Semakin Dekat

1314 Kata
Abhi mendekatkan wajahnya pada wajah Gema yang merona. Sebenarnya Abhi begitu deg-degan. Sebelumnya ia pernah mengecup bibir Gema dan rasanya memang berdebar hebat. Kali ini ia ingin mengulangnya. Jika perlu, bukan hanya kecupan tapi sesuatu yang benar-benar bisa dikatakan sebuah ciuman. Abhi tak mampu menjelaskan. Ia hanya berbekal tontonan di film romantis dan ia yakin bisa melakukannya dengan sangat baik bersama Gema. Gema tak kalah gugup. Peluh dingin membasahi dahi. Dikatakan belum siap, dia memang merasa belum siap. Namun, jauh di dasar hati ia pun penasaran. Abhi menatap Gema yang tampak seperti sedang menahan kegugupannya. Abhi menggigit bibirnya. Ingin berciuman saja rasanya seperti mau berperang. Gema menundukkan wajahnya di saat ujung bibir Abhi hanya tinggal satu senti saja dari bibir Gema. Abhi mencelos. Apa itu artinya Gema menolak? Abhi menjauhkan kembali wajahnya dan duduk tegap menghadap ke depan. Gema perlahan mengangkat wajahnya lagi. Ia melirik Abhi yang membisu. Gema merasa bersalah. Apa Abhi marah padanya? Gema bingung menjabarkan. Ia menginginkan sesuatu yang lebih romantis bersama Abhi. Hanya saja, ada rasa yang sulit untuk ia jelaskan. Satu rasa yang seakan menahannya bahwa ia belum sepenuhnya siap untuk berbagi semuanya. Termasuk membangun keintiman bersama Abhi. Bagi Gema, interaksi romantis seperti ini tak mudah untuk dijalani. Setiap kali dihadapkan dengan momen-momen seperti ini, ada rasa cemas, takut, gelisah, dan kekhawatiran yang berlebihan. Ia takut akan mengecewakan Abhi dan tidak bisa berperan sebagai "istri yang manis" seperti perempuan lain. Kedua insan itu kembali saling menatap. Kali ini lebih canggung seolah ada tembok besar yang menjadi pembatas. Degup jantung Gema masih berloncatan seakan hendak berlari tanpa aba-aba. Ia ingin membiarkan kehangatan itu mengalir, tapi tubuhnya serasa menegang dan pikirannya semrawut tak tentu arah. Abhi kembali menatap ke depan tanpa suara. Gema menautkan jari-jarinya. Kecemasan kembali mendera. Di satu sisi ia tak ingin mengecewakan Abhi, di sisi lain ia belum siap untuk benar-benar membangun keintiman dengannya. Terlalu kompleks untuk diuraikan. "Mas..." Gema memberanikan diri memanggil Abhi yang masih membeku. Abhi menoleh pada istrinya. "Ya..." "Apa Mas Abhi marah? Kecewa?" Gema memberanikan diri untuk bertanya. Abhi membisu sekian detik. Seulas senyum tersimpul. "Untuk apa marah atau kecewa? Bukankah dari awal kita memang sudah membuat kesepakatan? Aku sudah terlalu sering melanggar." Abhi tersenyum sekali lagi. Bukan senyum bahagia, tapi seperti senyum yang menyimpan kekecewaan, "maafkan aku..." Gema terdiam sejenak untuk mencerna makna di balik senyum Abhi dan permintaan maafnya. "I'm the one who should say sorry..." Gema menatap Abhi lembut. Ingin ia memeluk suaminya, mencurahkan segala yang mengganjal meski ia sendiri tak tahu bagaimana cara menjelaskan. Namun, lagi-lagi sesuatu yang bergelut di pikiran menahannya. "Kamu nggak salah, Gema. Nggak perlu minta maaf." Abhi tersenyum. Kali ini senyumnya lebih lepas. "Aku yang nggak sabaran dan kurang ngertiin kamu." Abhi tersenyum sekali lagi. Gema semakin merasa bersalah. Sorot matanya berkaca-kaca. "Apa aku terlalu kanak-kanak? Atau aku terlalu rumit untuk dimengerti?" tanya Gema seraya melayangkan tatapan tertajamnya. "Rumit kalau kamu belum bercerita apa pun tentang masa kecilmu atau pemikiranmu. Setelah kamu bercerita semuanya, aku rasa ini bukan sesuatu yang rumit. Namun, ini sesuatu yang harus aku pahami. And I'm still trying to understand you." "And I should do the same. Tapi rasanya aku belum juga bisa ngertiin kamu." Gema mengembuskan napas pelan. Jari-jarinya sedikit bergetar. Abhi ingin mengenggam tangan Gema untuk menetralkan suasana hati yang bercampur-campur. Namun, ia takut jika genggamannya ini akan semakin memperkeruh keadaan. "Falling in love may be easy for others, but for me, it’s never that simple." Gema menatap Abhi lebih lembut dengan nada suara yang lebih rendah. Abhi masih mendengarnya. Ia simak setiap kata yang meluncur dari bibir Gema. "I understand..." Balas Abhi singkat. "Aku mungkin punya banyak teman cowok. Tapi nggak ada satu pun yang berani menyentuh, menyenggol, atau mendekatiku." Gema menghela napas lalu melanjutkan kata-katanya. "Kamu yang pertama, Mas. Ini pertama kali ada laki-laki yang menggenggam tanganku... mengecup bibirku..." Di bagian ini, wajah Gema memerah karena tersipu. "Semua serba pertama untukku. Dan aku sering gugup, cemas, grogi... Setiap kita dekat, hatiku menghangat. Tapi di sisi lain aku belum bisa mengatasi kegugupanku. Aku kadang tersiksa sendiri bagaimana agar nggak terlihat gugup di depan Mas Abhi." Abhi bisa memahami apa yang dirasakan Gema. Mereka memang butuh waktu lebih untuk saling mengenal dan mengikis rasa canggung yang sering kali menjadi penghambat untuk membangun kedekatan yang lebih dalam. "Dan ini juga pertama kali untukku, Gema. Kamu yang pertama... Kamu gugup, aku juga gugup. Mungkin lebih gugup. Kadang aku juga takut kehilangan kata atau salah tingkah di depan kamu. Aku juga merasakannya. Jadi ini bukan masalah kamu aja." Abhi tersenyum, senyum yang begitu menyejukkan. Gema lega, Abhi pun merasakan hal yang sama dengannya. "Jadi biarkan saja rasa ini mengalir. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Semua butuh waktu dan proses. Aku nggak akan maksa untuk terburu-buru. Kita nikmati saja prosesnya." Abhi tersenyum sekali lagi. Gema mengangguk pelan. Ia juga mengulas senyum manisnya. "Sudah malam. Besok aku harus berangkat pagi. Kita istirahat aja, yuk," ucap Abhi. Gema mengangguk sekali lagi. Malam ini keduanya kembali tidur terpisah. Abhi berbaring di kamarnya dan belum jua bisa terpejam. Gema pun memandang langit-langit kamarnya dengan perasaan hampa. Abhi menghembuskan napas pelan. Ia selalu ingin dekat dengan Gema. Terkadang ia merasa begitu jauh dari Gema meski tinggal seatap. Perasaan Gema masih menjadi misteri untuknya. Gema seperti berhati-hati pada perasaannya sendiri atau memang gadis itu belum siap untuk jatuh cinta. Mungkin terlalu awal untuk mengatakan jatuh cinta. Namun, Abhi begitu gelisah. Pikirannya tak tenang. Hatinya bergejolak. Yang ia inginkan hanya... Gema... Gema berkali-kali mengganti posisi tidurnya, tapi ia belum juga terlelap. Dia tak tahu dengan perasaannya sendiri. Resah, gelisah, bahagia, takut, bahkan yang lebih aneh, baru saja masuk kamar, tiba-tiba dia ingin kembali melihat Abhi. Ia ingin tahu apa Abhi sama gelisahnya seperti dirinya. Abhi semakin tak tenang. Ia benar-benar tak paham dengan perasaannya sendiri. Apa ia sudah jatuh cinta pada Gema? Abhi beranjak dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu. Dengan ragu ia putar kenop pintu sampai pintu itu terbuka sedikit. Abhi mengintip dari balik celah. Barangkali Gema keluar dari kamarnya. Abhi berpura-pura keluar kamar dan berjalan menuju kamar mandi. Ia mencuci tangan di kamar mandi dengan sengaja mengalirkan air keran yang besar agar Gema mendengarnya. Gema bisa mendengar sayup suara air keran dari kamar mandi luar. Entah kenapa hanya mendengar suara gemericik air saja sudah membuat Gema dag dig dug tak menentu. Itu artinya, Abhi belum tidur. Ada rasa lega yang membuncah. Ketika Abhi kembali ke kamar, ia mematung sejenak di depan pintu kamarnya. Ia melirik pintu kamar Gema yang tertutup rapat. Ia bertanya-tanya, apakah Gema sudah tidur? Masa bodoh dengan rasa gengsi dan lainnya, Abhi beranikan diri melangkah mendekati pintu kamar Gema. Ia mengetuk pintu kamar itu dengan perasaan tak menentu. Seketika hati Gema berdesir. Ia deg-degan tak karuan. Gema beranikan diri melangkah. Jari-jarinya gemetaran, tapi ia paksakan diri untuk membukanya. Begitu pintu terbuka, keduanya saling menatap dengan gempuran rasa yang saling mengikat. "Ada apa, Mas?" Gema memberanikan diri untuk bertanya. "Aku nggak bisa tidur ... Aku ... Aku kepikiran kamu terus." Deg... Jantung Gema serasa berdegup lebih cepat. Ada desiran yang menjalar ke seluruh tubuh. "Aku juga nggak bisa tidur, Mas," balas Gema dengan sedikit menunduk. Kali ini, ia tak berani menatap Abhi lebih lama. "Kenapa?" tanya Abhi kemudian. Gema mengumpulkan keberaniannya. "Kepikiran Mas Abhi." Hati Abhi yang sebelumnya gelisah tak menentu, kini perlahan tenang kembali. Ia tersenyum dan tersipu. Sementara itu, Gema merasa gugup sekaligus lega. "Apa malam ini aku boleh tidur di kamarmu lagi?" Abhi tak ingin sendirian di kamarnya. Ia ingin bersama Gema. Setidaknya ia pastikan Gema ada di sampingnya. Gema tak bisa menolak. Entah kenapa ia pun ingin bersama Abhi malam ini. Gema mengangguk, masih dengan semburat merah yang menyapu wajahnya. Abhi tersenyum bahagia. Ia masuk ke kamar Gema dan duduk di ujung ranjang. Gema menutup pintu lalu berbalik menuju ranjang. Ia duduk di sebelah Abhi. Keduanya kembali saling menatap tanpa suara dan perlahan hati mereka kembali menghangat dengan desiran yang terus merambat...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN