Malam setelah Isya barulah Gema siap berbicara dengan Abhi. Mereka berbincang di ruang tengah.
"Gema, orang tua kamu itu nggak bermaksud nyalahin kamu. Mereka hanya ingin kamu belajar dari kesalahan dan memperbaikinya."
Gema tersenyum miring. "Mas komentar kayak gini kerena nggak tahu apa saja yang udah aku lewati."
"Okay, sekarang ceritakan apa saja yang sudah kamu lewati." Abhi menatap Gema lembut.
Gema ragu sejenak. Ia jarang sekali membagi kisahnya pada orang lain termasuk orang tuanya. Melihat tatapan Abhi yang begitu meneduhkan, Gema pun mau membagi cerita sedikit demi sedikit.
"Dari kecil aku selalu dibanding-bandingkan, Mas. Entah itu dengan kakak-kakakku, anak tetangga, atau anak teman orang tuaku. Dan itu nyesek banget." Gema bicara lebih pelan dari biasanya.
"Setiap kali aku bertengkar dengan kakak-kakakku, aku selalu disalahkan. Aku nggak pernah dibela. Mami Papi selalu saja berpihak pada kakak-kakakku dan menyalahkanku. Itu berlangsung sekian lama. Sampai-sampai aku lelah untuk bicara karena apa pun yang aku katakan itu tidak dianggap." Gema bicara serius. Ada getaran setiap kali ia mengenang masa lalunya. Ada rasa yang mencekat dari dasar hatinya. Luka itu masih membasah hingga detik ini dan entah sampai kapan akan mengering.
"Aku selalu dituntut untuk memberikan yang terbaik, tapi aku nggak pernah dipuji, nggak dihargai, justru selalu dicari kekurangannya. Ada saja sikapku yang salah di mata mereka." Gema melanjutkan kata-katanya. Ada getaran di setiap tarikan napasnya.
Abhi tahu, tidak mudah bagi Gema meluapkan segalanya. Ia bisa melihat luka yang mendalam di sorot mata Gema yang berkaca.
"Aku nggak suka setiap kali Mami Papi menuntutku untuk selalu merapikan tempat tidur, harus pintar mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Sementara dua kakakku bisa begitu santai. Mereka nggak dituntut untuk itu atau seenggaknya beresin kamar mereka sendiri." Gema mengembuskan napas pelan.
"Mereka nggak perlu cerewet nyuruh aku beres-beres kamarku atau apa. Tanpa disuruh aku juga akan rutin beres-beres. Yang aku nggak suka itu ada kata penekanan "jadi cewek itu harus bla bla bla...", jadi kayak dituntut lebih dibanding cowok." Gema melupakan kekesalan karena diskriminasi gender.
"Aku juga sering bermain sendiri karena kakak-kakakku nggak mau aku ikut. Padahal aku pintar main bola dan basket. Aku sampai berpikir, mungkin kalau aku terlahir laki-laki, orang tuaku akan memperlakukanku sama dengan kedua kakakku. Dan aku bisa ikut kakak-kakakku main bola atau basket."
Abhi menatap Gema lebih lekat. Ia bisa menarik satu kesimpulan meski itu hanya dugaannya saja.
"And that’s how you started being a tomboy?" Abhi menyipitkan matanya.
Gema membisu sekian detik. "Mungkin... Tapi sebenarnya lebih kompleks dari itu." Gema menelan ludah. Ia balik menatap Abhi lebih tajam. Ia tak menyangka pada akhirnya, Abhi menjadi satu-satunya orang yang ia percaya untuk mendengar segala kisahnya.
"Aku merasa selalu dituntut untuk menjadi yang terbaik, dapat juara kelas, berprestasi, tapi semua yang aku lakukan itu tidak dihargai. Selalu saja ada yang kurang memuaskan. Bahkan sampai aku lulus dan belum dapat kerja pun sering kali dibahas. Aku dibandingkan dengan anak-anak teman-teman mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus." Gema menarik napas dalam-dalam. Ia menghembuskannya lagi.
"Mereka berharap aku jadi anak salehah, diem di rumah selama belum dapat kerja, tapi aku sering banget dimarahi atau dibanding-bandingin. Siapa yang betah? Aku merasa teman-temanku lebih bisa ngertiin aku. Dan aku bebas menjadi diri sendiri saat bersama mereka."
Abhi mengulas satu senyum. "Makasih udah cerita, Gema. Aku ingin kita lebih terbuka karena kita perlu mengenal lebih dalam lagi. Lukamu sejak kecil mungkin turut andil membentuk dirimu yang sekarang. Jadi ini semua yang bikin kamu se-tomboy ini?"
"Soal itu, banyak yang terlalu complicated dan bahkan aku sendiri nggak mengerti... Aku selalu nyaman dengan penampilan seperti laki-laki. Karena ini ada hubungannya dengan luka di masa kecil. Aku merasa didiskriminasi oleh orang tuaku sendiri karena aku perempuan. Akhirnya timbul keinginan untuk menjadi laki-laki." Gema sedikit menunduk. Sulit untuknya menceritakan perasaannya yang terdalam.
"Perasaan itu begitu kuat, Mas. Sampai-sampai aku selalu motong rambut pendek. Aku pakai baju cowok. Aku nggak mau gemuk karena gemuk akan membuat dadaku bertambah besar dan aku nggak suka itu. Jika dadaku besar maka aku akan terlihat lebih girly...." Ucapan Gema menggantung di ujung. Ia tahu, pikiran semacam ini bukan pemikiran yang benar dan mungkin ia butuh konsultasi ke psikolog.
Abhi cukup tersentak mendengar kejujuran Gema. Ia mungkin belum pernah berjalan dengan sepatu Gema, tapi ia bisa memahami bagaimana Gema berperang dengan jiwanya sendiri setiap hari.
"Aku nggak akan mencari pembenaran karena jelas aku salah. Aku tahu aku tidak bersyukur dan seolah melawan kodrat. Setiap hari aku tersiksa, Mas." Mata Gema berkaca. Sebulir air mata jatuh menetes.
"Aku juga sering di-bully oleh kakak-kakakku jika aku ini nggak cantik, jelek, dekil, kurus, dan segala rupa keburikan nempel di aku. Gimana aku bisa pede jadi perempuan kalau kakakku sendiri sering mengatakan aku jelek? Teman-temanku juga ada beberapa yang suka bully terkait fisik. Aku jadi mikir, aku lebih keren kalau penampilanku seperti laki-laki. Dan aku nggak takut lagi dikatakan jelek. Karena seorang yang tomboy udah nggak dinilai lagi dari kecantikan fisiknya. Udah nggak relevan dengan standar kecantikan perempuan. Seperti ada pemakluman, namanya juga tomboy, mana ada yang cantik?" Gema tersenyum miring untuk menutupi kesedihannya. Meski akhirnya ia usap air matanya.
Abhi tercekat. Dia ingin sekali memeluk Gema dan meyakinkannya bahwa ia sempurna sebagai perempuan, tapi ia takut Gema menolaknya.
"Maaf kalau kata-kataku agak belibet. Karena sumpah... Aku pun nggak mengerti diriku sendiri. Cewek-cewek lain bisa semudah itu menyukai lipstik dan bedak atau gaun-gaun cantik... Sedangkan aku melihat barang-barang itu sebagai sesuatu yang aneh." Bibir Gema bergetar dan napasnya terasa mencekat.
"Aku bukan tidak berusaha untuk kembali ke fitrah sebagai perempuan seutuhnya. Aku mencoba membeli alat make up dan gaun, tapi aku benar-benar nggak bisa suka sama barang-barang ini... Aku nggak ngerti, Mas. Dorongan untuk menjadi seperti laki-laki itu begitu kuat."
Abhi tersenyum lembut dan menghapus jejak air mata di wajah Gema. Untuk sejenak, Gema terpaku pada perlakuan Abhi yang begitu lembut.
"Aku nggak akan ngomong banyak apalagi menasihatimu ini dan itu. Aku takut omonganku hanya akan menghakimi atau membuatmu semakin down...." Abhi mengusap pipi Gema lembut.
"Aku cuma ingin kamu pegang kata-kataku... You are beautiful." Abhi mengulas senyum sekali lagi.
Gema tercekat. Mungkin ini pertama kali ia mendengar seseorang mengatakan bahwa ia cantik. Bukan sekadar pujian di bibir, Gema bisa merasakan ketulusan itu.
Meski bagi Gema, kata-kata "you are beautiful" terdengar aneh, tapi hatinya menghangat. Semburat merah menyapu wajahnya.
"Aku speechless, Mas. Aku nggak tahu harus ngomong apa."
"Aku cuma ingin kamu tahu. Ada seseorang yang melihatmu berbeda dari apa yang orang lain katakan." Abhi tersenyum sekali lagi.
"Makasih udah mau dengerin curhatanku yang berantakan, Mas." Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir Gema.
"Aku bersyukur kamu mau terbuka. Kalau ada apa-apa, ceritakan semua, jangan dipendam. Aku siap mendengarnya."
Gema mengangguk pelan. Keduanya saling menatap dengan perasaan deg-degan tak menentu. Sepanjang ingatan Gema, belum pernah ada laki-laki yang berani mendekatinya seperti yang dilakukan Abhi. Ia tersenyum, mungkin karena Abhi sudah menjadi suaminya jadi ia berani untuk sedekat ini dengannya.
