah Helen, membisikkan sesuatu. Dia merasa tidak nyaman, malah berharap bisa menjadi anak-anak lagi.
Helen menatap lama Darian setelah pelayan kecil itu membisikkan keinginannya. "Kau yakin?"
Darian mengangguk mantap, tersenyum lebar.
Helen agak tertegun dengan keinginan Darian yang ternyata tidak ada kaitan sama sekali dengan ibunya, malah itu berkaitan dengannya. Dia merasa tersentuh dengan kesetiaan Darian kepadanya. Tanpa buang waktu, Helen menuliskan keinginan Darian di lampion.
Ada sedikit senyum di sudut bibir Helen ketika menulis di lampion, membuat yang mengamati menjadi terpesona terutama Darian yang berjarak sangat dekat dengannya.
Darian merasa malu kalau hanya dia sendiri yang menulis, maka dia bilang, "Tuan Yang Mulia juga tulis keinginan."
Helen ragu-ragu sejenak, tetapi setelah melihat wajah bahagia Darian yang memegang lentera seolah sedang memegang harta berharga, dia jadi luluh. Dia menuliskan pula keinginannya di lentera.
Acara pelepasan lentera diumumkan oleh penyelenggara, yakni berlangsung sesaat setelah Helen menuliskan keinginannya.
Darian dan Helen saling berhadapan, dengan lentera yang telah dinyalakan di masing-masing tangan mereka. Pelayan kecil itu sangat bahagia dan tidak berhenti tersenyum sejak tadi, seolah kecanggunangan sebelumnya akibat insiden permen tidak pernah terjadi.
"Kita harus melepasnya bersamaan, Tuan Yang Mulia."
"Hemm..."
Gavin dan dua prajurit mengawasi dua bocah dari jarak yang agak jauh.
"Satu, dua, tiga!" teriak Darian, lalu melepaskan lentera.
Helen juga melepaskan lentera di saat hitungan ketiga Darian.
Dua lentera dengan lambang bunga dandelion naik ke langit. Keinginan yang tertulis di sana tampak diterangi oleh lentera-lentera lain. Tertulis: Kuharap, aku bisa selalu melihat Tuan Yang Mulia bahagia; Pelayan kecil harus terus hidup untuk melayaniku.
Darian melihat yang ditulis Helen, bertanya dengan suara pelan, "Apa yang ditulis Tuan Yang Mulia?"
Helen pikir tidak masalah memberitahu Darian keinginannya, karena Darian juga sudah memberitahu keinginannya. Maka dengan berbisik, dia menjawab, "Pelayan Kecil harus terus hidup untuk melayaniku."
Darian agak bersemu karena napas hangat Helen menabrak telinganya, juga karena keinginan Helen itu seolah Helen sangat suka jika Darian terus bersamanya. Di dalam hatinya, dia sudah bersumpah, akan terus melayani Helen selama sisa hidupnya bahkan sebelum Helen membuat keinginan itu. Darian tidak tahu saja kalau keinginannya dan Helen itu berbeda. Yang satu ingin terus melayani selama sisa hidupnya, yang lainnya ingin dia terus hidup dengan kedok melayaninya.
Untuk beberapa detik pertama, Darian diam, lalu tertawa pelan, dan bertanya, "Apakah Tuan Yang Mulia pernah melepas lentera?"
"Tidak."
"Pernah menulis permohonan di kuil?"
"Tidak."
"Kalau menulis permohonan di kertas kemudian menggantungnya di pohon?"
"Tidak."
"Pantas saja." Darian tertawa.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa, Tuan Yang Mulia."
"Katakan!"
Kalau awal-awal Darian akan takut dengan nada Helen yang agak membentak, sekarang ini dia malah merasa kalau tuannya sangat imut. Dia menahan tertawa, berkata, "Tidak apa-apa, Tuan Yang Mulia, sungguh."
"Aku tidak percaya."
Darian tertawa, karena yang ditulis Helen tidak seperti permohonan, melainkan perintah. Ya, dia juga tidak keberatan melaksanakan perintah itu.
Mereka melanjutkan jalan-jalan di pasar malam, dengan Darian yang cerita panjang lebar sepanjang jalan, sementara Helen hanya menjawab singkat. Itu pun kalau Darian bertanya.
Bukankah peran mereka bertukar? Siapa yang wanita sebenarnya di antara mereka berdua? Itulah yang ditanyakan Gavin dalam benaknya.
Gavin cemberut, merasa cemburu dengan anak-anak. Dia berkata kepada prajurit di kanannya, "Belikan aku satu lentera."
Kedua prajurit memandang Gavin dengan tidak percaya.
Gavin menghela napas, "Lupakan!"
Kedua prajurit bergidik ngeri. Praurit satu berbisik, "Jangan bilang rumor itu benar?"
"Bahwa Mayor Gavin gay?" tanya prajurit dua.
"Lebih dari itu, Mayor Gavin dan Kapten Heli merupakan pasangan kekasih."
"Sst! Kalau Kapten dengar, kepalamu bisa melayang."
Prajurit satu langsung diam.
Dalam perjalanan keluar pasar, beberapa prajurit kerajaan berlarian masuk seperti mencari seseorang. Di sisi lain, orang berpakaian hitam dengan penutup wajah berlari dan menabrak Darian.
"Pelayan Kecil," ujar Helen yang agak tersentak karena Darian terjatuh. Dia mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit.
Darian baru akan meraih uluran tangan itu saat Helen tiba-tiba mengambil secarik kertas yang jatuh usai tabrakan dengan orang tadi. Di sana tertulis lokasi dan tanggal, dengan lambang elang melebarkan sayap di bagian bawah kertas. Ini lambang kerajaan Albicilla!
"Gavin, dan kalian, kejar orang itu! Dia mungkin mata-mata!" titah Helen, sudah berlari pula mengejar si orang berpakaian hitam.
Gavin dan dua prajurit berlari berpencar ke gang-gang di pasar untuk menemukan orang berpakaian hitam.
Sementara itu, Darian membereskan barang belanjaan yang terjatuh ke tanah, lalu mendapati secarik kertas yang juga jatuh tapi tidak sempat diambil Helen. Walau tidak bisa baca tulis, Darian tahu kalau kertas ini tidak memakai bahasa yang sama seperti di kerjaannya. Pada waktu dia melihat-lihat kertas, prajurit dari istana yang sebelumnya mengejar mata-mata malah menatapnya dan kertas itu.
Salah satu prajurit langsung mengambil kertas, dan lainnya bergegas menahan Darian. Yang memegang kertas mengernyit bingung dengan isinya. Ketika melihat lambang kecil elang melebarkan sayap di ujung bawah kertas, dia secara sepihak memutuskan, "Dia rekan si mata-mata."
Darian yang ketakutan langsung membantah, coba berontak dari cekalan tangan prajurit. "Bu-bukan. Saya bukan mata-mata."
"Seret dia!"
"Tidak, tidak, saya bukan mata-mata. Saya pelayan dari Tuan Yang Mulia Heli."
Prajurit yang akan menyeretnya terdiam sejenak.
Pemberi perintah kembali berkata, "Yang Mulia Heli tidak pernah punya pelayan sejak empat tahun lalu! Beraninya kau berbohong!"
Bruk
Darian ditendang di perutnya, lalu di kepalanya. Dia merasa pusing. Tubuhnya yang meski sudah lebih baik karena perawatan dalam dua bulan ini, tetap saja tidak mampu menanggung kekuatan fisik prajurit kerajaan. Dia pingsan di sana.
Rakyat yang menonton itu mulai bergosip dan bergidik ngeri dengan para prajurit. Kerajaan Griffin terkenal kuat, bukan hanya karena sang raja selalu memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan lain, tapi juga para prajurit bertindak keras terhadap rakyatnya sendiri. Belum ada bukti jelas kalau anak itu mata-mata, tapi mereka sudah berani melayangkan penyiksaan.
Karena takut, beberapa orang yang sebenarnya bisa bersaksi untuk membela Darian malah jadi diam. Banyak orang yang melihat kalau bocah itu hanya mendapat kertas setelah ditabrak orang berpakaian hitam, tapi mereka mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri.
Di tempat lain, Helen mengejar mata-mata sampai ke gang-gang kecil di pasar. Pada akhirnya orang yang asing dengan wilayah ini hanya bisa tersudut dan terperangkap.
Helen mengeluarkan pedangnya, mendekat hati-hati ke arah mata-mata. Dia mengukur kemampuan pihak lawan. Dari posturnya yang tinggi dan badan atletis mirip prajurit, Helen yakin lawannya cukup tangguh. Setelah melihat gerakan pihak lain mengeluarkan pisau dari balik lengan baju, Helen semakin waspada. Musuhnya seorang yang terlatih.
***