"Abhi ... Abhi, laki-laki saleh kayak kamu kok bisa kecolongan dapet istri yang jauh dari kata salehah. Kalian ini dulu kenal di mana sih? Atau jangan-jangan dijodohkan?" Kedua alis Danu terangkat. Guru satu itu memang dikenal ceplas-ceplos dalam bicara.
Sebelum Abhi menanggapi, Rama lebih dulu menyela. "Bukankah seharusnya kita dapat pasangan yang jadi cerminan diri kita? Kasus kayak begini banyak. Yang alim dapat yang berandal atau sebaliknya yang berandal dapat yang alim."
"Itu masih jadi misteri. Cuma untuk kasus Abhi, aku berekspektasi lebih dia bakal dapat wanita salehah yang cantik luar dalam, anggun, pakai jilbab, kalem, eh dapatnya cewek tomboy yang suka balap liar. Itu si Januar, orangnya selengekan tapi bisa dapat istri yang salehah." Danu kembali berceloteh.
"Itu artinya Januar pinter milih istri," tegas Nurul.
Abhi menahan diri untuk tak menanggapi. Namun, akhirnya ia tak bisa lagi terus-menerus diam.
"Saya milih istri saya itu artinya saya yakin dia yang terbaik. Namanya manusia itu berproses. Insya Allah, dia berubah lebih baik. Saya juga menerima kekurangan dia." Meski kenyataannya Gema memang berbuat sesuatu yang melanggar aturan, tetapi dia pun tak bisa menerima jika ada yang merendahkannya.
"Mudah-mudahan aja kamu sabar menghadapi istrimu, Bhi. Di mana-mana anaknya orang kaya tuh begitu... manja. Dia anak cewek satu-satunya. Dua kakaknya merantau semua dan sudah berkeluarga. Maklum kasih sayang orang tua full ke dia. Apa saja dituruti." Rama mengomentari kehidupan Gema Karana dia memang mengenal keluarga Gema.
"Pak Rama ini tahu banget ya kehidupan istrinya Pak Abhi." Gantian Inaya, guru Bahasa Inggris berkomentar.
"Lha dia tetangga saya. Agak jauh sih rumahnya, tapi kenal. Dulu Gema adik kelas saya. Pernah nulis surat cinta buat saya waktu SMA." Rama tersenyum penuh arti. Ekor matanya melirik Abhi. Tampak sekali ada keterkejutan di ekspresi wajah guru yang dijuluki guru idola itu.
Di antara sekian pernyataan yang mengomentari Gema, fakta bahwa Gema pernah menulis surat cinta untuk Rama begitu menusuk dan membuat Abhi penasaran. Apa Gema pernah jatuh cinta dengan rekan kerjanya itu?
"Gema itu mantan pacarnya Pak Rama?" Nurul memicingkan matanya. Ia ikut penasaran dengan cerita masa lalu Rama dan Gema.
"Bukan mantan. Kami nggak pacaran. Gema bukan selera saya," seloroh Rama enteng.
Mood Abhi semakin anjlok. Sepulang ngajar, ia ingin menanyakan hal ini pada Gema. Ia ingin mengorek lebih dalam kehidupan dan karakter istrinya. Ia merasa dirinya dan Gema memang belum begitu saling mengenal.
Abhi masuk ke kelas dengan perasaan tak sedamai biasanya. Ia masih memikirkan Gema dan banyaknya gosip yang berseliweran. Apalagi ketika teringat omongan rekan kerja atau siapa pun yang mengomentari pernikahannya. Banyak yang mengatakan ia salah pilih istri atau mengatakan Gema dan dirinya tak serasi, begitu jomplang seperti bumi dan langit. Semua itu melukai hatinya. Ia tak mau memikirkan, tapi hal itu terus-menerus bergelut dalam benak.
Abhi menikahi Gema tanpa paksaan, meski awalnya dijodohkan. Namun, ia akhirnya menerima perjodohan itu dengan sukarela. Ia tahu, Gema mungkin terlihat biasa atau bahkan bengal di mata orang lain. Namun, entah kenapa ia yakin, Gema jauh lebih keren dari yang dibayangkan orang. Potensinya belum sepenuhnya tergali karena ia masih fokus dengan apa yang menjadi kesenangannya.
Butuh waktu dan proses untuk membantu Gema menemukan sisi terbaiknya. Ia pun butuh waktu untuk benar-benar mengenal Gema dan memahaminya.
"Assalamu'alaikum anak-anak, selamat pagi semuanya."
"Wa'alaikumussalam, selamat pagi, Pak."
Hari ini Abhi kembali mengajar kelas 11 A. Dia wali kelas dari kelas 11 A. Biasanya beberapa siswa kerap membuat lelucon atau bercanda, kali ini lebih serius. Kelas menjadi jauh lebih tertib dan tenang. Abhi mengamati wajah-wajah muridnya yang lebih serius dari biasanya. Abhi menduga, murid-muridnya tahu apa yang terjadi padanya. Namun, yang ia acungi jempol, murid-muridnya yang masih belasan tahun ini nyatanya lebih memahaminya dibanding orang-orang dewasa.
Tak ada satu pun dari muridnya yang membahas razia balap liar itu. Entah karena tidak tahu atau memang ingin menjaga perasaan gurunya.