"Ada yang ingin aku tanyakan, tapi aku takut ini akan membuatmu nggak nyaman." Abhi menata kata-katanya. Hubungannya dan Gema telah membaik. Ia sebenarnya takut menanyakan masa lalunya dan Rama. Namun, ia begitu penasaran.
"Ngomong aja, Mas." Gema pun penasaran.
"Begini, kamu kenal Rama, 'kan?"
Gema mengangguk. "Iya, dia kakak kelasku waktu SMA. Kenapa Mas?"
"Ehm... Apa dulu kamu pernah menulis surat cinta untuk Rama?"
Gema terbelalak. Pikirannya bernostalgia ke masa SMA. Ia ingat-ingat lagi masa SMA-nya dulu. Ia baru ingat tentang surat cinta itu.
"Aku baru inget. Surat cinta yang aku kirim ke Mas Rama itu adalah surat cinta yang aku tulis dalam rangka mengikuti masa-masa apa ya, yang perkenalan murid yang baru masuk SMA itu? Kayak semacam ospek. Jadi semua anak disuruh menulis surat cinta lalu diberikan ke kakak kelas. Nah, aku kan cuma kenal Mas Rama karena masih tetanggaan. Ya, aku kasih surat ke dia."
Entah kenapa Abhi lega mendengarnya. Ia sadar jika Rama berusaha memanasinya.
"Mas Abhi tahu soal ini dari siapa?"
"Rama sendiri yang cerita. Cuma dia nggak bilang kalau surat cinta itu untuk kepentingan perkenalan murid baru. Dia cuma bilang, kamu pernah kasih dia surat cinta."
Gema tertawa kecil. "Dia sengaja bikin Mas Abhi cemburu."
"Cemburu?"
"Ya, Mas Abhi cemburu, 'kan?" Gema meledek Abhi.
Abhi memutar bola matanya. Ia tak ingin mengakui terang-terangan. Abhi menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya. "Sedikit..."
Gema tertawa sekali lagi. "Banyak juga nggak apa-apa, Mas."
Keduanya tertawa kecil. Suasana terkadang berubah kikuk. Dan keduanya bingung hendak bicara apa lagi.
"Udah malam... Aku mau ke kamar dulu... Mau tidur..." Ucap Gema, meski sebenarnya ia ingin bicara lebih lama dengan Abhi. Namun, atmosfer terasa sedemikan canggung.
Abhi pun baru menyadari jika waktu sudah begitu malam. Ia masih ingin bersama Gema lebih lama. Namun, ia sungkan untuk meminta Gema berada lebih lama bersamanya. Ia membayangkan tidur sembari memeluk istrinya mungkin akan membuat malam ini lebih berkesan. Abhi tak berani memintanya.
"Kenapa kayak gelisah gitu, Mas?"
Abhi pun sedikit gelagapan. "Enggak... Eh anu... Apa ya..."
Gema memicingkan matanya. "Kenapa Mas?"
"Eh, aku cuma agak khawatir sama kondisi kamu. Mungkin kalau...." Abhi menggigit bibirnya, "kalau kita tidur satu kamar, aku bisa lebih tenang." Abhi memaksakan bibirnya untuk tersenyum."
Gema semakin salah tingkah. Namun, ia takut Abhi kecewa jika ia menolaknya.
"Ehm kita udah sepakat tidur terpisah... Ehm... Malam ini aja ya tidur sekamar?" Gema memicingkan matanya.
Abhi mengangguk senang. Hari ini Gema meminta satu malam saja. Bukan tidak mungkin next time dia meminta untuk tidur satu kamar seterusnya.
"Okay, Gema."
Keduanya masuk ke kamar Gema. Sebenarnya Gema begitu canggung. Namun, ia bersikap setenang mungkin.
Gema menata guling di tengah sebagai pembatas.
"Kita tidur terpisahkan oleh guling ya, Mas," ucap Gema sambil melirik dua guling yang jadi pembatas.
Abhi memaksakan diri untuk tersenyum. Lagi-lagi guling sialan.
"Okay... okay... Seonggok guling menjadi pembatas." Abhi tersenyum semanis mungkin.
"Goodnight, Mas," ucap Gema yang kemudian membaringkan badannya.
"Goodnight, Gema." Abhi mengulas senyum manisnya. Meski agak kecewa karena ada guling sebagai pembatas, tapi ia sudah cukup bahagia bisa tidur satu kamar dengan istrinya yang sudah halal untuk disentuh. Namun, ia harus bersabar dan menahan diri karena Gema belum mengizinkan.