8. Pelayan Kecil di Pasar Malam

1311 Kata
“Pelayan Kecil harus terus hidup untuk melayaniku." ─Helen─   ***   "Dia mencuri kueku." Darian pun dipukuli atas tuduhan si anak gendut, tapi dia masih mempertahankan kue di tangannya. Saat akhirnya dia melemah, kue kering pun terlepas dari tangan, dan remuk diinjak pengawal. Darian menangis, bukan karena penganiayaan, bukan karena fitnahan anak gendut, bukan karena nasib tidak adil yang diterimanya, tapi karena kue kering itu hancur. Dia hanya menginginkan sesuatu yang sudah dibuang oleh orang lain, makanan yang tidak diinginkan lagi, tapi mengapa mereka lebih suka menyiakan makanan itu, menghancurkannya, daripada membiarkan dia mendapatkannya? Darian tersenyum masam, menghela napas usai mengingat kenangan lamanya. Itu mungkin karena statusku. Setelah mengakhiri kenangan lama, tiba-tiba di tangannya ada kue cokelat kering. Menoleh, dia menatap Helen di sebelahnya. Tadi Helen memandang Darian yang menatap lama kue kering dengan ekspresi sedih. Dia tidak suka melihat pelayan kecilnya sedih. Anak ini bekerja dengan baik dan menuruti semua perintahnya. Jadi, orang-orang yang berada di bawah naungannya tidak boleh terlihat sedih. Itulah didikan ibunya sejak dulu. Apalagi pelayan ini satu-satunya yang masih hidup selama dua bulan tanpa cedera yang disebabkan oleh penyakitnya. Berpikir itu tidak cukup, Helen mengambil kembali lima kue cokelat kering dan meletakkan di tangan Darian. "Untukmu." Darian terharu, menggigit kue kering sambil menangis. Jika saja dia bertemu tuannya yang cantik ini sebelum ibunya meninggal, betapa bagusnya itu. Dia dan ibunya bisa mencicipi kue kering ini bersama-sama. Jika saja dia bisa bertemu Helen lebih awal, mungkin ibunya tidak akan meninggal. Jika saja dia bisa bertemu lebih awal, mungkin dia tidak akan merasakan kelaparan ekstrim yang hampir membuatnya menjadi gila. “Jika saja... Jika saja... kita bertemu lebih awal...”  Helen tertegun melihat Darian yang memakan kue kering dengan air mata yang terus mengalir. Dia tidak mengerti mengapa pelayan kecilnya menangis. Setelah mengamati cara anak itu makan, dia berpikir kuenya tidak enak. Helen memelototi penjual kue kering, mengeluarkan pedangnya. “Apa bahan makanan yang kau buat?” Penjual kue kering ketakutan. Gavin segera menahan tangan Helen sebelum gadis itu mengamuk dan membunuh penjual kue. “Tenanglah, Yang Mulia, jangan sampai membuat keributan yang tidak perlu.” Darian meraih ujung baju Helen, terkejut karena tingkah tuannya barusan. “Tuan Yang Mulia, itu bukan karena rasa kuenya.” Helen menepis tangan Gavin yang masih menahannya, lalu memasukkan kembali pedang ke sarung. Penjual akhirnya merasa lega setelah pedang masuk ke sarungnya, tapi dia tidak mau lagi berlama-lama di sana. Segera dia melarikan diri tanpa peduli dagangannya. “Lalu kenapa?” tanya Helen. Darian menahan isakan tangisnya, lalu mengatakan, “Saya sedih karena tidak bisa memakan kue ini bersama ibu.” Helen tertegun. “Ibu...?” Darian mengangguk, lalu melepas pegangannya pada ujung baju Helen. Dia tidak bisa menghentikan isakan tangisnya. “Saya tidak memiliki ibu lagi, Tuan Yang Mulia... Ibu saya... telah meninggal... karena kelaparan... Saya... tidak memiliki siapa-siapa lagi... Saya sendirian sekarang...” “Ada aku,” kata Helen. Darian mendongak. “Hah?” “Kau masih punya aku, tuanmu.” Darian menggigit bibir bawahnya, menghapus air mata di pipinya, lalu mengangguk. “Ya! Pelayan Kecil masih memiliki Tuan Yang Mulia... Pelayan Kecil tidak sendirian... Pelayan Kecil tidak sendirian...” Semakin dia menghapus air matanya, semakin banyak pula air mata yang keluar. “Jangan menangis.” Darian buru-buru menghapus air matanya, tapi masih keluar lagi. Dia sangat terharu karena perkataan singkat tuannya yang cantik. Itu benar, dia tidak sendirian, dia punya tuannya. Dia tidak seharusnya menangis. Dia harusnya bahagia. Tapi... dia sangat terharu. Dia tidak bisa menghentikan air matanya. Helen mengulangi, “Jangan menangis.” Darian masih menangis. Kali ini Helen diam saja membiarkan anak itu menangis. Saat akhirnya Darian bisa tenang, dia tersenyum lebar, dan mengatakan, "Terima kasih, Tuan Yang Mulia." Helen akhirnya bernapas lega setelah anak itu bisa tersenyum lagi. Dia mengangguk pelan, lalu balik badan. Berkata Helen kepada Gavin secara berbisik, “Mulai besok sediakan kue kering.” Gavin tersenyum kecil, di dalam hati berujar, “Yang Mulia sangat imut” Gavin kemudian menepuk pundak Darian. "Masih banyak hal lain yang menyenangkan. Ayo!" Darian mengangguk, menyimpan hati-hati kue