"Seperti yang sudah kita sepakati, hari ini ulangan, ya. Kalian sudah siap?"
"Siap, Pak," jawab semua murid serempak.
Hal yang sangat jarang terjadi. Biasanya jika dirinya menanyakan kesiapan murid-muridnya, ada saja yang menjawab belum siap. Namun, hari ini semua kompak bersikap lebih patuh dan serius.
Abhi membagikan lembar jawab dan soal ulangan. Murid-muridnya tampak tenang mengerjakan soal ulangan. Tak ada satu pun yang menengok kanan kiri meminta jawaban.
Selesai mengajar, Abhi yang biasanya akan kembali ke ruang guru, kali ini ia malas untuk kembali karena takut akan diungkit lagi tentang kasus balap liar itu atau pernikahannya dengan Gema. Ia duduk sejenak di ruang kelas dan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dibanding kembali ke ruang guru.
*****
Selalu ada rasa lega setiap kali Abhi tiba di rumah setelah seharian mengajar. Ia melihat mobil orang tua Gema terparkir di halaman rumah. Mertuanya tengah berkunjung dan Gema tidak memberinya kabar. Jika Gema memberi tahu, tentu ia akan mampir membeli hidangan untuk mertuanya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," terdengar jawaban dari Fatma dan Burhan.
Abhi tercengang melihat Gema menangis sesenggukan. Ia menjabat tangan ayah dan ibu mertuanya lebih dulu sebelum duduk di sebelah Gema dan menanyakan apa yang terjadi.
"Syukurlah kamu udah pulang, Bhi. Gema ini memang sulit sekali diatur. Beritanya viral sampai desa tetangga atau bahkan seluruh Indonesia tahu. Papi Mami malu, Bhi. Kalau tenar karena prestasi sih bangga, ini viral karena ketangkep polisi." Fatma geleng-geleng. Dari kecil Gema sudah menunjukkan sikapnya yang suka memberontak.
"Kami coba nasihati, dia sering ngeyel, Bhi. Ujung-ujungnya nangis. Serba salah ngadepin anak satu ini. Kakak-kakaknya nggak ada yang susah diatur. Ini anak bungsu malah bikin masalah terus." Giliran Burhan yang melampiaskan amarahnya.
Gema masih saja sesenggukan. Sejak dulu ia sering dimarahi orang tuanya karena dianggap berkelakuan buruk. Gema hanya tidak suka dibandingkan, termasuk dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Orang tuanya tak pernah tahu, Gema membawa luka itu hingga dewasa.
Abhi pun bingung harus berbuat apa. Meminta mertuanya berhenti memarahi Gema nanti akan dianggap tidak sopan atau dituduh membela istri meski istrinya salah. Namun, diam begini pun tak akan menghentikan tangis Gema. Ia tak tega melihat tangis Gema yang semakin mencekat.
"Kamu udah nikah, Gema. Udah saatnya berubah. Malu kalau terus-terusan bikin masalah. Apa kamu nggak kasihan sama Mami Papi?" Fatma masih saja kesal.
"Koreksi diri, Gema! Kenapa sampai sekarang kamu belum dapat kerja? Kenapa kamu nggak seberuntung teman-temanmu yang meski IPK-nya lebih rendah dari kamu, tapi pada punya pekerjaan mentereng? Bisa jadi karena sikapmu yang buruk makanya Allah belum kasih jalan." Kata-kata pedas Burhan terasa mencabik-cabik perasaan Gema.
"Entah dosa apa kami perbuat sampai punya anak yang nggak bisa ngertiin orang tua!" Burhan menambahkan. Mimik wajahnya masih didominasi kekesalan.
Tangis Gema semakin pecah. "Iya, Gema memang anak yang tidak pernah diharapkan dan selalu salah. Mami Papi cuma bisa nyalahin Gema." Gema beranjak dan masuk kamar dengan membanting pintu.
Baik orang tua Gema maupun Abhi terperanjat mendengarnya.
"Nah, selalu saja seperti ini. Masuk kamar, banting pintu. Dari dulu kayak gini, Abhi." Burhan mengusap dadanya.
"Nanti saya akan bicara sama Gema. Mungkin Gema butuh waktu untuk menenangkan diri dulu." Abhi berusaha menenangkan mertuanya.
"Minta tolong ya, Nak Abhi. Bimbing Gema dengan sabar. Jangan dimanjain, tapi harus banyak sabarnya," pungkas Fatma.
"Nggih, insya Allah."
"Ya, udah kami pamit dulu ya, Bhi." Fatma dan Burhan memutuskan untuk pulang saja. Rasanya percuma menunggu Gema kembali menemui mereka. Jika sudah marah, mood Gema sulit diperbaiki.
Setelah orang tua Gema pulang, Abhi mencoba mengetuk pintu kamar Gema.
"Gema, boleh nggak aku masuk? Kita bicara."
"Nanti saja. Aku mau mandi dulu," ucap Gema dari dalam. Isak tangisnya masih terdengar jelas.
"Okay, aku juga mau mandi dulu." Abhi melangkah kembali ke kamarnya. Mungkin setelah mandi, pikiran menjadi lebih fresh.