"Gema, hari ini ingin jalan-jalan nggak? Kayaknya kita belum pernah jalan ke mana... Belum bisa liburan juga." Abhi duduk di sebelah Gema yang tengah membaca buku.
Gadis itu melirik Sang Suami yang duduk begitu dekat dengannya. Biasanya Abhi sedikit menjaga jarak, menyisakan satu celah kosong di antara keduanya. Namun, kali ini ia duduk lebih dekat.
Lagi-lagi Gema dibuat deg-degan tak menentu. Setiap hari, ia berusaha menetralkan gemuruh rasa yang mendominasi. Betapa pesona Abhi meruntuhkan segalanya.
"Ke mana, ya? Menurut Mas Abhi tempat mana yang bagus?"
Abhi melirik buku yang ada dalam genggaman Gema.
"Kamu suka baca? Apa kita ke toko buku, ya. Setelah itu, lanjut ke bioskop. Gimana?" Abhi tersenyum dengan tatapan setajam elang yang lagi-lagi menenggelamkan Gema dalam pesonanya.
"Boleh, ide yang bagus." Gema tersenyum manis.
"Tadi aku lihat jadwal film yang tayang di bioskop itu banyakan film horor. Ada satu yang sepertinya film keluarga. Coba kamu lihat daftar filmnya." Abhi menunjukkan layar ponselnya pada Gema, agar istrinya memilih sendiri film mana yang mau ia tonton.
Gema membaca satu per satu judul film yang sedang tayang. "Iya, banyakan horor, ya. Ehm, kalau Demon Slayer, Mas Abhi mau nggak? Tapi ini film anime gitu, takutnya Mas Abhi kurang suka."
"Kalau kamu suka, aku juga ikut," balas Abhi masih dengan senyum manisnya.
"Jangan gitu, dong. Itu namanya Mas Abhi terpaksa nonton karena ngikutin pilihanku." Gema mencebik. Ia takut Abhi bosan menonton film yang genre-nya bukan yang ia suka. Apalagi durasinya lama, sekitar dua setengah jam.
"Nggak terpaksa. Selama bareng kamu nggak ada kata terpaksa, Gema."
Pernyataan Abhi membuat Gema berdesir. Ia tak menyangka guru soft spoken satu ini pintar menggombal.
"Sepertinya hidupku selalu dipenuhi gombalan dari Mas Abhi," celetuk Gema sembari tertawa pendek.
Abhi ikut tertawa. "Kamu merasa digombalin? Tapi senang, 'kan?" Abhi mengedipkan sebelah matanya.
Gema tertawa sekali lagi. "Berarti cuma sekadar gombalan, nggak serius."
"Nggak serius gimana?" tanya Abhi. Kedua alisnya terangkat.
"Ya nggak serius waktu bilang asal bareng aku, nggak ada kata terpaksa."
"Serius lah, Sayang. Semua yang dikerjakan bareng kamu itu menyenangkan." Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibirnya. Tentu Abhi bersungguh-sungguh. Ia merasa bahagia menjalani hari-harinya bersama Gema.
Gema pun tersenyum. Selalu ada desiran yang menghangatkan setiap ruang di jiwanya ketika Abhi memanggilnya "Sayang". Sederhana, tapi terdengar luar biasa.
"Filmnya dimulai jam dua siang. Jadi habis Zuhur, sekitar jam satu, kita ke toko buku dulu. Setelah itu baru deh ke bioskop. Tapi nggak bisa lama di toko buku, ya." Abhi mengusap dagunya dan memutar bola matanya. Ia tahu, memilih buku membuktikan waktu yang tidak sebentar.
"Aku tahu, gini aja, Mas. Kita berangkat sekarang aja, ke toko buku, terus jalan-jalan ke Taman Balai Kemambang, atau ke mana. Baru nanti ke bioskop. Kita salat di Masjid aja. Pokoknya seharian kita jalan-jalan." Gema antusias sekali mengulas rencananya. Dia memang ingin jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran.
"Okay, siap. Ya, udah sekarang kita siap-siap, setelah itu berangkat..." Abhi pun tak kalah bersemangat. Hari ini akan menjadi first date mereka.
*****
Tempat yang pertama dikunjungi oleh Abhi dan Gema adalah toko buku. Mereka memutuskan untuk mengunjungi toko Gramedia gerai kedua yang belum lama dibuka di kompleks GOR Satria Purwokerto.
Gema menyukai novel fiksi dan buku motivasi, sedangkan Abhi menyukai buku religi, buku motivasi, dan fiksi Sejarah.
"Mas, ini kayaknya bagus. Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati." Gema menunjukkan buku itu pada Abhi.
Abhi mengamati gambar semangkok mie ayam di sampul buku tersebut. "Aku pernah denger buku ini. Dari judulnya udah unik dan katanya mega best seller. Ide ceritanya juga unik tentang orang yang ingin bunuh diri. Sebelum mati, dia ingin makan mie ayam. Dalam perjalanan mencari mie ayam, dia bertemu banyak orang dengan kisah-kisah hidup mereka yang pada akhirnya memberikan perspektif yang berbeda tentang kehidupan." Abhi menatap Gema yang tampak penasaran dengan keseluruhan isi buku tersebut.
"Menarik banget kayaknya." Gema tersenyum. Ia masih punya uang saku dan ia tak akan meminta Abhi untuk membayar bukunya.
"Kadang seseorang menemukan hal terbaik di saat dia jatuh dan putus asa. Buku ini cocok banget untuk yang lagi galau atau kurang semangat menjalani hidup." Gema membaca sinopsis di belakang sampul.
"Ambil saja kalau Gema suka. Mas juga mau nyari buku motivasi." Segaris senyum melengkung di bibir Abhi.
"Aku juga suka buku motivasi, Mas," timpal balik Gema.
"Kalau gitu kita milih bareng-bareng, ya." Abhi mengulas senyum manisnya sekali lagi.
Gema mengangguk pelan. Salah satu kesamaannya dengan Abhi adalah sama-sama menyukai buku motivasi.
"Ini kayaknya bagus, Mas." Gema menunjuk satu buku yang berjudul "Esok Lebih Baik".
"Kita ambil ini aja, nggak apa-apa," ucap Abhi.
"Kamu mau ambil yang mana lagi?" Abhi bertanya pada Gema, barangkali masih ada buku yang ingin dibeli istrinya.
Gema menggeleng. "Cukup itu aja."
"Ya, udah Mas bawa ke kasir, ya." Abhi hendak membawa kedua buku itu ke kasir, tapi Gema buru-buru mencegahnya.
"Mas, aku mau bayar sendiri." Gema menyentuh lengan Abhi. Ia tak enak hati jika merepotkan suaminya.
Abhi tertawa kecil. "Aku saja yang bayar."
"Aku nggak enak dan nggak mau ngerepotin," balas Gema dengan wajah polosnya.
Abhi tersenyum. "Jangan bilang gitu. Udah sewajarnya suami bayarin istrinya. Jangankan buku, kamu minta terbang ke bulan sekalipun, kalau Mas Abhi sanggup, juga akan Mas Abhi penuhi."
Gema tertawa. Abhi punya sisi humoris yang sering kali membuatnya tertawa tanpa beban. Abhi pun tertawa. Ia mengacak rambut Gema karena gemas. Gema semakin tersipu. Ia merasa begitu diayomi oleh suaminya.
Ketika Gema mengalihkan pandangan ke arah lain, tiba-tiba netranya tertambat pada wanita berjilbab yang melangkah ke arahnya. Reva ... Bukankah itu Reva? Satu tanya berkelana di kepala Gema. Kenapa ia selalu bertemu gadis itu ketika tengah pergi berdua bersama Abhi.
Reva pun menyadari di depannya ada Abhi dan Gema. Ada desiran yang tak mampu ia cegah kala menatap Abhi dari kejauhan. Sosok laki-laki idaman itu telah menjadi milik orang lain. Sosok laki-laki yang nyaris sempurna di mata Reva dan hingga detik ini, ia belum mampu move on. Perasaannya masih utuh untuk laki-laki itu. Ia tahu, tak baik untuknya menyimpan rasa untuk seseorang yang sudah sah dimiliki orang lain. Namun, cinta terkadang datang tanpa permisi dan ia sudah lebih dulu mencintai Abhi sebelum Abhi bertemu dengan Gema.
Ketika langkah Reva semakin dekat, dia memanggil Abhi dengan lantang.
"Mas Abhi..."