Chapter ini udah ada di cerita MBA2 . Tapi aku pos ulang aja. Hehe.
Biar nanti gak pada tanya-tanya lagi. Heheh
***
Langit tampak sekali mendung malam ini. Lebih gelap dari biasanya. Tapi, Shania terlihat masih menikmati langit malam yang gelap itu.
Entah, ia merasakan kalau dirinya hampir sama dengan langit itu.
Namun, suara langkah mendekat membuat lamunan Shania buyar dan menoleh ke arah pintu rumah.
Sheira keluar dengan dua cangkir di tangan dengan kepulan asap.
Istri adik nya itu tersenyum tipis padanya. Dan kemudian duduk di samping nya. Setelah menyerahkan satu cangkir coklat hangat padanya.
Kedua duduk saling berdampingan. Dengan jarak sekitar kurang lebih lima jengkal. Dan dalam situasi hening.
Diam, sepi.
Itu berlangsung hingga sepuluh menit, lima belas sampai dua puluh menit.
Mereka seolah tengah berlomba siapa yang paling bisa menahan diri untuk tidak membuka suara.
Sheira memandangi air kolam yang tenang di depan mereka. Begitu dengan Shania.
"Shan " akhirnya Sheira kalah. Ia memulai lebih dulu. 
Shania melirik padanya. Istri adik nya itu masih menatap lurus pada kolam renang. "Kamu tau? Gagal bukan berarti berakhir "
Shania diam, ia masih melirik pada Sheira. Dalam diam, ia mencoba untuk mengartikan ucapan Sheira yang tiba - tiba saja berbicara begitu.
"Aku memang gak tau apa yang kamu rasain sekarang. Tapi, aku yakin kamu tau dan bisa merasakan, apa yang kami, terutama Mami dan Papi rasakan sekarang " ujar Sheira memulai. Masih tidak menoleh pada Shania. "Gagal itu memang sulit dan mengecewakan. Tapi, bukan berarti kita gak bisa bangkit lagi. Merasa sedih wajar, malah aneh kalau gagal gak ngebuat kita sedih. Tapi, kamu harus ingat kalau kamu gak sendiri "
Shania diam, ia masih duduk menatap pada air di dalam kolam dengan merenung.
"Di kecewakan oleh orang yang paling kita percaya itu memang sangat menyakitkan " 
Saat itu Shania menoleh pada Sheira dengan reaksi cukup kaget. Dan, Sheira juga menoleh pada Shania untuk pertama kali sejak ia mulai berbicara.
Sheira menunduk sejenak, menekan perasaan nya sendiri dan juga perasaan tidak enak melingkupinya sekarang.
"Aku tau, ini sudah di luar batas ku. Seharusnya aku gak ikut campur dengan masalah ini. Tapi,.. walau pun kita tidak dekat, dan sempat bermasalah. Jujur, aku tidak nyaman melihat kamu kayak gini " lanjut Sheira dengan suara lirih.
Ia menoleh lagi pada Shania, memandangi Shania dengan lekat.
"Gimana bisa kamu sekuat ini ? Memendam semua ini sendiri ?" Tanya Sheira dengan suara mulai serak.
"Seharusnya tidak seperti ini cara nya Shania, kamu tidak boleh terus terpuruk seperti ini. Seharusnya yang kamu lakukan adalah bangun dan buktikan pada dia, kalau kamu baik - baik saja. Dan dia akan menyesal melakukan itu pada mu. Ka -"
"Dari mana kamu tau ?" Tanya Shania, menyela ucapan Sheira.
Ia menelan ludah nya, menggigit bibir bawah nya sendiri. Mulai gelisah dan takut Shania salah paham.
"Aku masih gak nyangka kalau Alul dapat melakukan ini ke kamu " 
"Dia manusia, bisa khilaf. Cuma, aku gak bisa memaafkan seorang pengkhianat "
Sheira mengangguk, ia sendiri juga setuju dengan ucapan Shania. Jika, Ares selingkuh, dan menghianatinya,ia juga akan mengambil langkah yang sama dengan Shania.
"Maaf, " ucap Sheira dengan rasa bersalah. "Aku gak sengaja dengar pembicaraan kamu dengan Shani, tadi di rumah sakit "
***
Shania berjalan menyusuri koridor rumah sakit tempat nya bekerja. Seperti biasa, setelah ia mengantar Akbar ke pra School nya. Ia akan langsung ke rumah sakit.
Dan akan memeriksa pasien nya. Seperti biasanya.
Setelah itu, ia akan menjemput Akbar tepat jam sepuluh dan akan kembali kerumah sakit. tapi, hari ini kegiatan menjemput Akbar di lakukan oleh Maminya. Karena, sang Mami katanya ingin mengajak Akbar ke bandara untuk menjemput Adik nya, Gracia yang hari ini akan pulang bersama keluarganya.
Ia baru saja selesai menerima pasien terakhir saat Shani, sahabat sekaligus kakak iparnya masuk kedalam ruangan nya.
Menyapanya seperti biasa.
"Gre, jadi balik hari ini ?" Tanya Shani, setelah berbasa - basi sebentar.
"Hm " gumam Shania sambil mengangguk. "Mami yang jemput, tadi baru ngabarin kalau lagi jalan ke Bandara " 
Shani mengangguk, dan kemudian ia merogoh saku blazer putih nya. Mengeluarkan sebuah amplop surat warna putih.
Lalu meletakkan di atas meja Shania.
"Buat loe " ucap Shani.
Melihat itu Shania, mengerutkan dahi. 
"Kemarin, Aliff nemuin gue. Dan nitip ini buat loe " lanjut Shani, seolah menjawab tatapan tanya Shania.
Wanita cantik dan manis yang memiliki cochocip di dagu nya itu menghela napas berat. Dan tangan nya meraih amplop tersebut.
"Thanks " jawab Shania ,meraih amplop itu dan memasukkan nya kedalam laci mejanya.
Shani hanya mengangguk, dan kemudian memutuskan untuk pamit karena ia harus menemui pasien lagi. Ia mampir, memang untuk memberi amplop itu ke Shania.
"Shan " panggil Shani, sebelum ia melangkah keluar.
Dan Shania yang sedang membaca data pasien nya menoleh pada Shani dengan tatapan tanya. "Menurut gue, loe harus pertimbangkan, Sayed Aliff Mahendra "
Shania mendelik, dan tidak lagi mengacuhkan sahabat nya itu. Sedangkan Shani hanya mengindikkan bahu nya. Dan berlalu pergi.
Kembali Shania membaca data pasien nya. Tapi, hanya beberapa menit. Karena, tiba - tiba saja ia penasaran dengan amplop yang di berikan Shani.
Jadi, ia memutuskan untuk membuka laci dan mengambil surat itu lagi.
Memandanginya cukup lama seolah tengah menimang.
Dan fikiran nya kembali melayang pada saat pertama kali nya ia menemui pria itu untuk memohon bantuan.
"Shania, menikah lah dengan saya "
Ia langsung tersentak, menatap pria itu dengan kaget luar biasa. Dan, tidak habis Fikir dengan apa yang sekarang ada di otak pria Melayu itu.
Bahkan ,Shania tidak bisa lagi berkata apa pun. Jelas, itu bukan hal yang mudah.
Hahahahaha
Dan tiba - tiba saja Aliff tertawa. Membuat Shania semakin heran dan bingung dengan pria di depan nya itu.
"Ha-ha-ha.. kamu harus lihat muka kaget mu itu.. hahha.. itu lucu banget " ucap Aliff dengan begitu senang.
Shania semakin tidak mengerti dengan jalan fikiran Aliff. Jelas, situasi sekarang tidak dalam masa bergurau.
"C'mon. Shania, rileks santai lah siket, tak payah lah tegang sangat. Saye, ni bukan dah gile pun. Nak minta awak bekahwen dengan saya. 
Maaf lah, saye gurau je tadi " jelas Aliff dengan mencoba meredakan tawa nya.
Shania mengeraskan rahangnya. Ia sama sekali tidak suka dengan gurauan pria itu. Situasinya sekarang sungguh sulit.
"Takkan lah, saya sejahat itu nak tikung kawan sendiri. Hahah.. maaf ya. " Ujar Aliff lagi dengan sungguh - sungguh. "Jadi, kapan operasi itu bisa berlangsung ? "
"Anda bersedia untuk -"
"Pasti !" Sela Aliff dengan yakin. Pria itu tersenyum dengan begitu manis dan tulus. "Alul kawan saye, walau hanya setahun ke, kite satu sekolah. Tapi, silaturahmi tak putos tau. Cume, pas kalian nikah aja saya tak dapat datang. Karna, saya kemalangan. "
Shania bisa menghela napas lega. Ia sudah takut kalau - kalau pria itu memang memiliki penyakit jiwa. Bagaimana bisa, ia menikah dengan pria itu?
Sedangkan ia sendiri memang sedang bermasalah dengan Alul.
"Jadi, kapan kite bisa mule operasi tu ?" Tanya Aliff lagi.
"Besok, Anda bisa datang kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut " jawab Shania.
"Uh, oke. " Jawab Aliff dengan santai.
"Terima kasih karena -"
"Tak pe lah, Alul banyak sangat bantu saya dulu. Jadi, tak perlu sungkan nak minta tolong kat saye. " Ujar Aliff lagi. Sepertinya pria itu suka sekali menyela ucapan orang. "But, apa yang saya kate tadi, saya tak bohong tau. Yang saya memang suka kan awak. Awal lagi kita jumpa. Love at first sight. Kelakau (lucu ) memang, but. Itu lah yang saya rasa kag awak. Sorry lah, tapi awak tak perlu risau. Saya tak minta awak tuk ambil kisah pasal Perasaan saya. Anggap je, saya tak pernah cakap macam tu. Oke ?"
Shania mengangguk dengan canggung, pria di depan nya terlalu frontal menurutnya. Membuatnya sedikit tidak nyaman.
Karena, mengingatkan nya pada seseorang. Dan obrolan mereka selesai sampai di situ, Shania mengucapkan banyak terimakasih sebelum ia pamit. Sampai, Aliff mengatakan kalau ia bosan mendengar ucapan itu dari Shania.
Lamunan Shania buyar, saat seseorang mengetuk pintu ruangan nya. Membuatnya menoleh dan melihat siapa yang membuka pintu ruangan. Suster masuk membawakan beberapa data - data pasien selanjutnya nya. Dan ia kembali menyimpan surat yang di berikan Shani, ke tempat semula.
°°°