kering ke kantong tas yang terikat di pinggangnya. Helen memerhatikan setiap langkah Darian. Memerhatikan setiap antusias pelayan kecilnya pada semua toko yang baru pertama kali dia datangi. Memerhatikan wajahnya yang tersenyum lebar sampai mungkin bibirnya akan koyak sebentar lagi karena kebanyakan senyum. Yah, sudah dia duga, dia lebih suka melihat Darian tersenyum daripada menangis. Setiap kali Darian mendatangi satu toko dengan antusias, meskipun tidak secara langsung mengatakan menginginkannya, Helen akan tetap berkata, "Beli." Setelah Darian membelinya, Helen akan membayar dengan satu koin emas. Kemudian, Gavin yang menukar kembali setiap koin emas itu dengan koin tembaga atau perak sesuai harga barang. Di antara rangkaian kegiatan berulang ini, Darian yang paling senang meski tangannya penuh dengan barang belanjaan; Helen yang paling merasa bangga karena bisa membahagiakan pelayan kecilnya; sementara Gavin yang paling menderita karena merasa terabaikan, dan harus membereskan kekacauan dari satu koin emas Helen. "Tuan Yang Mulia, Tuan Gavin membelikan saya permen. Rasanya sangat manis. Saya sudah mencicipinya. Tuan Yang Mulia tidak ingin mencobanya juga?" tanya Darian yang di tangannya ada lolipop bulat warna merah. "Hemm," jawab Helen. Darian ingin mengambil satu lolipop dari toko untuk Helen, tapi tuannya itu malah meraih pergelangannya dan menjilat ujung permen yang sudah diemutnya sebelumnya. Pelayan kecil terdiam, wajahnya panas, ujung telinga memerah. Jantungnya berdebar cepat, dia pun menelan ludah. Kini tubahnya ikut terasa panas. Helen semula menjilat permen, mengemutnya sedikit, kemudian menggigit ujungnya. Dia lupa situasi kalau masih memegang pergelangan pelayan kecilnya, lupa kalau dia mengemut permen milik pelayan kecilnya, lupa kalau dia membuat Gavin dan prajurit sewaan Gavin memelotot tak menyangka ke arahnya. Helen merasai potongan lolipop di mulutnya, ekspresi masih datar, tapi ada sedikit binar puas di matanya. "Manis," katanya. Darian merasakan sesuatu tersangkut di tenggorokannya, lalu dahinya mulai berkeringat. Dengan suara agak serak, dia berkata, "Kenapa Tuan Yang Mulia memakan permen Pelayan Kecil ini?" Helen tersadar dengan apa yang telah dia lakukan, dan merasa agak malu. Dia mengambil tiga lolipop lagi dari toko, lalu memberikannya kepada Darian. Darian berteriak di dalam hatinya, "Tuan Yang Mulia salah fokus! Saya bukannya ingin Tuan Yang Mulia mengganti permen saya, tapi saya bertanya, kenapa Tuan Yang Mulia memakan permen yang sudah saya jilat?" Darian jadi lebih pendiam setelah insiden permen, tapi terus mengemut permen yang bekas dijilat tuannya itu. Dengan anehnya dia tersipu, dan jalannya pun menjadi menunduk. Ada senyum bodoh pula di wajahnya. Gavin sangat ingin merebut permen di tangan Darian sejak Helen menjilat permen tersebut. Cara gadis itu menjilat dan mengemut permen, entah mengapa selalu terbayang di benak Gavin. Pikiran-pikiran kotor tentang Helen bermunculan di benaknya. Dia bertanya-tanya, bagaimana jika bukan permen yang diemut oleh Helen, melainkan bibirnya? Bagiamana rasanya lidah Helen menari dengan lidahnya? Bagaimana rasanya bibir Helen? Apakah itu lembut dan manis? Seketika tubuh Gavin menjadi agak panas, bahkan bagian tertentu di bawah perutnya terasa membesar dan sesak. Helen merasa malu karena mengambil permen pelayannya, maka dia yang pada dasarnya pendiam, malah semakin diam. Tidak menyadari kalau Pelayan Kecil telah tersenyum bodoh di belakangnya sejak tadi, dan Gavin juga membuat espresi rumit di wajahnya. Akhirnya, permen di mulut Darian habis, dan mereka tiba di lapangan luas pusat pasar yang telah ramai didatangi beberapa bangsawan. Mata Darian berbinar ketika dua prajurit bawahan Gavin datang dengan dua lentera. Dia langsung bertukar barang belanjaannya dengan lentera itu. Dua prajurit melihat tingkah Darian yang menurut mereka cukup lucu. Dalam sekejap, suasana hati Darian naik lagi. "Ini lentera untuk Tuan Yang Mulia..." Darian menunduk sesaat setelah memberikan lampion kepada Helen, lalu berkata, "Saya tahu acara ini untuk mengenang anak salah satu bangsawan yang telah meninggal. Saya dengar, dengan pelepasan lentera bisa menuntun jiwanya ke tempat yang damai, dan kita seharusnya memanjatkan doa untuk anak bangsawan itu... tapi ... Saya selalu melewatkan festival melepas lentera sebelumnya, dan tidak bisa memanjatkan keinginan saya. Maka... " Helen tidak sabaran dengan cerita panjang Darian, langsung menyela, "Kau mau apa?"   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN