Malam semakin larut, harusnya dua sejoli itu sudah terlelap. Namun, keduanya belum bisa tidur.
Tidur dalam satu ranjang memang memberi sensasi yang berbeda meski mereka tidak melakukan sesuatu yang lebih. Sensasi itu memercikkan kegelisah yang membuat hati tak tenang.
Mereka menoleh di saat yang bersamaan dan saling menatap tanpa ekspresi. Sekian detik kemudian barulah mereka tersenyum.
"Kamu belum tidur?" tanya Abhi lembut.
Gema menggeleng. "Aku nggak bisa tidur."
"Apa karena ada aku?" tanya Abhi lagi.
Gema menggeleng. "Rasanya aku masih ingin ngobrol sama kamu, Mas. Tapi Mas Abhi besok harus ngajar. Nggak bagus juga tidur kemalaman."
Abhi tertawa kecil. "Sepertinya kamu lupa hari, Gema. Besok weekend, aku libur."
Gema melongo sekian detik. "Oh, iya. Semenjak nggak berurusan dengan kampus, aku jadi lupa hari."
Abhi tertawa sekali lagi. Ia berbaring miring. Menopang kepalanya dengan tangannya yang bersandar di bantal. Ia menatap Gema lembut, tapi tajam di saat yang bersamaan. Ditatap sedemikian intens, membuat Gema salah tingkah dan buru-buru menundukkan wajahnya.
"Ya, udah kalau mau ngobrol. Sampai pagi juga boleh." Abhi tersenyum sekali lagi.
Gema pun tersenyum. Dulu ia jarang sekali bisa bercerita banyak meski ke sahabat dekatnya sekalipun. Namun, Abhi berbeda. Ia merasa aman dan terlindungi setiap kali berada di dekat laki-laki itu.
"Mas Abhi kan udah tahu sedikit tentang kepribadianku dan yang lainnya. Kali ini, aku ingin tahu lebih banyak tentang Mas Abhi."
Kedua alis Abhi terangkat. "Apa yang ingin kamu tahu tentang aku?"
Gema berpikir sejenak. "Ehm, aku penasaran kenapa Mas Abhi memilih jadi guru. Selain background pendidikan yang mendukung, ada alasan lain nggak?"
Abhi memutar matanya. Sebenarnya guru bukanlah cita-citanya, tapi semakin bertambah umur, ia memiliki pandangan lain.
"Aku terinspirasi dari Bapak. Dulu Bapak itu guru yang inspiratif. Guru yang disukai murid-muridnya, bukan karena lunak atau humoris. Tapi karena dia disiplin, tegas, juga memiliki kepedulian yang tinggi. Dia sayang dan perhatian pada murid-muridnya bukan dengan memanjakan mereka, tepi memacu mereka untuk menemukan versi terbaik dari mereka sendiri." Abhi menatap Gema tajam.
Gema merasa terkadang seperti tenggelam di lautan lepas ketika sorot netra Abhi menancap di kedua matanya. Lagi-lagi Gema sedikit salah tingkah.
"Setiap orang berusaha untuk meraih versi terbaik dari diri mereka sendiri." Abhi melanjutkan kata-katanya.
Tatapan Abhi yang tak lepas menyasar pada wajah Gema yang juga menatapnya tanpa ekspresi. Gadis itu lagi-lagi dibuat tak berkutik. Jika sedang berdekatan seperti ini, kharisma Abhi memancar berkali lipat. Gema tak pernah merasakan desiran seperti ini sebelumnya. Abhi laki-laki pertama yang membuatnya gugup, salah tingkah, berdebar, dan segenap rasa yang tak mampu ia jelaskan.
"Itu yang aku percaya dari kamu, Gema." Abhi mengerlingkan satu senyum yang menguatkan.
"Percaya kalau aku bisa meraih versi terbaikku?" Gema menyipitkan matanya.
"Ya, masih banyak yang belum kamu gali. Sebenarnya ketika kita ngobrol di ruang tengah, di pikiranku itu bergelut banyak pandangan tentang kepribadianmu. Cuma aku nggak ingin membahas lebih dalam karena kamu masih dalam kondisi emosional dan menangis..."
Gema mencerna kata-kata Abhi. Semakin sering berbincang, Gema menyadari jika suaminya cukup bijak dan selalu punya perspektif yang beragam menanggapi sesuatu.
"Boleh aku tahu pandangan Mas tentang aku?" tanya Gema penasaran.
Abhi menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan.
"Banyak sekali luka yang belum sembuh dan kamu belum bisa berdamai dengan inner child kamu. Sebenarnya kamu hanya butuh diterima, divalidasi, atau cukup dihargai dengan mengatakan you are enough... Tapi kamu sering kali dituntut untuk mencapai sesuatu yang lebih." Abhi masih menatap Gema, kali ini begitu lembut dan terasa benar jika dirinya ingin mengayomi Gema.
"Apresiasi yang minim ini bikin kamu merasa, I'm never gonna be good enough. Bahkan ketika kamu berprestasi, ranking, lulus cumlaude, seolah itu nggak ada artinya dengan tuntutan-tuntutan lain yang belum kamu penuhi."
Sorot mata Gema tampak berkaca-kaca. Ia berpikir, kenapa seseorang yang belum lama ia kenal lebih memahami dibanding keluarga yang membesarkannya dari bayi.
"Aku berada di antara mertua yang harus aku hormati dan istri yang harus aku lindungi. Di sini aku bukan sedang memecah belah antara kamu dan orang tuamu. Justru aku ingin hubungan kalian lebih baik. Meski aku tahu, pola asuh di keluargamu dan kurangnya penghargaan itu mungkin menjadi penyebab terbesar untuk semua luka yang kamu bawa hingga detik ini."
Gema masih membisu. Matanya kembali berembun dengan bulir bening yang harus ia tahan untuk tak lagi jatuh.
"Aku nggak ingin kamu nyerah seperti aku yang juga nggak akan nyerah ngadepin kamu, Gema. Tunjukkan pada orang tuamu kalau kamu anak yang baik, bisa lebih dewasa, dan bisa bersinar dengan caramu sendiri." Abhi mengusap pipi Gema dengan senyum yang lebih lebar.
Gema masih terpekur, tapi senyum itu sedikit terkerling.
Abhi menangkup kedua pipi istrinya. "Lihat aku, Gema. Aku tidak sedang menuntut kamu untuk lebih baik... Bukan berarti aku nggak menerima kekurangan kamu. Aku terima semuanya. Tapi jika aku benar-benar peduli sama kamu, aku nggak ingin membiarkanmu berjalan dengan sesuatu yang kurang baik, padahal bisa banget diubah."
"Contohnya?" Gema mengernyitkan dahi.
"Kamu pasti lebih paham apa yang harus kamu ubah," tandas Abhi.
"Jika kamu ingin aku jadi cewek feminin, manjangin rambut atau pakai rok ... aku belum siap."
Abhi tertawa pendek. "Bukan itu, Sayang."
Deg...
Gema deg-degan dipanggil "Sayang". Ada rasa hangat yang menjalar. Ada getaran yang diam-diam mengambil alih tempat di hatinya.
"Kamu nggak perlu berubah seekstrim itu. Semua butuh proses. Kamu hanya perlu mencoba perubahan-perubahan kecil. Contohnya, saat kamu bicara sama Mami Papi, termasuk sama aku, terus ada perbedaan pendapat atau berdebat, jangan selalu menyelesaikan masalah dengan masuk ke kamar, apalagi pintunya dibanting." Abhi berusaha memilih kata-kata yang tepat agar Gema tidak tersinggung.
"Itu bikin semua orang kaget. Apalagi orang yang sudah tua. Banting pintu itu bukan solusi. Kamu cukup mendengarkan, menyampaikan apa yang kamu rasakan dengan tenang, atau ketika kamu merasa ingin menenangkan diri, cukup izin untuk ke kamar dan jangan membanting pintu."
Gema mendengar baik-baik semua perkataan Abhi. Dia memang merasa sulit mengendalikan emosi.
"Lalu jika orang tua kamu bandingin kamu dengan teman-teman kamu yang udah bekerja, cukup kamu balas, aku akan berusaha, mohon doanya Mami Papi... Atau aku akan membantumu untuk bicara ke orang tuamu kalau aku nggak pernah nuntut untuk bekerja. Bahkan kamu di rumah aja, rebahan nonton tv, it'okay kalau itu bikin kamu tenang. Cuma yang aku harapkan kamu mengeksplorasi lagi semua bakat yang kamu punya, yang bisa kamu lakukan di rumah ataupun di luar rumah. Bukan mencari aktivitas yang banyak dampak negatifnya seperti balap liar, clubbing, dan lainnya."
Gema mengangguk pelan. Abhi masih menatapnya dengan satu senyum.
"Makasih semuanya. Makasih untuk semua masukan Mas Abhi, untuk dengerin aku, cuma itu yang bisa aku bilang." Gema tersenyum lebih lebar.
"Cuma makasih?" Abhi mengedipkan matanya.
Gema mengernyit. "Mas Abhi pingin apa? Atau besok aku traktir es krim gimana?"
Abhi tersenyum lebar. "I want something sweeter than ice cream..."
Gema membelalakkan matanya. "Apa ada yang lebih manis dari es krim?"
"Ada," balas Abhi singkat."
"Apa?" tanya Gema menyipitkan matanya.
"Kamu..." Balas Abhi dengan mata tajam yang tertuju pada wajah Gema yang sudah memerah.
Gema tersenyum dan tertawa kecil. Abhi selalu penuh kejutan yang sesekali melempar jurus gombalnya.
Abhi mendekatkan wajahnya membuat Gema semakin deg-degan. Terlebih ketika sorot mata Abhi begitu sayu seolah menginginkan sesuatu. Pandangan Abhi terpusat pada bibir Gema yang ingin sekali ia kecup, entah dorongan dari mana.
Gema semakin berdebar, tapi ia tidak juga mundur. Abhi mengusap pipi istrinya dan jarak antar mereka kian terpangkas. Abhi mendekatkan ujung bibirnya pada bibir Gema.
Cup...
Satu kecupan mendarat di bibir Gema. Gema deg-degan bukan kepalang. Abhi ingin bermain lebih, tapi Gema hanya membeku tanpa merespons. Abhi memaklumi, ini ciuman pertama untuk keduanya. Meski secara natural, Abhi bisa saja mengeksplorasi lebih dari sekadar kecupan, tapi ia memahami jika Gema mungkin masih kaget dan belum siap.
Abhi melepas kecupannya dan menatap Gema yang menunduk, tak berani menatapnya balik. Ada semburat merah melintang di pipi Gema. Bukan hanya jantung Gema yang seakan berdegup lebih kencang, Abhi pun merasakannya. Jantungnya seolah berloncatan. Deg-degan luar biasa.
Suasana menjadi awkward. Keduanya kembali saling memunggungi dengan debaran yang merajai. Baik Abhi maupun Gema berusaha menetralkan gemuruh di d**a yang bergejolak tak menentu.
Gema mengusap bibirnya. Jejak kecupan Abhi masih membekas dan masih terasa jejaknya.
Abhi tersenyum dan menggigit bibirnya. Mungkin ia tak bisa lagi terpejam sampai pagi. Pengalaman first kiss ini benar-benar tak terlupakan.