Abhi kecewa dengan sikap Gema yang tak hanya melanggar kesepakatan, tapi juga membohonginya. Abhi percaya saja jika istrinya benar-benar berkunjung ke rumah orang tuanya.
Selama perjalanan menuju kantor polisi, pikiran Abhi bergelut dengan banyak hal, antara kecewa, kesal, merasa dibohongi, dan tidak dihargai. Semua saling membelit seperti kumparan benang kusut. Ia merasa gagal sebagai seorang suami.
Setiba di kantor polisi, ia langsung bertanya pada salah satu polisi yang tengah berjalan di depan kantor. Abhi diarahkan untuk masuk ke dalam. Di sana sudah ada Gema dan teman-temannya.
Melihat Abhi masuk, wajah Gema tertunduk. Ia tak berani menatap suaminya. Ia tahu ia salah. Namun, ia juga tak punya cukup nyali untuk menjelaskan semuanya pada Abhi.
Gema dan Abhi menghadapi dua polisi di sebuah ruangan. Atmosfer terasa sedemikian menegangkan. Abhi ingin berbicara panjang lebar dengan Gema, tapi mungkin setelah urusan di kantor polisi beres.
"Jadi kamu ikut balapan?" Salah satu polisi menatap Gema tajam. Tatapan menginterogasi yang sanggup membekukan siapa pun yang melihatnya.
Gema mengangguk. "Ya, Pak." Gadis itu melirik Abhi yang duduk di sebelahnya. Tidak ada ekspresi berarti di wajah Abhi. Mimik wajahnya terlihat datar.
"Kamu tahu tidak kalau balap liar itu salah?" tanya polisi itu lagi.
Gema mengangguk pelan. "Ya, saya tahu, Pak."
"Kalau sudah tahu kenapa masih balap liar? Kasihan suami kamu. Habis ngajar, masih capek, eh harus menjemput istrinya di kantor polisi." Pak Polisi menatap Gema dan Abhi bergantian.
Gema semakin merasa bersalah. Sementara Abhi terlihat tenang meski ia begitu kecewa.
"Saya minta maaf atas nama istri saya, Pak." Abhi mengulas satu senyum. Senyum yang menyimpan kekecewaan. Namun, ia berusaha menutupi kegalauannya dengan sikapnya yang tenang.
"Saya minta maaf, Pak." Gema buru-buru minta maaf. Ia melirik Abhi berulang kali. Namun, suaminya tetap menatap lurus ke depan seakan tak peduli dengan keberadaan Gema.
"Kami terima permintaan maaf kalian, tapi sanksi tetap harus diberikan untuk memberikan efek jera." Pak Polisi berbicara penuh ketegasan.
"Motor Gema akan kami sita. SIM juga kami sita. Motor dan SIM ini baru bisa diambil setelah sidang tilang dan membayar denda. Saat sidang nanti, biasanya akan disebutkan nominal denda yang harus dibayar. Setelah kalian membayar denda, barulah motor dan SIM Gema bisa diambil." Polisi menerangkan dengan begitu jelas.
"Sampai sini, ada yang ingin ditanyakan?" tanya Pak Polisi.
"Sidang tilangnya kapan ya Pak?" tanya Abhi tanpa menoleh sedikit pun ke arah Gema.
"Sekitar tiga sama tujuh hari kemudian setelah hari ini. Nanti kami akan menghubungi kalian jika waktunya sudah ditetapkan."
"Terima kasih banyak, Pak." Abhi mengangguk sopan.
Setelah semua urusan selesai, Gema dan Abhi berjalan beriringan menuju motor Abhi di tempat parkir. Gema bingung tak menentu dengan sikap Abhi yang mendiamkannya. Laki-laki itu sama sekali tak menyapanya sejak tiba di kantor polisi.
"Maafkan aku, Mas." Gema memulai percakapan.
Abhi tak merespons. Ia melirik Gema datar. Tak lagi hangat dengan senyum Abhi yang menawan.
"Pakai helmnya, terus pulang," ucap Abhi tanpa ekspresi.
Gema yang memegang helmnya segera mengenakannya. Ia masih mematung sementara Abhi menstarter motornya. Melihat Sang Istri hanya diam terpaku, Abhi pun berkata, "ayo naik."
Gema menurut. Ia duduk di belakang Abhi. Motor itu pun melaju meninggalkan kantor polisi.
Sepanjang jalan keduanya membisu. Abhi yang malas untuk bicara dan Gema yang tahu diri jika suaminya tengah memendam amarah dan kecewa.
Gema ragu sejenak. Namun, ia memberanikan diri memegang pinggang Abhi dan kemudian memeluknya.
Abhi tercengang. Ini pertama kali Gema memeluknya meski kondisinya memang pas untuk memeluk karena mereka tengah berboncengan naik motor.
Ada getaran yang tiba-tiba merambat ketika jari-jari Gema memeluknya erat. Mungkin itu cara Gema mencairkan kekecewaan Abhi. Namun, Abhi tak akan melunak. Jika ia melunak, maka Gema akan semakin ngelunjak.
Setiba di rumah, Abhi masih bertahan dengan sikap diamnya. Gema semakin salah tingkah. Ia tak nyaman diperlakukan seperti ini. Ia tak suka didiamkan.
Abhi masuk ke kamar tanpa kata. Ia fokus dengan serangkaian kegiatannya. Mulai dari mandi hingga bersiap salat Maghrib di Masjid.
Hingga malam menjelang keduanya masih saling mendiamkan. Bahkan makan malam yang tak pernah dilewatkan, kali ini mereka lewatkan begitu saja.
Sudah pukul setengah sembilan, Abhi masih sibuk melakukan pekerjaan remote-nya sebagai virtual assistant. Dia membuka laptop di ruang tengah. Ia berusaha menyelesaikan pesanan klien agar payment-nya segera cair. Ia harus menyediakan uang untuk membayar denda balapan.
Gema yang belum bisa tidur keluar dari kamarnya. Ia melihat Abhi yang begitu serius memperhatikan layar laptop. Jari-jarinya tampak terampil memencet keyboard.
Tak tahan lagi terus-menerus didiamkan, Gema melebur gengsinya. Ia duduk di sebelah Abhi dan menatap suaminya dengan raut wajah yang tak terbaca.
"Mas..."
Abhi menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh Gema yang mengenakan piyama bergambar Pikachu.
"Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku nggak akan mengulangi lagi." Gema memberanikan diri menatap Abhi yang masih membisu.
"Kamu masih marah?" tanya Gema setelah Abhi tak memberikan reaksi apa pun.
Abhi menatap Gema tajam, lebih tajam dari yang sudah-sudah. "Menurutmu aku masih marah nggak?"
Gema mengangguk cepat. "Iya, Mas Abhi kayaknya masih marah."
"Wajar nggak kalau aku marah?" tanya Abhi. Netranya masih menatap Gema lekat-lekat.
Gema mengangguk tanpa suara.
"Kita udah sepakat, Gema. Kamu boleh melakukan hobi kamu asal bukan balap liar dan clubbing. Kamu melanggarnya. Tak hanya itu. Yang bikin aku kecewa berat, kamu udah bohongin aku. Kamu bilang mau ke rumah Papi Mami, tapi nyatanya ini hanya akal-akalanmu saja untuk menutupi perbuatanmu."
Gema menghela napas. Napasnya serasa lebih berat. "Aku menyesal, Mas. Mungkin penangkapan oleh polisi itu adalah harga mahal yang harus aku bayar. Mungkin ini adalah teguran Allah."
"Kata maaf itu tak mudah mengembalikan kepercayaan yang sudah dikhianati. Aku nggak suka dibohongi, Gema." Abhi menegaskan kata-katanya.
"Kamu dengan mudahnya bohong. Dengan santainya pergi balapan padahal kamu tahu, aku nggak suka itu." Abhi menekankan kata-katanya sementara tatapannya masih terus tertuju pada wajah Gema yang pasi.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan agar Mas Abhi memaafkanku?" tanya Gema lirih.
Abhi menghembuskan napas pelan. Matanya menerawang ke depan. Tatapan yang sebenarnya tak menemukan muaranya. Sekilas tampak kosong.
"Maaf saja tidak cukup. Aku butuh bukti. Kesungguhanmu dan keteguhanmu yang akan menjadi bukti kuat." Abhi melirik Gema yang memasang tampang cemberut.
"Kalau seseorang sudah pernah bohong dengan mudahnya, meski sekali saja, biasanya ia tak akan segan mengulanginya di kemudian hari. Aku punya pengalaman buruk dengan orang seperti ini." Abhi melanjutkan kata-katanya dengan ekspresi kecewanya.
Gema mengernyitkan alis. "Ini kayak tuduhan atau malah penghakiman. Sama aja Mas Abhi menyamakan aku dengan orang yang membohongi Mas. Coba Mas gali lebih dalam dari ceritaku. Jangan selalu melihat dari cara pandang Mas Abhi sendiri." Gema sedikit meninggikan suaranya.
"Apa yang bisa digali dari ceritamu? Kamu berusaha untuk mencari pembenaran?" Nada bicara Abhi agak meninggi.
"Bukan gitu maksudnya, Mas. Coba Mas Abhi posisikan diri di posisiku. Dari awal perjodohan, aku sudah menolak, bahkan aku minta Mas Abhi untuk menolak juga. Tapi akhirnya kita tetap menikah..." Gema tercekat. Ia meneruskan kata-katanya, "aku belum siap menikah karena terlalu banyak banyak hal yang aku sukai. Hal-hal yang mungkin nggak akan lagi bisa dilakukan atau ditolerir setelah aku menikah."
Abhi menelan ludah. Ia biarkan Gema meneruskan perkataannya.
"Secara mental, aku sama sekali belum siap. Aku masih ingin bebas melakukan apa yang aku suka. Aku masih ingin balapan, naik gunung, ke laut, menyelam, atau ngumpul sama teman-teman. Aku masih 22. Banyak teman seumuranku yang belum menikah." Gema menatap Abhi begitu serius.
"Sekarang aku harus menjadi istri yang nurut, nggak macem-macem, diem di rumah. Aku harus membuang hal-hal yang aku suka. Semua itu nggak mudah buat aku, Mas!" Suara Gema bergetar. Bibirnya pun gemetar. Matanya berkaca. Ia menahan sekuat tenaga agar tak ada yang jatuh dari sudut matanya.
"Aku tahu aku salah. Tapi tolong lihat semua dari perspektif yang berbeda." Gema menggigit bibirnya. Ia berusaha menetralkan segala rasa yang berkecamuk.
"Kamu salah menafsirkan, Gema. Aku pernah bilang ke kamu, selama yang kamu lakukan adalah hal positif, aku akan mendukung. Aku hanya nggak akan mengizinkan kegiatan yang negatif dan banyak mudharatnya. Tolong pahami ini!" Abhi menatap Gema seperti mata elang yang tengah mengawasi gerak-gerik mangsanya.
"Aku nggak akan merenggut dirimu yang lama dan mengubahmu menjadi orang lain," tegas Abhi sekali lagi.
"Aku hanya ingin kamu lebih waspada lagi, bisa memilih mana yang baik mana yang nggak," lanjut Abhi.
"Mas selalu mengatakan hal itu, memilih di antara yang baik atau tidak. Tapi Mas Abhi nggak pernah ngerti gimana ada di posisi ini. Coba Mas Abhi pikir. Kalau semua orang bisa memilih yang baik dan tidak, tidak akan ada hal-hal yang menyimpang." Gema menatap Abhi dengan gempuran rasa yang meresahkan.
"Banyak kecelakaan saat orang mendaki gunung atau balapan, kenapa orang masih tetap melakukannya? Banyak orang tahu merokok itu tidak baik untuk kesehatan, tapi kenapa jumlah perokok semakin bertambah? Mereka terkadang mencari kebahagiaan. Dan mereka temukan kebahagiaan itu dengan melakukan hal-hal yang mereka suka." Suara Gema semakin mencekat. Satu bulir bening lolos menetes di pipi.
Abhi membeku sekian detik sebelum akhirnya ia merespons. "Tidak sesederhana itu, Gema. Kalau kita memaklumi hal-hal yang tidak sesuai nilai agama, moral, maupun norma masyarakat, bagaimana orang mau belajar menjadi lebih baik?"
Gema tersenyum miring. "Okay, intinya Mas Abhi ingin aku berubah. Mas Abhi ingin aku jadi istri sholehah yang nurut, anteng di rumah, nggak ke mana-mana, nggak usah nglakuin hobi lagi, harus jadi istri yang manis dan anggun."
Abhi menggeleng. "Astaghfirullah, Gema. Kamu nggak bisa memahami maksudku."
"Mas Abhi juga nggak bisa memahamiku." Gema beranjak dari posisinya dan melangkah menuju kamarnya. Ia tutup pintu kamar keras-keras hingga Abhi tersentak.
Abhi beristighfar sekali lagi. Ia biarkan Gema menenangkan diri. Ia pun akan menenangkan diri. Mungkin besok ia bisa kembali mengajak Gema bicara